Apa yang lebih apes dari hidup di sebuah negara dengan rezim serbaparanoid yang gemar mengintimidasi lawan politiknya dengan tuduhan makar, lalu menangkapi mereka meski tak pernah terbukti punya kekuatan politik? Ternyata ada. Yakni menyaksikan satu korban rezim menunjuk korban lain bahwa merekalah yang lebih makar dan lebih layak ditangkap. Sayangnya, sejarah mencatat bahwa yang begitu memang akan selalu muncul di zaman apa pun.
2015 lalu misalnya. Barangkali Anda masih ingat ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir dua puluh dua situs web “islami” atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Laman-laman itu diduga menyebarkan radikalisme dan terorisme. Jelas banyak pihak yang keberatan dan membela situs-situs web “islami” itu. Dan mereka menyatakan keberatan itu sambil membandingkan dengan situs web “komunis” dan porno yang menurut mereka lebih layak diblokir.
Padahal kedua jenis situs web yang dituduh itu justru sudah kenyang dengan pemblokiran, jauh sebelum situs-situs web islami itu mencicipinya. Anda tentu belum lupa bagaimana repotnya membuka www.naughtyamerica.com, www.redtube.com, atau www.semprot.com. Tanpa mengakali proxy di peramban yang Anda gunakan, Anda harus berhadapan dengan Nawala. Meski nyatanya tak terbukti efektif (situs porno gampang dibuat kembali dalam hitungan menit), pemblokiran itu layak dianggap sebagai legacy dari Tifatul Sembiring. Terima kasih sekali lho, Pak Tifatul. Titip salam untuk @ToketQueen ya.
Dan komunis? Masih perlukah dijelaskan lagi?
Di rezim sekarang, korban menumbalkan korban lain juga ada. Bedanya, perkaranya bukan cuma blokir-blokiran lagi, tapi sudah makar-makaran. Misalnya Anda adalah pendukung aksi 212 dan merasa pemerintah sewenang-wenang karena menangkap sepuluh orang dengan tuduhan makar, lalu Anda menuding balik bahwa para pendemo Referendum Papua lebih layak ditangkap karena mereka lebih makar ketimbang aksi yang Anda dukung. Atau sebaliknya.
Ada lho yang begitu, wong saya lihat sendiri kok. Sehari sebelum aksi 212, polisi benar-benar menangkap sepuluh orang dengan tuduhan makar, setelah jauh-jauh hari sebelumnya, Kapolri mengabarkan akan ada indikasi makar. Tak lama kemudian, ada seorang pendukung aksi 212 melalui akun Facebook-nya membagikan tautan dari CNN Indonesia, “Seluruh Pendemo Referendum Papua Ditangkap”. Tak lupa menambahkan caption: “(asli) Makar di depan mata”.
Tentu saya tak bermaksud memukul rata bahwa semua pendukung aksi seperti dia. Tentu dia cuma oknum yang jumlahnya satu banding sejuta. Namun, meski Anda bukan orang yang seperti itu, Anda tetap boleh membaca tulisan yang tidak seberapa ini sampai habis. Minimal Anda bisa jawab kalau suatu saat nanti ditanya begini: sebenarnya, apa sih yang dimaksud makar? Apakah sepuluh orang (SBP, RS, AD, KZ, dan kawan-kawannya) sungguh-sungguh makar? Apakah kawan-kawan aktivis referendum Papua juga bisa disebut makar? Siapa yang lebih makar di antara keduanya?
“Wa makaru wa makarallahu wallahu khairul makirin.”
Mereka (orang-orang kafir itu) membuat makar, dan Allah membalas makar mereka. Dan Allah sebaik-baik pembuat makar.
Kira-kira begitu arti dari Ali Imran ayat 54 di atas (iya, Al-Quran itu isinya tidak hanya Al-Maidah 51 saja). Lalu apa artinya makar dalam ayat itu? Lihat sendiri saja, ya, sekali-sekali Al-Quran itu mbok dibaca. Jangan cuma baca status Facebook melulu.
Lagian meski kata makar berasal dari bahasa Arab, al-makr, tapi kita tak perlu tahu artinya sekarang. Dalam KUHP, kita meminjam kata makar cuma untuk menerjemahkan kata dari bahasa Belanda, aanslag dan aanval. Iya, peraturan hukum pidana kita memang warisan dari pemerintahan kolonial—makanya banyak yang ngehe. Sebenarnya ada kata dalam bahasa Indonesia yang cukup mendekati untuk kata aanslag dan aanval, yaitu “serangan”.
Kira-kira kenapa tidak memakai kata serangan saja alih-alih makar?
Nyatanya, memang tak harus ada unsur penyerangan untuk bisa dipidana makar. Tahun 2006 lalu, seorang ibu divonis 2,5 tahun oleh Mahkamah Agung karena membaptis anaknya tepat di hari ulang tahun proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS). Ibu itu memang simpatisan RMS, tapi tak ada unsur “serangan” di kasus itu. Tak ada senjata. Hanya bendera RMS. Ada banyak narasi semacam itu di ruang-ruang pengadilan kita. Selama masih banyak pasal karet dalam perundang-undangan, jumlah perbendaharaan narasi semacam itu akan terus bertambah.
Begitu juga sepuluh orang itu (kabar terakhir, tujuh di antaranya sudah dibebaskan) bisa kena cuma karena selembar surat yang sebenarnya tak punya kekuatan politik apa-apa. Sama halnya dengan kawan-kawan aktivis referendum Papua, meski mereka hanya menuntut rakyat Papua diberikan hak untuk menentukan sendiri nasibnya melalui jalur yang demokratis—bukan menuntut Papua harus merdeka. Pasal-pasal makar yang terletak di Pasal 104 hingga Pasal 110 KUHP, tak mensyaratkan harus ada kekerasan lebih dulu untuk bisa menjebloskan orang ke penjara.
Dan boleh-boleh saja Anda berdebat seharian tentang hak menentukan nasib sendiri sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (right to self-determination of peoples). Tentang quo vadis Pembukaan dan Pasal 28 UUD 45. Itu semua memang penting. Namun, yang tak kalah penting adalah: saat berhadapan dengan pasal karet yang bisa menjepret siapa saja, mau sampai kapan dorong-dorangan terus? Menumbalkan korban lain agar dilumat duluan?
Betapapun berbeda aspirasinya, semua orang bisa jadi korban saat berhadapan dengan pasal karet. Semua orang bisa disodomi memakai pasal karet itu tanpa perlu pelumas segala. Tinggal menunggu apesnya saja. Dan sama-sama kaum kapiran itu mbok ya bersolidaritas. Saling menguatkan. Kalau tidak bisa, paling tidak jangan mendukung segala bentuk keparanoidan rezim yang gemar mengintimidasi lawan-lawan politiknya pakai tuduhan makar. Jangan suka makakne. Sayangnya, sejarah mencatat bahwa yang begitu memang akan selalu muncul di zaman apa pun.