MOJOK.CO – Sebelum KKN, saya kena tipu polisi gadungan. Katanya, saya jadi tersangka pencucian uang. Sidangnya via Zoom pula. Edan!
Tanggal 6 Juli 2025 yang lalu seharusnya menjadi hari yang bahagia dan semangat buat saya. Sejak pagi buta, saya sudah siap untuk berangkat KKN.
Malam sebelumnya, semua kebutuhan sudah saya siapkan. Mulai dari packing tas, menyetrika baju lapangan, dan tentu saja menyiapkan mental. Semangat pengabdian masyarakat membuncah di dada.
Pagi itu, saya akan berangkat dari rumah di Madiun menuju rumah teman saya di Ponorogo. Nah, dari Ponorogo, kami akan berangkat bersama menuju lokasi KKN di sebuah kecamatan di Kabupaten Tulungagung.
Entah kenapa saya begitu bersemangat menyambut KKN. Mungkin karena setelah program ini, saya bisa segera menyelesaikan kuliah. Namun saya, pagi yang saya yakin akan jadi sempurna, ternyata rusak oleh sebuah panggilan telepon.
Sesaat sebelum berangkat, sekitar pukul 10 pagi, hape saya berbunyi. Sebetulnya saya sudah malas mengangkat telepon karena panggilan itu berasal dari nomor yang tidak saya kenal. Namun, memang benar, yang namanya hari apes itu tidak ada di dalam kalender. Bisa jadi karena terlalu bersemangat, saya angkat telepon laknat itu.
Dari seberang, si laki-laki memperkenalkan diri sebagai polisi. Atau setidaknya begitu dia mengaku. Dan panggilan itu merusak pagi yang indah sebelum KKN.
Petaka sebelum KKN
Saya mendengarkan suaranya dengan penuh perhatian. Dia berkata-kata dengan gaya bahasa formal dan berbicara agak lambat. Beberapa kali dia menegaskan bahwa dirinya adalah anggota polisi. Dia bahkan bisa menyebutkan jenis pangkat, nama institusi, hingga alamat. Sesuatu yang entah kenapa bisa membuat saya percaya.
Setelah itu, dia mengaku sedang menelusuri kasus pencucian uang dan saya terlibat di dalamnya. Mendengar itu, saya hanya bisa bengong. Istilah “pencucian uang” sangat asing untuk saya.
Sebagai mahasiswa semester 4 yang baru mau KKN dengan saldo rekeningnya tidak pernah bertahan di atas 500 ribu lebih dari 3 hari, tuduhan itu kayak petir di siang bolong. Bahkan sebetulnya saya merasa ini aneh betul.
Tapi ya begitulah, kekuatan sugesti dari suara yang terdengar seperti polisi beneran. Dia juga menyuruh saya untuk segera datang ke Polda Jawa Timur.
Saya bilang. “Saya di Madiun, Pak. Polda di Surabaya. Itu jauh, Pak. Lagian saya mau KKN.”
Tipu daya penipu
Nah, dari sini, tipu daya penipu memang berbahaya. Setelah tahu saya baru akan berangkat KKN, dia menawarkan solusi, yaitu pakai aplikasi Zoom Meeting.
Bayangkan, sidang etik level Polda bisa lewat Zoom. Yang muncul di kepala saya saat itu ada 2 hal. Pertama, saya nggak perlu jauh-jauh ke Surabaya karena Polda Jatim ada di sana. Kedua, saya tetap bisa KKN. Dua pikiran itu sebetulnya salah karena bikin saya terlena dan menuruti skenario di penipu.
Beberapa menit kemudian, dia mengirimi saya undangan untuk masuk Zoom. Di sana, sudah ada orang lain yang mengaku dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Orang itu lantas mempertontonkan saya semacam dokumen-dokumen digital. Belakangan saya sadar kalau dokumen kayak gitu bisa dibuat pakai Canva. Lalu, orang PPATK itu menjelaskan kalau saya pernah menggunakan data diri untuk membuka rekening di Bank Mega. Katanya, saat itu saya pasti sedang “terpuruk”. Saya nggak paham maksudnya.
Maka, saya langsung protes. “Pak, saya cuma punya 2 rekening, Mandiri sama BRI. Itu saja isinya sering nol rupiah.”
Mendengar saya membantah, mereka malah memaksa. Mereka bilang, sebagai bentuk itikad baik, saya harus mentransfer semua uang saya ke rekening Sinarmas yang katanya milik PPATK. Katanya ini prosedur pemeriksaan dana dan nanti uangnya akan kembali.
Dilema sebelum KKN
Saat itu saya benar-benar ketakutan. Pikiran saya terpecah antara harus berangkat KKN atau jadi tersangka kasus pencucian uang.
Akhirnya, karena panik, saya pergi ke ATM dan saya transfer semua uang saya ke rekening yang mereka kasih. Selesai transfer, saya kembali ke Zoom. Mereka bilang: “Kami masih belum percaya.”
Lalu, mereka meminta saya transfer lagi Rp1,5 juta sebagai bukti tambahan. Katanya ini jadi penegasan kalau saya tidak menjual data diri saya.
Sejujurnya, bagian ini lucu kalau saya pikir sekarang. Tapi waktu itu, saya betul-betul merasa sedang ikut sidang serius. Apalagi sebelum KKN, saya harus bisa membersihkan nama baik saya di hadapan lembaga negara, yang ternyata palsu semua.
Setelah saya transfer Rp1,5 juta, mereka masih juga belum percaya. Eh, mereka minta uang lagi. Di titik inilah akhirnya saya sadar. Ini bukan investigasi PPATK, ini penipuan. Brengsek!
Berusaha ikhlas karena cuma itu yang bisa saya lakukan
Setelah sadar, saya langsung keluar dari Zoom dan memblokir semua nomor mereka. Muncul niat untuk melapor polisi, sebetulnya. Namun, saya nggak punya cukup bukti dan nggak sempat. Karena setelah drama itu selesai, saya harus lanjut perjalanan ke lokasi KKN.
Uang saya melayang, tapi saya tetap berangkat KKN. Dan saya belajar hal penting dari kejadian ini, yaitu ikhlas.
Saya tidak ingin bilang “uang bisa dicari”, karena itu kalimat toxic positivity yang menyakitkan. Tapi saya memang tidak bisa kembali ke masa itu dan menampar diri sendiri. Jadi satu-satunya cara yang waras adalah berdamai dengan kejadian ini. Ikhlas.
Sekarang saya jadi lebih waspada. Telepon dari nomor asing langsung saya anggap sales asuransi. Kalau ada yang ngaku polisi, saya minta kirim surat resmi atau datang ke rumah sambil bawa martabak.
Jadi begitulah, sebelum saya melayani masyarakat lewat KKN, saya terlebih dulu “dilayani” oleh penipu berkedok negara. Bukan pembuka KKN yang saya harapkan, tapi semoga Tuhan mencatat ini sebagai ladang pahala.
Penulis: Ferdy Indra Kurniawan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Repotnya KKN sama Mahasiswa Kupu-kupu Tak Paham Organisasi: Bingung Mau Ngapain, Jadi Nggak Guna hingga “Diusir” Warga dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












