MOJOK.CO – Saat Jonru divonis bersalah oleh pengadilan sampai akhirnya bebas, dia tak lantas jadi pesakitan. Oh jelas, karena Jonru bukan semata individu, ia adalah sikap.
Saat kita menghabiskan satu hari penuh dengan leyeh-leyeh sambil perang tweet karena gugatan Prabowo ditolak semua sama MK dengan khidmat, sambil sesekali mengisi perut dengan sejumlah nutrisi agar terhindar dari jenis kematian yang tak layak dikenang.
Tentu, makan menjadi benar-benar wajib, sebab jelas siapa pun tak ingin wajahnya mengisi headline portal berita dengan judul semacam “Woow, Seorang Netizen Ditemukan Meninggal dalam Keadaan Twitwar”, bukan?
Kita tentu silap, atau mungkin tak benar-benar peduli, bahwa pada hari yang sama ada hampir sebelas ribu bayi lahir. Dengan asumsi setiap tahun ada 4,2 juta sampai hampir 4,8 juta bayi lahir di Indonesia, kamu bisa menghitungnya sendiri bila perlu.
Saya tidak punya pretensi untuk membawa tulisan ini pada penyesalan juga kampanye Keluarga Berencana (KB), atau memikirkan kelak setelah dewasa bibit-bibit baru itu akan memilih profesi sebagai apa, di tengah maraknya pengangguran belakangan ini.
Urusan masa depan biarlah mereka sendiri yang mengatur. Tapi, tidakkah kalian benar-benar peduli, dari sekian banyak itu, berapa besar kesempatan Bangsa Indonesia melahirkan sosok Jonru-Jonru baru?
Heh? Oh jelas, Jonru bukan profesi, ia adalah sikap papapsikipapap.
Saat divonis bersalah beserta hukuman 1,5 tahun atau 18 bulan penjara dan denda Rp50 juta dilayangkan pada Jonru, dia tak lantas jadi pesakitan.
Kepada orang-orang yang kadung menjadi pembenci Jonru menampar mereka dengan pekik takbir di pengadilan. Waw, kurang elegan apa coba?
Dalam kasus ini, Jonru seolah ingin menunjukkan kepada kita, laku (terbukti) kriminal yang dibungkus takbir akan membawa hati menjadi ikhlas dan tenang, untuk melalui hari-hari kelam di penjara. Kita boleh tak setuju, tapi ya memang begitu adanya.
Buktinya selama di penjara, Jonru tetap bisa terus melakukan kerja-kerja keabadian sebagai penulis buku. Bahkan seorang kawan pernah berseloroh—pada awal tahun 2018, saat kasus itu masih hangat—dengan sangat percaya diri, bahwa; “Tan Malaka yang belasan kali masuk bui saja hanya bikin 3 jilid Dari Penjara ke Penjara. Jonru baru sidang sekali sudah rampung dua buku, keren ya?”
Saya tahu dia, kawan saya itu, tak pernah baca buku Tan Malaka sama sekali apalagi bukunya Jonru tapi toh ungkapannya tak sepenuhnya keliru, kan?
Jonru bebas bersyarat akhirnya, tapi jelas kinerjanya tak semoncer dulu. Entah kita yang pura-pura melupakan jasanya, atau memang blio yang begitu mudah dilupakan.
Kini, namanya tak lagi dicatat sebagai oponion leaders, posisinya digeser oleh ustaz serba tahu dan netizen twitter maha pandai. Padahal, dulu Jonru adalah pemegang kunci jawaban atas segala macam pertanyaan. Dari politik sampai agama. Sekarang mah kita malah jadi lebih tertarik buat baca thread nggak bermutu.
Haqul yaqin, kalau Jonru masih semoncer dulu, perdebatan macam apa pun akan terjadi dengan sengit.
Isu konspirasi masjid hasil bikinan Pak Ridwan Kamil misalnya, dimasalahin oleh Ustaz Rahmat Baequni ya belum ada apa-apanya. Lain hal kalau tangan terampil blio yang mengolah.
Masih ingat nggak saat Jonru mempopulerkan istilah “Kafe Dajal”?
Itu lho pas blio melihat foto mural di warung martabak punya Gibran Rakabuming. Di sana ada lukisan bergambar orang bermata satu yang dikelilingi segitiga.
Beliau ya santai betul dengan memberi komentar “Anak Jokowi membuka Kafe Dajjal. Hi, seram. (Memang sih namanya bukan Kafe Dajjal. Tapi ada logo dan tanda-tanda Dajjal di dekorasi ruangannya). Hmm, kok sampai segitunya? Pertanda apakah ini?”
Coba lihat dua pertanyaan terakhir, jenis pertanyaan retoris tetapi mengajak kita untuk tabayun, kan? Hasilnya ya paling tidak masyarakat kita sedikit banyak cek fakta terlebih dahulu sebelum menelan informasi secara mentah, My Lov~.
Lagi pula nih ya, pada kasus itu konon Jonru cuma mau tes seberapa besar kemampuan masyarakat menyaring hoaks doang itu. Prank aja kalau kata anak zaman sekarang mah.
Atau yang lebih mutakhir, Saat tiba-tiba sebagian orang menjadi sok peduli pada nasib anak sekolah karena sistem zonasi itu padahal mah cuma buat konten, Jonru ya sudah sejak lama mengkritisi sistem pendidikan kita. Langsung ke akar malah.
Coba lihat, betapa kerennya blio saat berkomentar tentang tradisi coret-mencoret dan menautkannya dengan kurikulum yang mengekang para siswa, “Buatlah sistem pendidikan yang sesuai dengan karakter setiap anak, bukan sistem penyeragaman seperti saat ini,” tulisnya di fanspage pribadi, per tanggal 15 April 2019.
Gokil abis nih Jonru. Harusnya orang-orang berguru pada beliau soal pendidikan untuk pembebasan, ketimbang pada Paulo Freire yang cuma pemikir biasa asal Brasil yang komunis, liberal, proletar, protokol!!1!1!1!!
Ini belum dengan misalnya Jonru mau mengomentari dengan galak soal hasil Sidang MK kemarin ini. Wah, sudah pasti bakal lebih seru lagi nih dunia media sosial. Nggak membosankan kayak sekarang. Duh, debat politik jadi garing rasanya tanpa Jonru Ginting.
Jonru, pada titik tertentu, adalah pakarnya pakar dan intinya inti. Sayang jika kita tak lagi memberikan panggung kepadanya.
Yah, harus diakui sih memang sulit menjadi mantan narapidana, terlebih di negara yang dikepung stereotipe kayak begini. Tapi ya tolong Jonru kasih peluang sekali lagi dong. Ini apa-apaan coba, halaman Facebook-nya, yang telah diikuti satu juta orang lebih, malah ditutup Pemerintah. Sungguh cuma terjadi di rezim ini kreativitas seseorang dibatasi.
Ada banyak orang yang berusaha seperti Jonru, atau paling tidak kita anggap mirip belaka. Tetapi toh blio tak bisa benar-benar ditiru. Bahkan konon kalau mau dicopy-paste corrupt terus filenya.
Ada beberapa kawan saya yang coba menyandingkan Jonru dan Bli Jrx, bagi mereka keduanya sama menyebalkan dan banyak bacot di media sosial. Tapi seingat saya, tak pernah sekalipun Jonru berkicau “Kirim emailmu, Bangsat”.
Dalam kasus ini, apa yang diucapkan netizen lain memang benar, Bli Jrx sama sekali nggak mirip Jonru, tapi lebih mirip LiNa JoobStreet.