MOJOK.CO – Penangkapan anak bos kartel narkoba Sinaloa di Meksiko menyita perhatian publik. Kisah kekerasan antara negara versus mafia terus berulang seperti tak pernah berakhir.
Saat berita ditangkapnya Ovidio Guzmán mengemuka, ingatan saya langsung berkelana ke film seri Narcos. Jika Ovidio dan kartel warisan babenya beroperasi di Meksiko, Narcos (sampai season 2) menceritakan kiprah gembong kokain kharismatik Kolombia bernama Pablo Escobar.
Yang paling saya kenang adalah cara serial TV itu mendramatisasi penyerbuan Mahkamah Agung Kolombia oleh gerilyawan kiri M-19. Selain adegan penyerbuan, lobi politik dan berbagai rapat gelap sebelum hari-H menghadirkan suasana ngeri yang absurd.
Gerilyawan miskin yang hidup klandestin di hutan kok bisa menyerbu pusat negara dengan persenjataan lengkap—sampai menggunakan tank segala? Tenang: bersama Paman Pablo, semua ada jalan. Dia lah yang melimpahi para kamerad dengan logistik dan persenjataan.
Musuh dari lawanku adalah kawanku. Kartel Medellin pimpinan Pablo dan M-19 punya musuh yang sama: pemerintah Kolombia. Penyebab aksi terorisme ini adalah perjanjian ekstradisi yang disepakati negara mereka dan Amerika Serikat.
Korupsi dan kemiskinan adalah kombo sempurna, sehingga memungkinkan para bos narkoba seperti meludahi sistem peradilan dan penjara. Saking susahnya mengurus Escobar, pemerintah Kolombia sampai menuruti permintaannya untuk membangun penjara khusus, yang tentu saja dipenuhi fasilitas nomor wahid.
Bisnis ilegal mereka telah sukses membikin satu generasi negeri Paman Sam teler. Presiden AS Richard Nixon sampai mendeklarasikan narkoba sebagai musuh masyarakat nomor wahid pada 17 Juni 1971. Dengan perjanjian ekstradisi, pemerintah Amerika Serikat bisa memproses kejahatan para anggota mafia di negaranya.
Salah satu yang ketiban apes adalah Carlos Lehder, kurir narkoba andalan Escobar. Lehder diekstradisi ke AS pada 1987 dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada 1988. Muntab, para mafia mengobarkan perang terbuka kepada pemerintah, khususnya terhadap para penegak hukum.
Setelah tiga season, Netflix menyudahi saga di Kolombia, menggantikannya dengan Narcos: Mexico yang sayangnya tak mengikuti kesuksesan sebelumnya. Walau begitu, film seri yang dibintangi Diego Luna dan Michael Peña ini tetap dapat membuat penonton mencak-mencak. Kok bisa-bisanya mafia Meksiko menyekap, menyiksa dan membunuh agen DEA (BNN-nya Amerika)?
Narcos: Mexico memfokuskan cerita pada sepak terjang ‘El jefe de jefes’, sang raja diraja bernama Felix Gallardo. Berbeda dengan Escobar yang sinting dan haus publikasi, Felix lebih low profile dan cermat mengambil keputusan. Ia piawai memainkan catur politik, yang membuatnya sukses menyatukan berbagai kelompok mafia yang saling berebut pengaruh di Meksiko.
Joaquín ‘El Chapo’ Guzmán, ayah Ovidio, adalah pemimpin kartel Sinaloa yang mengawali karier sebagai kroco. Pelan tapi pasti ia menapaki hierarki federasi mafia pimpinan Gallardo dan menyingkirkan lawan-lawannya. Bersekongkol dengan Escobar yang pusing soal distribusi, El Chapo menawarkan jasa pengiriman narkoba dari Meksiko. Caranya dengan membangun trayek bawah tanah sehingga produk bisa sampai AS, lolos dari endusan aparat.
