Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Corat-Coret Kota dan Penggusuran

Iman Zanatul Haeri oleh Iman Zanatul Haeri
20 September 2016
A A
Corat-Coret Kota dan Penggusuran

Corat-Coret Kota dan Penggusuran

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Seandainya rumah-rumah di bantaran sungai di Venezia digusur oleh pemerintah setempat, maka kita tidak akan mendengar kisah romantis dari sekoci-sekoci kecil, tempat favorit berciuman para wisatawan, dan lokasi menawan yang biasa digunakan film-film Hollywood. Bisa jadi pula UNESCO tidak akan mendaftarkan Venezia menjadi cagar budaya yang patut dilestarikan.

Tapi walikota Venezia tidak melakukannya. Yang terjadi justru sungai diperdalam, dan rumah-rumah di bantaran sungai dibangun makin kokoh. Mereka tak rela sejarah arsitektur renaisance harus dihancurkan demi menunjukkan gagasan bahwa rumah di bantaran sungai rawan banjir dan mesti digusur. Sebab pada zaman renaisance justru lebih banyak gagasan penting yang lahir.

Salah satunya: humanisme.

Para pengusung ide penggusuran rumah di bantaran sepertinya memang bersikap ahistoris (atau memang tak paham) betapa nyaris seluruh peradaban di dunia dimulai dari bantaran sungai: sungai Nil, sungai Mohenjo Darro-Harrapa, sungai Indus, sungai Huangho, sungai Eufrat-Trigis, dan yang lain.

Masyarakat di pinggiran sungai tersebutlah yang menghasilkan peradaban pertama di Mesopotamia, bangunan gigantis seperti Piramid, termasuk atlas Cina, hingga kodek kitab hukum pertama Hamurabi.

Tetapi tentu saja Jakarta tak punya peradaban pinggir sungai yang agung. Di sana, berdasarkan “data”, konon hanya ada tempat kumuh yang benar-benar tidak dapat diselamatkan. Maka perbandingan antara Venezia dengan Cilwung dirasa tak apple-to-apple.

Di Venezia, misalnya, tidak ada asbes, tak ada pula terpal berbentuk kotak yang menggantung di atas sungai dengan topangan kayu kurus: tempat meluncurnya tai-tai orang miskin dari lubang pantat. Sebuah pemandangan lazim ketika Anda lewat pinggiran Ciliwung.

Mungkin betul belaka bahwa penduduk kumuh di bantaran sungai Jakarta tidak menghasilkan peradaban. Tetapi, saya kira, pemahaman semacam itu muncul lebih didasari keyakinan, bukan fakta sejarah. Maka ada baiknya melihatnya secara historis dulu sebelum adu urat leher.

Itulah mengapa kemudian sejarawan yang belum “tersertifikasi” seperti JJ Rizal tampak sangat mengganggu bagi Ahok. Dengan menyeret logika hukum ala Kantian dan filsafat politik Machiavelian, JJ Rizal menyodorkan sinisme historis yang kelewat mengganggu bagi Ahok dan para hambanya yang menamakan diri #TemanGubernur.

Sebagaimana yang sudah-sudah, penanganan masalah Jakarta melulu melibatkan ahli-ahli dari luar negeri–Jerman atau Belanda paling sering didatangkan. Biasalah, mental inferioritas dari efek kolonialisme yang mendarahdaging membuat mereka menganggap para ahli tersebut otomatis hebat dan pasti paham kondisi sesungguhnya.

Padahal, jika memang ingin betul meniru luar negeri, ada baiknya mendatangkan ahli dari negara yang memiliki banyak penduduk kumuh dengan tekstur tanah yang sama, sungai yang sama, dan iklim yang sama-sama tropis. Dalam hal ini, tiada negara yang tepat selain Brasil.

Mari kita mulai dengan pertanyaan: Apakah Gubernur DKI Jakarta suka melukis?

Pada tahun 2011 lalu, sebuah opini berjudul Recued by Design yang ditulis Michael Kimmelman di New York Times menggegerkan pikiran saya. Ia menyatakan bahwa untuk beberapa negara berpenduduk miskin dan kumuh, harapan justru datang melalui desain visual seperti grafiti. Bagaimana penjelasannya?

Dari yang sederhana saja. Jika Anda menelusuri akun-akun para seniman grafiti di Instagram, sorotan paling banyak akan tertuju kepada seniman-seniman di Brasil karena dianggap berhasil membuat grafiti sebagai pesan sosial yang konkret.

Iklan

Hal ini sebetulnya sudah sejak lama berlangsung. Sejak 2009 lalu, Pemerintah Brasil bahkan membuat undang-undang yang mengatur tentang legalitas grafiti yang intinya berisi: menggambar grafiti di manapun sah-sah saja selama sudah terjadi kesepakatan antara si bomber dan pemilik bangunan.

Hasilnya luar biasa. Terlebih pemerintah setempat pun turut mendukung persebaran grafiti di tiap sudut kota. Rumah-rumah kumuh tidak digusur dengan keroyokan aparat bersenjata lengkap. Jalan tikus setapak dirapikan dengan semen, beberapa kayu ringkih dan triplek semi permanen diganti dengan tembok-tembok mulus.

