MOJOK.CO – Teruntuk yang terhormat, tercinta, terpuja, terbaik, tersukses, Bapak Yang Mulia Jokowi pada masa pandemi gini. Piye kabare, Pak?
Halo Bapak Jokowi yang terhormat, yang anaknya sudah sukses beli Persis Solo dan menang kontestasi di Surakarta, apa kabar, Pak? Semoga baik nggih. Kabar saya, Pak? Ah, tentu saja sehat sekali, lha wong kemarin saya pingsan karena lelah bolak-balik ngurus ibu saya yang sakit.
Nggak apa kok, Pak, nggak masalah. Bapak Jokowi itu nggak perlu nanya kabar saya, Pak, lha wong saya ini hanya orang yang kebetulan terpikat sama gaya pidato Bapak yang kalem, santun, penuh dedikasy ketika kontestasy. Setelah itu ikut arak-arakkan kampanye, lantas nyoblos.
Halaaah, Bapak ini lho, saya hanya rakyat biasa kok, Pak. Kan emang sudah jadi tugas seorang rakyat ketika habis nyoblos dan memenangkan kontestasi si politikus, lantas ditinggal pergi oleh ambisi dan gairah mereka.
Lupa sama janji demi janji? Ah, nggak juga, buktinya KPK makin kuat, mobil SMK laku keras di pasaran, dan dinasti politik udah nggak ada di Indonesia. Eh, ngoten tho, Pak?
Dengan datangnya surat ini, saya hanya ingin mengutarakan poin demi poin yang intinya berterima kasih kepada Bapak Jokowi dan juga segala jajarannya. Buat Bapak Wakil Presiden juga boleh deh semisal masih bertugas.
Begini lho, Pak, berkat Bapak Jokowi yang emoh menarik rem tanda darurat sejak awal ketika pandemi tiba di Depok, saya jadi ketiban untung dengan cara nggak pernah berangkat kuliah babar blaaas. Saya jadi nggak perlu itu yang namanya mbolos, lha wong semua kuliah jadi via daring.
Keberhasilan di ranah pendidikan ini barang pasti nggak pernah masuk dalam masterplan Bapak ketika mau jadi presiden. Hebat sekali, Pak. Namun masalahnya nggak hanya kuliah saja yang kukut, namun juga pedagang kecil, buruh-buruh harian, dan juga para pekerja transportasi juga mati suri.
Ah, nggak masalah kalau itu, Pak, yang terpenting itu semua pejabat di jajaran atas masih bisa makan nikmat, tidur dengan pulas, dan juga punya tempat teduh kala sakit. Itu penting sekali lha ya kan pejabat negara yang harus diutamakan, rakyat belakangan saja.
Rakyat itu, Pak, semisal mau tahu fakta di lapangan, lebih suka dengar raungan ambulans yang wira-wiri membelah jalanan kota ketimbang suara kodok di Istana.
Kami suka kesedihan, Pak. Makanan pokok lah kalau mau istilah lebih puitisnya. Negara, ketimbang memfasilitasi keamanan untuk rakyat, sepertinya lebih sering memfasilitasi kesedihan.
Hujan Bulan Juni itu tabah?
Duh, kenalan dulu sini sama ketabahan masyarakat Indonesia dalam menyikapi kebijakan negara ketika pandemi tiba. Ketabahan yang berlandaskan guyonan di atas kematian, inkonsistensi yang konsistensi, juga istilah-istilah njlimet macam PSBB, PPKM, PSS Siluk, Persiba Bangunjiwo, Persija Jakal, dll., dll..
Weh, tunggu dulu, Pak, jangan jerat saya sama UU ITE, kan sejatinya mengajarkan rakyat tabah itu adalah hal baik. Negara mana lagi yang kober ngajarin rakyatnya untuk tabah? Selandia Baru yang menetapkan lockdown dan dicap berhasil mengatasi Covid-19?
Ah, nggak seru. Kami, sebagai rakyat, nggak butuh kebijakan yang jitu, butuhnya ya yang kakehan pethengseng was-wes-wos-war-wer-wor-crut.
Ketika pandemi begini diibarat seperti bermain gim, negara lain itu ya hanya main di mode easy dan hard, sedangkan Indonesia ada di mode extreme-legend. Kalau negara lain lawannya Co-Cao, kalau Indonesia lawannya Lu Bu. Apalagi Lu Bu versi lagi naik Red Hare.
Gimana nggak main di mode extreme-legend, ketika negara lain mencoba waras, kita justru bikin Perppu 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Perppu yang dapat memicu tindak korup—dan nantinya memang terbukti kejadian.
Salah satunya adalah Pasal 27 Ayat (2) menyebutkan bahwa sejumlah pejabat yang melaksanakan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana asalkan dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebelum lanjut, mari tepuk tangan paling meriah untuk pejabat-pejabat di sebuah negara bernama Indonesia terlebih dahulu. Tepuk tangan paling meriah, sembari menundukkan kepala, kita haturkan sedalam-dalamnya.
Tapi serius, Pak Jokowi, saya bangga sekali jadi warga Indonesia di tengah pandemi yang berkelindan di kerongkongan kita saat ini.
Ambulans yang sirinenya bagai nyanyian selamat tinggal, tanah pemakaman yang saling tumpuk riuh rendah, hingga masyarakat akar rumput yang saling tindas atas nama kuasa dan kedudukan, apalagi yang lebih menyenangkan ketimbang ini semua?
Pejabat-pejabat bernyanyi ketika mudik, sedang pariwisata dikampanyekan. Pilkada tetap jalan, kampanye makin riuh, dangdutan adalah harga mati yang nggak bisa ditawar-tawar. Nggak mau menarik rem tanda darurat, ketika kolaps ya rakyat yang disalahkan.
Negara manalagi yang warganya dan pemerintahnya saling tuding menyalahkan? Negara mana yang maha asyik seperti ini selain di Indonesia? Dulu tongkat dan batu jadi tanaman, kini dana bansos untuk rakyat miskin jadi simpanan.
Sungguh, Pak, saya amat bahagia tinggal di Indonesia, ketika kami sebagai rakyat kelimpungan mencari uang dan kamar rumah sakit yang layak, negara terus mencari titik lucu untuk jadi bahan pemicu peningkatan imunitas rakyatnya.
Bismillah, gitaris Slank.
BACA JUGA 5 Alasan Otong ‘Koil’ Lebih Layak Jadi Presiden Indonesia daripada Jokowi dan tulisan Gusti Aditya lainnya.