Itu salah satu penggambarannya di film seri. Di dunia nyata, pemerintah AS menaksir pengaruh dan kekayaan El Chapo telah melampaui Escobar. Berkali-kali kabur dari penjara, El Chapo akhirnya harus mengakui kekalahan pada 2016. Kebijakan ekstradisi membuatnya harus menjalani dakwaan di Amerika, dan pada 2019 lalu dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
***
El Chapo dan mafia narkoba di Meksiko mengintimidasi, menyiksa, menyekap, membunuh, serta membantai tak hanya lawan-lawannya, tapi juga warga sipil dan jurnalis. Tahun 2006, presiden Meksiko yang baru terpilih Felipe Calderón mendeklarasikan perang terhadap narkoba. Tak hanya polisi, militer ia ikut sertakan.
Perang ini, menurut catatan José Luis Pardo Veiras dan Inigo Arredondo di Washington Post, telah menewaskan 350,000 jiwa. 75,000 yang lain hilang tak tentu rimba. Dikerangkengnya El Chapo tak menyelesaikan masalah karena ia masih memiliki 3 putra yang siap meneruskan napas organisasi. Belum lagi kartel-kartel seperti Gulf dan Los Zetas yang siap mengambil alih kekuasaan.
Maka penangkapan El Chapo, juga Ovidio pekan lalu, layaknya perjuangan Herkules kala menumpas Hidra. Menjadi salah satu dari 12 tugas penebusan dosa, monster berkepala sembilan itu teramat sukar dibunuh. Tiap Herkules menebas satu kepala, dua kepala baru menggantikan yang lama. Membebaskan Meksiko dari jerat kartel adalah herculean task, seperti pemberantasan korupsi di negara kita.
Sebagai penikmat di negara yang tak terdampak keganasan kartel, saya menyambut penangkapan sang putra mahkota dengan tempik sorak. Masa iya peristiwa seheboh ini tidak membuat Netflix—atau siapapun—gatal untuk menjadikannya inspirasi cerita?
Lalu saya menyadari begitu banyak film dan serial TV berlatar narkoba yang saya nikmati. Di ranah yang pertama antara lain GoodFellas, Blow, Sicario, dan Scarface. Untuk serial TV ada The Wire, Breaking Bad, Better Call Saul, juga Ozark yang melambungkan kembali Jason Bateman dan Laura Linney.
Tak cuma Holywood, di kawasan Amerika Latin (Amerika Tengah dan Selatan) tercipta banyak produk budaya populer yang terobsesi dengan kehidupan dan “kesuksesan” anggota kartel. Yang paling mencolok narcocorrido, musik balada bersyair kehidupan para mafia. Glorifikasi terhadap perilaku lancung para gembong dapat kita simak lewat video klipnya, tanpa perlu menerjemahkan lirik lagu-lagu narcocorrido.
Memang, kekerasan dan perilaku kriminal adalah guilty pleasure yang, disadari atau tidak, memenuhi hasrat hewani purba yang ada dalam jiwa manusia. Empat film teratas dalam daftar 250 film terbaik IMDb diisi film-film bertema kejahatan, atau yang menceritakan kehidupan para bromocorah. Empat film tersebut adalah The Shawshank Redemption, The Godfather, The Dark Knight, dan The Godfather: Part 2.
Inilah sebab mengapa kita bersorak ketika pemain timnas menjegal dengan kasar pemain Malaysia di laga sepak bola. Atau ketika Mike Tyson menggigit kuping Evander Holyfield. Kekerasan dalam budaya tontonan baru dipermasalahkan jika menimbulkan kepanikan moral, seperti saat gulat penuh akting WWE populer di Indonesia belasan tahun silam.
Di Meksiko, berjualan narkoba sudah menjadi jalan hidup yang bisa mengentaskan anak-anak muda dari kemiskinan. Kartel-kartel besar di Meksiko berbasis di kawasan perdesaan nan melarat. Ranah ini menjanjikan prospek lewat bermacam turunan profesi, mulai dari kurir, peracik di laboratorium, hingga sicario alias pembunuh bayaran.
