MOJOK.CO – Warga di permukiman kolong jalan tol Angke 2 Jakarta Barat diperhatikan hanya setelah viral. Wakil rakyat dan pejabat itu ngapain aja sih kerjanya?
“Nasib manusia ada di tangan vlogger yang mengarahkan kamera ke wajahnya,” kata kawan saya. Dan setelah permukiman kolong jalan tol Angke 2 Jakarta Barat viral, pendapat teman saya menemui kebenarannya.
Ada sebuah kehidupan di kolong jembatan jalan tol Angke 2, Jelambar, Jakarta Barat. Kehidupan yang sebelumnya seperti tidak pernah masuk ke dalam peta kehidupan di ibu kota. Namun, berkat seorang vlogger yang menelusuri permukiman itu, kita paham bahwa di sana ada warga yang terhimpit oleh kerasnya kehidupan.
Si vlogger itu tidak hanya menemukan tempat tinggal saja. Di sana bahkan sudah ada tempat ibadah sampai sekolah. Semua bereaksi. Termasuk para pejabat dan wakil rakyat yang tiba-tiba saja sok peduli dengan mengatakan bahwa lingkungan itu harus segera ditertibkan. Katanya, perkampungan di bawah kolong jalan tol Angke 2 itu mengganggu sanitasi, sirkulasi udara, dan estetika kota, khususnya Jakarta Barat.
Ironi pejabat atas permukiman di bawah kolong jalan tol Angke 2 Jakarta Barat
Sebenarnya pendapat para orang-orang sok penting itu ada benarnya. Bagaimana aspek kesehatan di permukiman di bawah kolong jalan tol Angke 2 Jakarta Barat harus diperhitungkan. Lha iya, nggak mungkin ibu kota yang mentereng dengan gedung bertingkat menyimpan ironi macam ini.
Namun, yang menjadi pertanyaan, ke mana para pejabat sebelum permukiman di bawah kolong jalan tol Angke 2 ini viral? Bukankah tugas mereka adalah menjadi wakil rakyat, yakni manusia-manusia kolong tol itu sendiri? Ini menjadi ironi yang lain.
Jika mau membuka mata, lingkungan kumuh di ibu kota bukan hanya itu-itu saja. Mana mau itu pejabat membuka mata atas kenyataan yang terjadi. Coba deh naik transportasi publik seperti KRL dari arah Kebayoran ke Palmerah. Di sana banyak lingkungan kumuh yang tumbuh di samping rel kereta.
Jika mereka keluar berpendapat ketika viral, ya apa bedanya wakil rakyat dengan para netizen? Bedanya cuma wakil rakyat mendapat gaji dan tunjangan, sedangkan netizen hanya mendapatkan meme di kolom komentar.
Pejabat kok malas
Inilah pentingnya pejabat untuk setidaknya naik kendaraan umum ke kantornya. Kantor yang berpendingin ruangan dengan pengharum nyemprot tiap lima menit sekali. Menjadi wakil rakyat itu artinya menjadi corong suara semua lapisan rakyat. Termasuk juga para warga di permukiman di bawah kolong jalan tol Angke 2 Jakarta Barat.
Saya selalu curiga jika pejabat berkomentar setelah sebuah isu viral, lantas mereka kerja apa nggak, sih? Bukankah seharusnya yang lebih memahami “halaman belakang” rumah sendiri ketimbang orang lain? Apa jadinya jika berpendapat setelah viral? Berbahaya.
Efek yang ditimbulkan juga berkepanjangan. Kini, warga kolong permukiman di bawah kolong jalan tol Angke 2 Jakarta Barat itu membatasi diri. Lingkungan menjadi tertutup dan menaruh curiga kepada siapa saja yang “muncul” di sana. Tentu saja mereka takut untuk direlokasi secara paksa. Apalagi mereka sudah nggak mungkin menghindarinya.