Setelah semua infrastruktur dibenahi, giliran para seniman grafiti mengambil perannya. Mereka mengecat tembok-tembok, jembatan, tiang-tiang, bahkan beberapa tangga juga turut diberi sentuhan warna-warni dan gambar-gambar yang menawan. Pada pagelaran Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, karya-karya grafiti tersebut juga turut mengundang decak kagum pengunjung.

Apa yang terjadi di Brasil bahkan menjadi rujukan bagi PBB untuk melakukan hal yang sama di beberapa tempat kumuh di berbagai belahan dunia, seperti di Kenya dan beberapa negara dunia ketiga lainnya.

Di Brasil, kita disuguhkan kenyataan betapa desain visual dapat menyelamatkan tempat kumuh dari hinaan yang terlalu banyak. Mungkin ide tersebut tidak sehebat seperti yang dilakukan Romo Mangun ketika menggagas pemukiman Kali Code di Yogyakarta pada tahun 80-an silam.

Tetapi, setidaknya, grafiti-grafiti tersebut bisa dilihat sebagai upaya yang amat terang dalam memanusiakan orang-orang miskin.

Mengurus orang miskin memang selalu tampak merugikan. Maka tak heran jika kemudian “tanggung jawab” tersebut kemudian dialihkan kepada investor atau pengembang properti. Bangunan-bangunan baru didirikan, orang-orang diharapkan datang membeli, lalu yang miskin otomatis akan turut mendapat penghasilan.

Begitu dangkalnya, seolah-olah hanya logika bisnis demikianlah yang dapat mendatangkan kemakmuran bagi siapapun.

Sebagaimana ilusi mata yang dihasilkan oleh salah seorang seniman Brasil ketika membuat mural masal 3D di sebuah sudut kumuh favela di Rio, keyakinan bahwa orang miskin dan rumah kumuhnya tidak bisa diselamatkan hanyalah kehendak penguasa belaka.

Carl Joachim Friedrich dalam Filsafat Hukum: Perspektif Historis, menulis: sejak zaman Plato, hukum pada mulanya diciptakan memang hanya untuk keadilan distribusi barang dan jasa. Dengan kata lain, sesungguhnya hukum memang dibuat hanya untuk melayani orang-orang berpunya. Kaum miskin seperti pemilik rumah kumuh tanpa sertifikat legal lebih baik digusur saja. Ngeyel dikit, tembak.

Sekarang, jika grafiti dianggap melanggar hukum, maka praktik penggusuran paksa semestinya juga dianggap ilegal bagi hak asasi manusia. Terlebih dalam Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia PBB Nomor 77 Tahun 1993 (1993/77) dinyatakan bahwa ‘penggusuran paksa termasuk dalam pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas perumahan yang layak’.

Namun, apa boleh bikin, kita hidup di zaman di mana ada penguasa yang begitu bebalnya hingga tak mampu membaca peraturan tersebut, padahal ia selalu mendaku melek konstitusi. Menjijikkan.

Saya kira, untuk merespon kebebalan tersebut, lebih baik kita hancurkan saja planet mars sekalian dengan dalih merusak pemandangan manusia di bumi. Toh tak ada peraturan yang melarangnya. Akan tetapi, sebelum melakukannya lebih baik kita dengarkan dulu wejangan Spongebob: “Menjilat gagang pintu adalah ilegal di planet lain.”

Nah, jika Anda ingin terlihat lebih bodoh dari tokoh kartun, silakan hancurkan mars sekarang juga. Dan kalau berani sih tak perlu membawa aparat. Itu kalau berani. Kalau tidak, ya sebaiknya Anda mulai berlatih membesarkan volume suara saat berbicara. Minimal dengan begitu Anda sudah tampak mengerikan.

Meskipun kita sama-sama tahu: Anda cuma pengecut.

Terakhir diperbarui pada 18 Februari 2021 oleh

Tags: ahokBrasilfeaturedgrafitikemiskinanmuralorang miskinpenggusuran
Iman Zanatul Haeri

Iman Zanatul Haeri

Artikel Terkait

Raya, bocah asal Sukabumi yang meninggal karena cacing gelang. Sempat ditolong rumah teduh. MOJOK.CO
Catatan

Pesan Raya dari Surga: Jangan Pernah Hilang Empati terhadap “Orang Miskin” karena Pemerintah Mengabaikanmu

23 Agustus 2025
Upaya Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, entaskan kemiskinan di Jateng MOJOK.CO
Kilas

Target Gubernur: Tak Ada Warga Jawa Tengah yang Terbelenggu Kemiskinan Bertahun-tahun

24 Juli 2025
kemiskinan orang miskin dilarang punya anak banyak mojok.co
Mendalam

Kemiskinan Membunuhmu, Pemerintah Mengabaikanmu

8 Juli 2025
kentingan baru, solo.MOJOK.CO
Ragam

Trauma Warga dan Anak-Anak Kampung Kentingan Baru Solo Menyaksikan Tetangga Meninggal karena Ulah Polisi dan Mafia Tanah

21 Februari 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.