MOJOK.CO – Dokter Mawartih Susanty meninggal di rumah dinasnya, di kompleks RSUD Nabire, Provinsi Papua Tengah. Rest in peace.
Dokter Mawartih Susanty adalah senior saya. Belum lama ini, beliau meninggal di tengah pengabdiannya menjadi satu-satunya dokter spesialis paru di Nabire, Papua Tengah.
Sebagai junior, saya hanya bisa tercekat dan merenung, sembari mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang pastinya juga ditanyakan oleh dokter-dokter lulusan baru seperti saya:
“Apakah segini beratnya profesi ini? Sudah kami dituntut untuk mengabdi dan mengabdi tanpa banyak memikirkan balas jasa, pun ketika ada satu senior kami yang memberi teladan, pemerintah gagal memberikan perlindungan. Lalu kami ini harus bekerja dengan standar yang bagaimana?”
Sehubungan dengan semangat pengabdian seperti yang ditunjukkan Dokter Mawartih Susanty, Menkes Budi Gunadi Sadikin juga tidak lelah-lelahnya memberi semangat kepada para dokter umum maupun dokter spesialis supaya mau menyebar ke pelosok-pelosok Indonesia.
Tidak main-main, transformasi kesehatan yang beliau canangkan tengah besar-besaran menggelontorkan beasiswa dokter spesialis lewat LPDP dan Beasiswa Kemenkes. Kuotanya pun lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya. Tujuannya jelas, supaya para penerima beasiswa mau kembali ke daerah-daerah pelosok, seperti ke Papua misalnya.
Coba kita bahas mengenai perkara mau atau tidaknya seorang dokter untuk mengabdi ke daerah pelosok seperti Papua
Sampai saat ini, mayoritas dokter yang menempuh pendidikan spesialis menggunakan biaya yang berasal dari kantong sendiri, dari pasangan, atau orang tua. Ditambah beratnya beban waktu, tenaga, dan pikiran ketika pendidikan, pemerintah memang tidak punya ruang untuk memaksa para lulusan spesialis untuk mengabdi ke daerah-daerah, misalnya sampai ke pelosok Papua.
Makanya, pemerintah hanya bisa “memaksa” para penerima beasiswa untuk mengabdi ke sana. Itu saja jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan jumlah daerah pelosok yang coba pemerintah petakan. Rest in peace untuk Dokter Mawartih Susanty yang “sendirian” menjadi spesialis di Papua.
Kalau pemerintah serius, dokter yang asli berasal dari daerah pelosok adalah kuncinya. Logikanya, siapa yang mau jauh-jauh meninggalkan kampung halaman ke daerah pelosok yang sama sekali baru? Kalau bukan anak muda dari daerah itu sendiri. Kalau pemerintah berhasil menyekolahkan anak SMA dari pelosok yang berminat menjadi dokter umum dan mau kembali ke daerahnya, maka masa depan daerah pelosok bisa dipastikan aman.
Itu pun harus ditunjang dengan daya saing anak SMA dari daerah pelosok yang mumpuni, supaya bisa bersaing dengan para siswa SMA dari kota. Pembukaan moratorium Fakultas Kedokteran agaknya juga percuma, jika fakultas-fakultas kedokteran yang bakal berdiri kebanyakan ada di pulau Jawa, dan mahasiswanya kebanyakan berasal dari Jawa juga.
Baca halaman selanjutnya….