***
Menjamurnya film bertema kartel tentu saja menuai cibiran dan kritik. Ada yang jengah dan menilai tren ini melestarikan stereotip terhadap bangsa latin. Stereotip itu lalu menjadi stigma yang menyuburkan kebencian terhadap orang-orang latin di AS.
Di skala yang lebih besar, kritik seharusnya ditujukan pada abainya sineas/produsen karya dalam menyoroti relasi AS – Meksiko. Meminjam istilah Tirto Adhi Soerjo, hubungan keduanya adalah relasi antara bangsa yang memerentah dengan yang terperentah.
Penangkapan Ovidio terjadi lima hari jelang pertemuan Presiden AS Joe Biden, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, dan Presiden Meksiko Andrés Manuel López Obrador di negara taco itu. Boleh jadi pula, penangkapan itu adalah peringatan kepada kartel-kartel lain untuk menghentikan peredaran fentanyl di AS. Narkotika jenis ini punya daya rusak 50 kali lebih dahsyat ketimbang heroin, dengan banderol yang lebih murah.
Keunggulan tersebut menobatkan fentanyl sebagai solusi mabok jempolan di masa pandemi. Berdasarkan laporan Washington Post (12/12/2022), dalam kurun 2019 – 2021 tingkat kematian akibat overdosis fentanyl naik sebanyak 94% di AS. Per hari, diperkirakan ada 196 warga AS yang mokat berkat obat ini. Ketik “fentanyl crisis” di YouTube lalu tontonlah para zombie bergentayangan di jalanan Amerika.
***
Di film seri El Chapo, yang juga tayang di Netflix, produsen film sampai memampangkan pernyataan sikap di setiap awal episode. Bahwa sandiwara yang mereka sajikan adalah sebuah kepentingan dan perhatian umum nan genting. Sebuah tayangan mahapenting, seolah-olah ratusan ribu nyawa belum menjadi sirene tanda bahaya.
El Chapo dalam bahasa Indonesia berarti ‘si pendek’, mengacu pada tinggi badan Guzman yang tak seberapa. Imperialisme AS, sayangnya, merentang panjang bak tentakel kraken. Kita, lewat paket kebijakan ekonomi hingga soft power dalam wujud film, senantiasa dibikin lupa.
Narasi besar AS sering menjadi pepesan kosong. Menggembar-gemborkan pentingnya liberalisme ekonomi, mereka justru menerapkan proteksionisme di berbagai sektor industri dalam negeri. Salah satunya sektor pertanian, dengan memberi subsidi dan kelonggaran regulasi agar produk pangan mereka unggul di pasar global.
Meksiko, tetangga besar dan terdekat mereka di Selatan, menjadi samsak tinju pertumbuhan ekonomi negara adidaya. Bersama negara-negara Amerika Latin lain, Meksiko menenggak paket kebijakan Washington Consensus pada 1989. Kekalahan makin telak setelah AS dan Kanada “mengajak” negara itu untuk berkolaborasi dalam North American Free Trade Agreement (NAFTA) tahun 1994.
Perjanjian multilateral ini menghilangkan sekitar 1,3 juta pekerjaan di sektor pertanian di Meksiko dalam kurun 1994 – 2004. Berkat kesepakatan NAFTA, Meksiko dibanjiri produk-produk pangan luar negeri berharga murah yang tak dapat ditandingi petani lokal. Sementara para petani AS diberkahi subsidi nan menguntungkan oleh pemerintahnya.
Saat tahu bosnya dibekuk, para anggota kartel mengobarkan api perang di Sinaloa. Mereka memblokade jalan tol, membakari mobil dan truk, hingga menembaki pesawat. Kerusuhan memaksa tiga bandara di Sinaloa tutup. Warga dianjurkan berdiam diri di rumah. Berdasarkan laporan banyak kantor berita, kerusuhan ini menewaskan 10 tentara dan 19 anggota kartel.
El Chapo hanyalah satu dari sekian kepala hidra zaman modern, monster yang masih saja perkasa sejak era Simon Bolivar. Hidra itu bernama imperialisme negara adikuasa.
Penulis: Fajar Martha
Editor: Purnawan Setyo Adi