Kebaikan yang terpancar dari Dusun Gunung Kelir Kulon Progo
Terdapat ruang kosong ukuran 3×5 meter yang terpisah dari rumah utama dan di sana kami memarkir motor sekaligus membentang tikar untuk tidur. Ini Jauh lebih baik dari selembar hammock dan risiko kehujanan.
Pak Toto dan Bu Sri mengaku jarang menempati rumah di sebelah bukit ini. Aktivitas mereka lebih sering di Purworejo untuk bertani. Setelah itu, kabar kedatangan kami tersebar dengan cepat.
“Ada dua orang musafir di rumah Pak Toto.” Keberadaan kami menjadi isu hangat di antara warga Dusun Gunung Kelir Kulon Progo saat itu.
Ditampung warga sekitar memang bukan hal baru di perjalanan dari Lampung sampai Jogja. Dan semua tempat yang saya sebutkan sebelumnya memang menawarkan kesan tersendiri. Namun, Gunung Kelir tidak hanya berkesan. Ia melampauinya hingga menjadi kesadaran baru pada dinding akal saya.
Kesadaran baru
Baru dua hari tinggal di Dusun Gunung Kelir Kulon Progo, kami langsung berkesempatan hadir di acara syukuran di rumah warga beragama Buddha. Jujur saja, ini kesempatan pertama kali dalam hidup saya dan amat sayang untuk dilewatkan.
Susunan acaranya, sih, standar syukuran di agama Islam yang sering saya ikuti. Tuan rumah memberi sambutan dengan Bahasa Jawa Kromo yang sama sekali tidak saya pahami. Lalu, dilanjut doa menurut agama Buddha tentu saja, dan makan-makan. Kata Pak Toto, syukuran seperti ini memang rutin diadakan, bahkan di luar momen-momen keagamaan.
Saya keturunan asli Bengkulu, lahir dan besar di Lampung, kuliah lima tahun di Palembang. Di tempat itu, jangankan hadir di acara syukuran agama selain Islam, saya malah merasa hidup dalam dunia berbeda dengan penganut Buddha atau agama lainnya.
Selama hidup, saya diajarkan menyebut non-Islam sebagai kata ganti agama lain. Saya dipaksa alergi untuk menyebut Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu secara konkret dan gamblang. Dan ini terjadi di lingkungan sekolah.
Para pemeluk agama yang hidup harmonis
Di Dusun Gunung Kelir Kulon Progo, kata Bu Sri, penganut Islam, Buddha, dan Katolik sudah sejak lama hidup berdampingan. “Ya wong nggak ada alasan buat kami untuk nggak saling bantu.” tegas beliau.
Bu Sri juga adalah seorang penyumbang suara dalam seni karawitan. Kami malah berkesempatan menyaksikan para pemain berlatih di satu lokasi. Nada Slendro yang mereka mainkan seperti gambaran hidup masyarakatnya yang diterjemahkan ke dalam bentuk musik. Perbedaan melebur pada skala tertentu, membentuk harmonisasi yang belum pernah saya saksikan secara langsung.
Petani, peternak, pengelola wisata, dan lapisan masyarakat lainnya hidup dan menghidupi kerukunan itu tanpa ada konflik. Para warga akan menyumbang keringatnya di acara-acara keagamaan tetangga.
Agama bukan sekat bagi warga Dusun Gunung Kelir Kulon Progo untuk saling bahu-membahu membangun peradaban kampung ini. Hal ini juga bisa dilihat dalam tradisi rewang hingga kerja-kerja kebudayaan macam Sambanggo atau Rejeban. Semua warga akan turut serta dalam kenduri dan menjalaninya dengan sakral.
Kampung Pancasila
Baru saya ketahui juga belakangan kalau Dusun Gunung Kelir Kulon Progo memiliki julukan “Kampung Pancasila” karena keragamannya yang harmonis. Batin saya sih bertanya-tanya setelah mendengar julukan ini. “Kok Pancasila ya?” Padahal warganya sudah guyub bahkan jauh sebelum Pancasila diteriakkan sebagai ideologi negara. Aakkhhh.
Tapi kalau dipikir-pikir, jutaan anak kecil di Sumatera dan daerah lainnya masih diajarkan dengan cara yang sama seperti saya dulu. Toleransi bagi mereka adalah barang kasat dan tidak nampak. Lalu Pancasila datang sebagai julukan.
Padahal, BPIP yang dibentuk beberapa tahun ini belum sempat mengabarkan kebaikan Gunung Kelir pada dunia. Malah kesannya kayak Pancasila yang dompleng nama ke Dusun Gunung Kelir Kulon Progo nggak, sih?
Gotong royong warga Dusun Gunung Kelir Kulon Progo
Total 10 hari kami ditampung dan diberi makan oleh sepasang suami-istri yang baik ini. Dua hari sebelum saya dan Gogon meninggalkan dusun itu, tetangga Pak Toto, yang rumahnya cuma berjarak 200 meter mengalami musibah. Pohon besar tumbang tersapu angin kencang, menimpa sebagian rumahnya. Beruntung tidak ada korban cedera atau meninggal. Cuaca peralihan musim memang berlangsung cukup ekstrem di Dusun Gunung Kelir Kulon Progo.
Pak Toto berinisiatif pergi sendiri, tapi saya dan Gogon, anak muda FOMO ini, tidak ingin ketinggalan momentum. Selama perjalanan dari Lampung ke Jogja, kami belum berkesempatan gotong royong fisik bersama warga.
Seluruh warga sekitar Dusun Gunung Kelir Kulon Progo pergi untuk membantu mengevakuasi pohon tumbang sekaligus merenovasi bagian rumah yang rusak. Ya, rumah yang rusak bisa langsung digarap beberapa warga. Para Ibu, dibantu anak-anaknya, menyiapkan minum dan makanan untuk rombongan laki-laki. Rupanya warga sudah terlatih dalam upaya mitigasi semacam ini, karena lokasinya memang langganan terdampak cuaca ekstrem.
Satu orang memanjat pohon untuk menebang batang yang patah. Saya dan beberapa lainnya memegang tali tambang, siap menarik pohon yang ditebang. Evakuasi berjalan lancar.
Tim renovasi bergerak cepat memoles rumah itu dan rampung seketika. Gotong royong ditutup dengan minum dan makan bersama. Beberapa orang sudah kami kenal sebelumnya, dari acara syukuran dan kumpul-kumpul di rumah Pak RT saat kami melapor.
Dusun Gunung Kelir Kulon Progo sudah menjadi rumah kedua saya
Kami merasa ingin lebih lama di Dusun Gunung Kelir Kulon Progo, tapi tahu diri kadang lebih baik dari pada ingin tahu. Tidak mungkin menyulitkan suami-istri yang baik ini lebih dari yang sudah kami terima. Saatnya keinginan anak muda keras kepala ini mengalah. Biar 10 hari itu jadi hari-hari penting dalam hidup kami.
Jarak dusun ini juga cuma 37 kilometer dari tempat saya tinggal sekarang, Sleman. Dan kalau diizinkan, biar dusun indah yang berisi orang-orang baik ini jadi desa selain Lampung untuk jadi tempat saya pulang. Semoga diizinkan.
Penulis: Razi Andika
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Bermalam Bersama Satu-satunya Keluarga yang Tersisa di Kampung Mati Kulon Progo dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.