Tulisan ini untuk pekan mengenang kampus. Sebenarnya saya belum berhak menulis tema ini karena status saya masih mahasiswa unyu. Menulis ini seperti status masih pacaran tapi berasa jomblo. Mending putus aja. Eh, gimana? Tapi sebagai mahasiswa tingkat akhir, pekan mengenang kampus jadi motivasi tesendiri bagi saya agar cepat menyelesaikan skripsi—supaya segera menyongsong achievement-achievement lain afdol laku nostalgiknya.
Kampus saya yang insya Allah tahun ini akan resmi jadi kenangan, terletak di jantung kemacetan peradaban Jakarta. Siapa yang tak tahu Universitas Paramadina yang hits nian. Ya, walau seringnya orang notice karena mantan rektornya, “Oh, kampusnya Anies Baswedan ya?”. Sebagai generasi muda yang tak kalah hits di situ kadang saya merasa sedih. Ia sudah menjabat menteri di peradaban lain, sudah mantan rektor. Mantan. Kenapa sih orang-orang pada susah move on? Sudah saatnya regenerasi. Saatnya menengok generasi yang lebih unyu yang kiprahnya tak kalah membanggakan.
Jangan salah paham dulu, saya tak sedang membicarakan diri sendiri. Tapi begini, walau nama Paramadina beken ke mana-mana, yang namanya kampus pasti ada suka dan dukanya. Nah, di sini saya hendak berbagi rahasia suka-duka tersebut. Siapa tahu, tho, siapa tahu ada yang sedang ngegebet anak Paramadina jadi terbantu untuk memahami konteks semangat zaman di mana sang gebetan berasal.
Lahan Kampus yang Kecil
Kalau Kak Andreas bilang kampus PNS almamater Kak Gita Wiryawan yang legendaris itu kecil, paling-paling sebesar satu fakultas di perguruang tinggi lain, Paramadina lebih kecil lagi. Satu fakultas di universitas lain bisa 3-5 kali kampus kami. Tapi karena tanah di pusat peradaban Jakarta mahal sekali, kami sebagai mahasiswa bisa memakluminya. Karena lahan yang tak luas, jika civitas akademika Paramadina hendak bermain futsal, harus bergantian dengan kendaraan yang parkir. Tiap minggu pasti ada tulisan “Bagi yang memarkir kendaraan di sini, mohon mengosongkan lapangan sebelum pukul 18.00 karena akan dipakai futsal. Terima kasih.”
Dengan budaya yang demikian, kami tumbuh jadi mahasiswa yang mengamalkan nilai-nilai Pancasila, saling tenggang rasa, dan gemar berbagi lahan parkir. Tak Ada Senioritas Sebagai kampus peradaban, sudah barang tentu egalitarian adalah napas keseharian kami.
Tak ada istilah senioritas
Nuansa militeristik tinggalan orde baru—yang entah apa faedahnya—yang masih kental di helatan ospek-ospek kampus lain, sudah lama kami tinggalkan.
Di tempat kami, kegiatan orientasi kampus bernama GMP, Grha Mahardika Paramadina. Grha mahardika artinya rumah kebebasan. Sedari awal, mahasiswa baru sudah disambut dengan semangat pembebasan. Sebab slogan revolusi kami adalah Libertè, Ěgalitè, dan Gak Takut Beken. Kami menghargai hak-hak setiap individu untuk bebas dan jadi hits. Tak peduli kasta mahasiswa baru atau sesepuh. Mahasiswa yang lebih senior juga tak insekyuran kalau ada adik kelas yang bersinar.
Kamus kami tak mengenal kata insekyur. Jadi nggak ada ceritanya mahasiswa Paramadina nyinyirin mantannya pacar di media sosial karena insekyur kalah ngehits. Asal kalian tahu, itu tidak elegan, keliatan insekyurnya, dan bukan tindakan strategis. Percayalah. UKM Seumur Jagung Selain kecil, kampus ini juga baru seumur reformasi. Baru lima belas tahun berdiri. Didirikan oleh Nucholis Madjid, biasa disapa Cak Nur, cendikiawan Muslim yang mengembangkan pemikiran sekularisasi di Indonesia.
Semangat mendirikan Paramadina adalah semangat membentuk masyarakat madani, civil society. Masyarakat madani sering merujuk pada sistem pemerintahan modern di Madina zaman Muhammad. Di mana pemimpin dan hukum yang berlaku adalah hasil konsensus masyarakat yang beragam: Islam, Yahudi, dan kaum-kaum pagan di Madinah, bukan dinasti kerajaan yang pemimpinnya turun-temurun yang jadi sistem pemerintahan banyak masyarakat waktu itu. Robert N Bellah, seorang sosiolog agama, menyebut sistem pemerintahan Madina waktu itu too modern too succeed.
Kurang lebih itu yang saya kenang dari mata kuliah sejarah peradaban Islam waktu semester satu. Kampus belum lama berdiri, unit kegiatan mahasiswa sendiri baru aktif terbentuk pada 2006. Kampus yang kecil dan UKM yang masih baru berkembang ini membuat mahasiswanya gemar mencari kegiatan lain di luar. Menyalurkan hasrat peradaban. Jadi, tak usah heran kalau kalian sering menemukan anak hipster Paramadina berkiprah di skena pergerakan nasional.
Ngopi Bareng Dosen
Karena budaya egalitarian yang saya ceritakan tadi, mahasiswa dan dosen serupa kawan. Kami sering diskusi bareng di kantin, ngopi bareng, curhat-curhatan.
Ada juga mahasiwa dan dosen yang saling jatuh cinta kemudian menikah. Mengingat di Paramadina banyak dosen muda. Tapi sayang, secara zodiak dan hitungan primbon tak ada yang cocok dengan saya. Rohis Nano-Nano Agak berbeda dengan rohis di kampus lain yang biasanya didominasi oleh kelompok atau pandangan tertentu, rohis di Paramadina isinya macam-macam orang dan pandangan. Ada yang salafi, ada yang lebih liberal, ada yang berkerudung lebar, ada yang tak pakai kerudung, ada juga kawan-kawan non-Muslim suka bergabung. Rohis jadi semacam rumah kebebasan untuk berinteraksi dan berdisuksi dengan yang berbeda. Jadi, percaya kan kalau saya yang pecicilan dan tidak ukhti-ukhti sama sekali ini anak rohis di kampusnya dulu?
Banyak Mahasiswa Kece
Paramadina terkenal sebagai kampus yang mahasiwanya cantik-cantik cakep-cakep. Tapi oleh semangat peradaban menuju masyarakat madani, kami tidak dididik untuk fana dengan hal-hal demikian. Kami dididik untuk jadi anak zaman yang, kalaupun tidak bisa berkontribusi besar dalam sejarah perubahan, minimal rendah hati. Tidak silau oleh puja-puji duniawi. Bahwa kami mahasiwa ketje-ketje adalah sebuah realitas yang tak perlu kami banggakan. Mengembangkan basis intelektual dan kepedulian sosial adalah hal-hal yang membuat kami yang kece tak jumawa. Â Dan, sepertinya saya harus segera mengakhiri tulisan ini sebelum semakin tak rendah hati. Kurang lebih demikianlah semangat zaman yang menggodok pelajar kampus peradaban. Paham kan, kira-kira pendekatan macam apa yang harus dilancarkan untuk ngegebet anak Paramadina?