MOJOK.CO – Inilah reaksi dunia setelah Indonesian Reporting Commission mulai go international di kancah grup Facebook luar negeri. Fantastis!
Sebagai orang yang memiliki pekerjaan yang sangat dekat dengan dunia persosialmediaan, mau tak mau saya sering tahu masalah yang trending di antara para netizen. Yaaa, meskipun sering telat. Hehe.
Nah, beberapa hari ini, saya mengamati sebuah pola yang lumayan mencolok. Polanya, beberapa grup luar negeri yang saya ikuti di Facebook mendadak mengubah privasinya dari terbuka jadi tertutup, dan dari tertutup jadi secret, alias rahasia. Kalau saya hitung, kira-kira ada lima (5) grup yang terpantau mengubah privasinya.
Awalnya, saya acuh tak acuh. Memang, sih, saya agak merasa aneh dan KZL karena beberapa kali notifikasi yang masuk bukannya dari teman, tapi malah dari grup-grup itu. Akan tetapi, kemudian, saya jadi paham juga apa masalahnya.
Usut punya usut, persoalannya bermuara dari Indonesian Reporting Commission versus beberapa grup dan laman luar negeri. Indonesian Reporting Commission alias IReC ini disebut suka melakukan report massal ke grup atau laman yang menurut mereka menyalahi aturan Facebook. Grup-grup itu pun ketakutan dan berusaha menyembunyikan diri mereka dengan diatur jadi secret, atau setidaknya tertutup.
Masyaallah!
Eh, kok, tiba-tiba IReC ini mengingatkan saya pada sebuah ormas di kehidupan nyata yang katanya suka “menegakkan aturan” itu, ya? Hmm.
Indonesian Reporting Commission, saat awal pendiriannya, hanya beroperasi di laman dan grup Indonesia saja. Di level nasional ini, mereka telah berhasil membumihanguskan beberapa grup dan laman yang konon “tidak sesuai aturan”. Tidak ada diskusi dan tukar pikiran. Pokoknya, bumi hangus solusinya!
Berbekal keberhasilan ini, mereka pun mengambil sebuah keputusan yang luar biasa, yakni go international. Debut go international mereka bisa dikatakan sukses besar: mereka berhasil membumihanguskan Nonsense Memes dan juga Crossover Nobody Ask For!
Tentu saja bagi IReC, kedua grup dan laman shitposting yang isinya bercandaan itu melanggar aturan Facebook sehingga harus dibubarkan. Apalagi, banyak orang Indonesia di grup dan laman tersebut.
Tapi, mana mau bule-bule itu dibumihanguskan laman dan grupnya dengan alasan “tidak boleh SARA dan ngomong kasar”? Apalagi, membuat grup dan fanspage sejatinya bukan pekerjaan mudah.
Membumihanguskan memang gampang, Mas IreC; kita bisa spam grup tersebut dengan konten negatif, lalu melaporkannya massal. Tapi, membangunnya dengan liker dan member asli yang aktif dan antusias? Susah, loh.
Indonesian Reporting Commission ini mungkin mengira kalau Candi Prambanan saja bisa dibuat dalam waktu semalam, maka grup dan laman Facebook yang ramai itu pun bisa dibuat hanya dalam waktu 1 detik. Oleh karenanya, pembumihangusan bagi mereka enteng-enteng saja dilakukan. Kerja keras orang yang membuat grup tersebut buat mereka bukan hal penting.
Padahal, nih ya, grup-grup dan laman tersebut sedikit banyak berguna untuk para anggotanya. Meskipun bukan dalam bentuk uang, grup-grup ini nyatanya bisa menciptakan tawa dan senyuman ketika di dunia nyata mereka sedang dilanda suntuk.
Reaksi negatif yang bergelombang pun tertuju pada IReC, sampai-sampai yang bersangkutan—bisa dibilang—berubah dari macan yang garang jadi kucing yang sembunyi ketakutan. Hihi. Ini ending yang sungguh wajar terjadi dan bisa diantisipasi bila anak-anak IReC mampu berpikir lebih panjang, empatik, dan tidak berlaku bak preman.
