Dinormalisasi banyak pekerja
Hal ini, khususnya di dunia kerja, sialnya menjadi kesenjangan dalam dunia kerja yang dinormalisasi sejak lama. Pemerintah, seperti sudah kadung nyaman. Dan perubahan yang lebih baik, untuk hal ini, seakan tidak diperlukan. Cenderung diabaikan.
“Ya, makanya. Cari perusahaan yang memberikan fasilitas cuti bersama, dong. Jadi, bisa ikutan libur.” Sekali lagi, poinnya bukan itu, kawan.
Okelah, perusahaanmu memberikan fasilitas cuti bersama sehingga bisa ikut libur dengan yang lainnya. Tapi, sekadar informasi saja, cuti bersama yang kalian nikmati itu, sejatinya memotong cuti tahunan.
Ya, ada beberapa perusahaan yang ikut libur cuti bersama tanpa memotong cuti tahunan. Tapi, seberapa banyak, sih?
Saat cuti tahunan dipotong secara sukarela seperti itu. Permasalahan berikutnya adalah, tidak semua pekerja ingin ambil libur di cuti bersama. Alasannya beragam. Ada yang ingin menyisakan atau mengumpulkan cuti untuk pulang kampung, liburan di lain waktu, atau keperluan lain yang mendesak di kemudian hari.
Efek cuti bersama
Sederhananya, efek cuti bersama yang memotong cuti tahunan adalah, libur yang sia-sia sekaligus terpaksa bagi sebagian pekerja. Sehingga, mau nggak mau merelakan kuota cuti tahunan lainnya.
Istilahnya, mau ngikut yowes. Kalaupun nggak ngikut, nggak apa-apa, monggo, silakan. Sekalinya ngikut, memotong cuti tahunan. Lha, gimana. Hehehe.
FYI, di negara lain, tidak mengenal dan tidak menerapkan cuti bersama. Mau libur bekerja untuk segala urusan? Ya, tinggal mengajukan cuti tahunan saja. Ada libur hari raya keagamaan? Ya, cukup mengikuti tanggal merah. Mau liburnya lebih panjang? Ya, bisa mengajukan cuti tahunan.
Rekan saya yang bekerja di Belanda memvalidasi informasi tersebut. Dua kakak ipar saya, yang masing-masing bekerja di Jerman dan punya klien di Dubai ikut berkomentar. Mereka menjelaskan, para user di negara tersebut tidak familiar dengan cuti bersama. Dan tidak mengerti urgensi mengenai cuti bersama di Indonesia.
Baik rekan dan kedua ipar saya, sama-sama pernah kebingungan, bagaimana menjelaskan tentang cuti bersama tersebut. Dan bagi kakak ipar saya yang punya klien di Dubai, mereka, para user di Dubai, tidak mau tahu. Sehingga, tuntutan untuk bekerja seperti biasa tetap mau tidak mau dilakukan.
Lain halnya di negara tetangga, contohnya Malaysia, yang menerapkan aturan public holiday baku. Rumusannya seperti ini. Jika public holiday jatuh pada hari Minggu, libur akan digeser menjadi hari Senin. Sehingga, proses libur bisa lebih merata bagi pekerja, tanpa mengganggu tanggal merah yang dimaksud.
Lantas, apakah replacement holiday dapat menjadi solusi?
Jawabannya, untuk kesejahteraan pekerja soal hari libur yang merata, bisa dilakukan dan diadaptasi. Opsi lain yang memungkinkan, cuti nasional diperpanjang. Sehingga, implementasinya akan merata bagi para pekerja dan tidak perlu memotong cuti tahunan. Kalaupun ada, yang diminta bekerja, jelas, terhitung sebagai lembur dan wajib dibayar sesuai ketentuan.
Tujuan cuti bersama menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan, niatnya boleh saja baik, yaitu untuk melindungi pekerja. Tujuannya supaya dapat beristirahat dan dapat mental, juga meningkatkan produktivitas kerja.
Namun, sayangnya, tujuan baik ini tidak diimbangi dengan praktik yang baik. Sehingga, menimbulkan efek laten yang tidak diduga, yaitu area abu-abu dan menguras jatah cuti pekerja yang nggak mau ambil hari libur saat cuti bersama.
Cuti bersama sebaiknya bersikap adaptif
Bayangkan. Nasib pekerja yang nggak mau ikut cuti bersama, mau menolak libur nggak bisa. Kalau mau tetap bekerja, nggak terhitung sebagai lembur karena selain tidak ada perintah, ya, memang lagi cuti bersama.
Jika memang prioritasnya adalah menghargai keberagaman hari raya keagamaan, saya pikir, sebaiknya bersifat adaptif. Sebab, perayaan, ritual, dan acara masing-masing agama tentu berbeda.
Bukan fakultatif (bersifat pilihan atau tidak menjadi kewajiban). Itulah sebabnya, cuti bersama masih ada dalam pusaran grey area yang, sejujurnya menyebalkan bagi kebanyakan pekerja di Indonesia.
Jika melihat kondisi dunia kerja di negara kita saat ini, sepertinya awareness mengenai salah satu kesenjangan ini, lagi-lagi akan dibiarkan begitu saja. Sama seperti persoalan dalam dunia kerja lainnya.
Penulis: Seto Wicaksono
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 5 Cuti Tambahan yang Seharusnya Ada untuk Mendukung Jiwa-jiwa Pekerja Rapuh dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.