Jika para wakil rakyat muncul lebih dulu dari sorot kamera vlogger, tentu akibatnya nggak begini. Para wakil rakyat, dibantu dinas terkait, seharusnya lebih duluan melakukan pendekatan kepada para warga di sana. Semua dilakukan secara bertahap. Itu yang dinamakan kerja.
Jika dilakukan secara bertahap, ketakutan nggak bakalan terjadi di masyarakat. Warga permukiman di bawah kolong jalan tol Angke 2 Jakarta Barat tentu akan lebih terbuka. Mereka nggak akan menyimpan ketakutan akan relokasi paksa, tetapi paham bahwa wakil rakyat itu peduli sama nasib mereka.
Sebuah pemaksaan
Kekacauan di Jakarta, bagi saya, adalah pemaksaan pemindahan hunian tanpa memahami aspek psikologis warga miskin kota. Sebaik apapun hunian baru yang mereka tempati, seperti pendapat George Orwell dalam bukunya yang berjudul The Road to Wigan Pier, belum tentu menyelesaikan masalah perkotaan secara menyeluruh.
Memaksa wakil rakyat untuk memahami warga miskin kota, juga masalah yang lain. Jarak antara kaya dan miskin terlalu jauh. Pola pikir tentang kebersihan terlalu jauh untuk dijabarkan. Satu pihak bisa menyewa jasa bersih-bersih, satu pihak lagi 24 jam miliknya digunakan seutuhnya untuk mencari uang.
“Tinggal menjaga kebersihan, apa susahnya, sih?” Oh, tentu saja susah. Coba kita memahami kondisi warga di permukiman di bawah kolong jalan tol Angke 2 Jakarta Barat.
Pagi adalah saat yang baik untuk mencari uang. Siang dikit, ya mencari uang. Sore menjelang Magrib? Adalah saat paling suci untuk mencari uang. Malam juga tentang uang dan kelaparan masih mendera. 24 jam nggak membuat mereka kenyang.
Jangankan membersihkan comberan dan menyapu lantai rumah. Memindahkan pakaian kotor di lantai saja sudah nggak ada energinya. Itulah realita yang harus dipahami oleh para pejabat dan wakil rakyat.
Kudu memahami dinamika warga di permukiman di bawah kolong jalan tol Angke 2 Jakarta Barat
Menyadarkan untuk menjaga kebersihan, harus ditatar bertahap. Nggak bisa ujug-ujug relokasi. Itu sih hanya memindahkan masalah dari satu tempat ke tempat lainnya. Pahami dulu kondisinya, rumuskan dengan kebijakan yang nggak merugikan mereka.
Ealah malah ngomongin estetika. Sebelum ngomongin itu panjang lebar dan berbuih-buih, ada baiknya para wakil rakyat membaca dulu Sejarah Estetika-nya Martin Suryajaya. Karena keindahan beririsan dengan sikap bijak yang dilahirkan manusia.
Pejabat dan wakil rakyat yang hanya meneruskan isu dari netizen, apalagi vlogger, kok ya rasanya seperti seseorang yang habis memakan bangkai, ya? Mereka hanya memantulkan isu, lantas menyuruh pejabat terkait turun tangan.
Tugas mereka hanya berkomentar atas isu yang sudah bergulir di masyarakat. Padahal, memahami, melihat, dan merasakan penderitaan warga miskin kota sejatinya ya tugas mereka. Kita, masyarakat, bayar pajak untuk menggaji mereka menyelesaikan masalah-masalah seperti ini dengan adil dan bijak.
Kalau ujung-ujungnya menyuruh warga di permukiman di bawah kolong jalan tol Angke 2 Jakarta Barat relokasi secara paksa, jangankan wakil rakyat, gedebok pisang pun saya rasa juga bisa memikirkan hal tersebut.
Penulis: Gusti Aditya
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 5 Tempat di Jakarta yang Sebaiknya Tidak Dikunjungi dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.