Netizen Indonesia Marah pada Indonesian Reporting Commission
Yang makin runyam bagi IReC, netizen Indonesia pada umumnya pun malah bersuka cita atas kehancuran mereka. Mungkin, mereka aslinya juga jengkel dengan kelakuan IReC yang sudah seperti preman moral. Hanya saja, mereka merasa sulit melawan selama ini. Maklumlah, di Indonesia, protes begitu mudah dibungkam dengan “budaya ketimuran”, “bebas tidak boleh bablas”, dan sejenisnya.
Tapi, bagaimana dengan di luar negeri? Memangnya, masyarakat internasional bisa diajak tunduk pada frasa “bebas tidak boleh bablas” juga?
Gini deh, untuk masyarakat luar, khususnya yang dari barat, kritikan dan candaan soal agama sekalipun sudah biasa. Bagi mereka, hal seperti itu adalah hak yang harus dilindungi. Pun, hal seperti itu tidak sampai membuat gelut di alam nyata. Ia juga tidak membuat seseorang dipenjara dengan demo berjuta-juta manusia.
Saya tidak bilang ini baik atau buruk, ya. Fokusnya bukan itu, please deh. Tapi kita perlu sadari bahwa tiap budaya itu berbeda. Lain ladang lain belalang. Makanya, tidak aneh ketika bule-bule itu marah besar karena aturan ala IReC diterapkan di area mereka. Orang Indonesia saja gerah, apalagi orang luar?
Dari sini kita juga bisa belajar bahwa sejatinya, baik orang Indonesia atau luar negeri, tidak ada yang suka dengan polisi moral. Kita, orang Indonesia, mungkin memiliki toleransi lebih tinggi atas cara-cara kerja preman moral. Toh, kita sudah biasa dengan ormas seperti itu di alam nyata. Tapi dalam hati, banyak di antara kita yang jengkel dan gerah.
Mengganggu Mata Pencaharian Orang Indonesia Lain
Kemarahan netizen Indonesia ini rupanya tak sekadar soal jengkelnya mereka pada polisi moral. Di beranda laman Facebook saya, muncul sebuah post dari seseorang yang mengaku rugi gara-gara apa yang dilakukan IReC.
Mas Faizal, nama penulis post tadi, menyebutkan bahwa dirinya gagal mendapat komisi dari kliennya gara-gara si klien kesal sama orang Indonesia atas apa yang dilakukan IReC. Dengan kata lain, reputasi orang Indonesia secara umum rentan rusak karena ulah grup tukang report itu.
Padahal, membangun reputasi itu tidak pernah mudah. Dan, reputasi akan sangat memengaruhi nasib finansial kita. Nggak percaya? Lihat saja Jepang.
Negara Jepang punya reputasi yang sangat baik di dunia internasional. Warga negaranya pun diuntungkan karena reputasi baik negaranya. Jepang dikenal karena berita-berita di mana warganya suka membuang sampah di tempatnya dan sopan pada orang. Lah kita?
Bukannya mencontoh Jepang, kita malah makin jadi badut di mata dunia. Kita dikenal suka rempong ngurusin orang.
Perundungan pada Admin Indonesian Reporting Commission?
Di tengah kejengkelan itu, satu nama mencuat sebagai pihak yang konon diyakini sebagai admin dari Indonesian Reporting Commission. Di beranda sosial media saya, hari ini banyak sekali meme yang beredar menyangkut orang ini. Ada yang sekadar membuat ilustrasi lucu, sampai menyebarkan identitas pribadi. Ada pula kabar bahwa orang ini dicari bule Australia dengan imbalan $300. Wow!
Tapi yang perlu kita ingat, orang ini kemungkinan bukan satu-satunya admin IReC. Selain itu, perundungan yang berlebihan juga tidak baik, gaes.
Benar, saya juga jengkel dengan kelakuan admin dan teman-temannya itu. Tapi, kita tetap harus tahu batasnya. Daripada terus menerus merundung, sebaiknya kita bangun saja budaya Anti-IReC yang kelakuannya seperti preman moral itu.
Dan, kalau bisa, budaya Anti-IReC ini kita teruskan di alam nyata untuk hal-hal lain yang serupa, misalnya menolak ormas yang itu tuh, yang suka berlaku bak preman sambil bawa-bawa agama dan budaya timur.
Ups. Hehe.