Alasan yang menjadi kendala mengapa dokter spesialis enggan keluar dari Pulau Jawa bukan cuma masalah fasilitas, tapi juga kesempatan menapaki karier. Kita nggak membahas Papua dan pengabdian Dokter Mawartih Susanty dulu, deh.
Misalnya begini, di kabupaten kecil yang terletak di selatan Pulau Jawa, misalnya Kabupaten Tulungagung di mana terdapat 1,2 juta penduduk yang bisa dilayani di sana. Belum lagi potensi dari kabupaten di sekitarnya seperti Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Blitar, Kabupaten Kediri, sampai Kabupaten Ponorogo.
Bahkan, sampai awal 2023 ini, jika ada pasien gawat darurat di Kabupaten Ponorogo yang memerlukan pemasangan ring di pembuluh darah koroner jantung, opsi yang paling dekat adalah dirujuk ke Kabupaten Tulungagung. Begitu pula jika kegawatan ini terjadi di Kabupaten Trenggalek.
Coba bandingkan dengan jumlah penduduk di satu provinsi di luar Jawa, Sulawesi Utara misalnya yang hanya memiliki 2,5 juta penduduk. Itu saja penduduknya tersebar di berbagai kabupaten. Makanya, berkarier di Pulau Jawa untuk dokter yang asli Jawa, merupakan sebuah kemewahan. Enak bukan, dekat dengan orang tua yang sudah membiayai, akses ke mana saja mudah, pendidikan untuk anak-anak mereka kelak juga lebih terjamin.
Itu masih perbandingan pilihan berkarya antara kabupaten di Jawa dan satu provinsi di Pulau Sulawesi. Lalu, bagaimana dengan menjadi dokter spesialis di daerah pelosok dengan penduduk yang lebih jarang seperti di Papua? Astaga, orang dengan jiwa pengabdian seperti apa yang mampu menantang cobaan sebesar itu? Hormat untuk Dokter Mawartih Susanty.
Bagaimana dengan upaya penambahan fasilitas di rumah sakit pelosok?
Coba Anda cari keyword berikut di mesin pencari: “Budi Gunadi meresmikan”. Pasti akan keluar berita-berita mulai dari peresmian Mayapada Hospital Bandung, gedung RSCM Kanigara, Jababeka Medical City, sampai gedung RSUD Kota Bogor.
Mayoritas perkembangan fasilitas kesehatan yang mumpuni memang berada di Pulau Jawa, pengembangnya pihak swasta pula. Berkaca dengan kepentingan rumah sakit swasta yang mencari untung supaya bisa mengembangkan usahanya dan menghidupi seluruh karyawannya. Kepadatan Pulau Jawa merupakan kunci untuk bertahan dalam pusaran persaingan rumah sakit.
Makanya, pihak swasta sebagai pihak yang paling progresif menyediakan pelayanan-pelayanan unggulan untuk para pasien, juga relatif pikir-pikir untuk membuka jaring-jaring usahanya di daerah yang relatif sepi seperti Indonesia Timur dan Papua.
Satu-satunya yang bisa diandalkan adalah kemajuan dari RSUD yang berada di daerah-daerah. Tapi, apakah pemerintah sudah seserius itu? Setahu saya sudah serius, tapi masih banyak celah supaya pemerintah bisa lebih serius lagi.
Rasa enggan mengabdi ke pelosok seperti Dokter Mawartih Susanty
Kemenkes juga telah sukses menggoreng isu kekurangan dokter umum dibandingkan kondisi ideal versi WHO dengan rasio satu dokter dibandingkan 1.000 penduduk. Menjadikannya sebuah darurat nasional yang harus cepat-cepat ditambal kekurangannya dengan 160.000 dokter tambahan.
Padahal kembali lagi, yang menjadi masalah adalah distribusi, jika kondisi di daerah tetap begitu-begitu saja. Dokter lulusan baru yang memiliki nalar juga enggan untuk ke pelosok. Lebih baik berkarya di daerah yang padat dengan kepastian-kepastiannya. Jika mau bertugas di pelosok, biasanya hal tersebut hanya menjadi batu loncatan saja untuk meraih karier yang lebih baik di daerah yang lebih padat.
Yak, tepuk tangan sekeras-kerasnya untuk upaya Kemenkes memajukan kesehatan negara ini. Tentu kekurangan-kekurangan tadi kami sajikan dengan menyingkirkan satu halangan paling besar, yaitu keamanan daerah itu sendiri. Kasus seperti Dokter Mawar memang sangat jarang, tapi menjadi luka yang mendalam bagi para sejawat.
Bravo profesi dokter, saya ucapkan selamat mengabdi kawan, dan selamat berpulang senior kami Dokter Mawartih Susanty. Kami junior, semoga bisa meneruskan tekad yang dengan hebatnya engkau genggam.
BACA JUGA Gelap Masa Depan Dokter Praktik Setelah Bayar Uang Gedung Ratusan Juta dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Prima Ardiansah
Editor: Yamadipati Seno