MOJOK.CO – Ketika saya masih mahasiswa teman-teman sering tanya, “Kamu kok suka resisten sama Pak Henry Subiakto sih?” Hm, oke saya bisa jelaskan.
Belakangan Profesor Henry Subiakto sering dibicarakan di Twitter. Bahkan sindiran yang mengarah kepadanya sampai masuk trending topik di Twitter. Wah, keren. Dosen saya trending, Bosque.
Sindiran-sindiran tersebut semakin panas manakala Profesor Henry Subiakto mengunggah liputan Narasi TV di akun Twitternya @henrysubiakto dengan watermark yang sudah dihapus.
Tugas penegak hukum itu memisahkan antara Pelaku unjuk rasa dg pelaku kejahatan pengrusakan dan kerusuhan. Unjuk rasa itu hak, sdg pengrusakan, pembakaran fasiltas umum itu pidana. CCTV & mesin learning membantu aparat mudahkan identifikasi pelaku pidana di tengah kerumunan. pic.twitter.com/V8pSo9hQnd
— Henry Subiakto (@henrysubiakto) October 30, 2020
Tentu saja, sebagai seorang professor, unggahan ini patut disayangkan karena Pak Henry adalah Staf Ahli Kominfo. Netizen pun melampiaskan kemarahan ke Pak Henry Subiakto karena dianggap tidak menghargai hasil karya orang lain. Meski begitu, alih-alih meminta maaf akan kesalahannya, Pak Henry Subiakto tetap ngotot.
Sejak awal saya dapat atau dikirimi video itu tdk ada logonya. Saya sama sekali tdk menghilangkan, lha apa saya hrs nulis dan buat logo di video itu. Yg penting isinya bagus dan saya tdk mengubah atau mengaku sbg karya saya.
— Henry Subiakto (@henrysubiakto) October 30, 2020
Balasan ini tentu saja semakin memancing netizen yang ngamuk-ngamuk makin banyak. Apalagi Bung Rocky Gerung sampai pernah nyebut Pak Henry sebagai kompresor alih-alih profesor. Duh, kejam betul ini lambe-nya Bung Rocky.
Dulu, ketika saya masih mahasiswa dan sebelum beliau makin terkenal karena kontroversi ini, banyak teman-teman sering bertanya pada saya, “Kamu kok tampak resisten sekali sama Pak Henry sih?”
Waktu itu, pertanyaan semacam ini tidak saya tanggapi dengan serius. Karena memang polemik yang saya angkat dengan beliau saya yakini tak akan bisa menandingin polemik antara A.S. Laksana dengan Goenawan Mohamad. Lagian, saya kan cuma mahasiswa (dulu), jadi kelewat jauh lah levelnya.
Lagian, berdebat dengan Pak Henry Subiakto tak akan menimbulkan efek edukatif sekaliber polemik-polemik dari tokoh-tokoh yang saya sebutkan di atas.
Padahal dulu saya bersyukur sekali bisa menjadi mahasiswa baru di Universitas Airlangga (Unair) dan menamatkan kuliah saya dengan baik. Ada semacam kebanggaan di pikiran saya untuk membawa pengalaman kuliah di Unair.
Tapi naas, kebanggaan itu harus saya sembunyikan rapat-rapat kalau lihat kicauan Pak Henry Subiakto di media sosial. Apalagi kalau udah mulai debat sama abang-abang jago kayak Rocky Gerung atau Fadli Zon.
Duh, duh, rasanya kok ngaku sebagai mahasiswa Pak Henry Subiakto di Unair tiba-tiba jadi gimana gitu yak?
Tentu saja, perasaan saya ini tidak mewakili mahasiswa Unair secara keseluruhan. Sebab saya yakin masih ada beberapa mahasiswa yang masih mengidolakan Pak Henry Subiakto. Meski saya jamin, jumlahnya mungkin sebanyak dua orang saja.
Apa yang akan saya ceritakan ini sebenarnya sudah menjadi semacam cerita rakyat di kalangan mahasiswa beliau sih. Beberapa cerita ini bisa semakin dikuatkan oleh mereka yang sudah lulus, dan sebagian masih jadi mahasiswa Ilmu Komunikasi Unair.
Jadi, buat adik kelas yang masih bertahan di dalam bersama Pak Henry Subiakto. Duh, kuat-kuatin dulu ya, Dik! Ayo kamu pasti bisa hadapi semua ini.
Jadi begini.
Saya ini masuk Universitas Airlangga lima tahun lalu di Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP. Nah, kebetulan saya berteman dengan beberapa begundal yang sering ghibah asyik soal segala keganjilan kampus. Geng bersama para begundal ini namanya KBU (Kotak Belajar Umum).
Nah, suatu hari, pada semester tiga, saya bersama mereka masuk ke sebuah kelas. Saya lupa-lupa ingat itu mata kuliah apa, hanya samar-samar bisa saya ingat adalah terkait komunikasi dan hukum, dengan dosen Profesor Henry Subiakto. Waini.
Konon, menurut gosip dari senior-senior, merupakan suatu kejadian langka bisa bertemu dengan beliau di dalam kelas atau kampus. Artinya, kehadiran Profesor Henry Subiakto ke kelas kami waktu itu merupakan kesempatan yang patut dirayakan.
Ya iya dong, sebab beliau memang jarang sekali beraktivitas di kampus. Setidaknya ketika saya masih mahasiswa lho ya. Nggak tahu deh kalau sekarang-sekarang ini.
Meski begitu, sebagai mahasiswa yang takzim tentu kami mengerti kalau Pak Henry Subiakto memilih untuk lebih giat menjadi Staf Kominfo. Apalagi beliau sudah belasan tahun menjabat jadi staf itu. Sebuah posisi yang selalu beliau banggakan di hadapan mahasiswanya. Luar biasa memang semangat berkabinetnya.
Kesan berikutnya begitu kami diajar Pak Henry Subiakto, adalah beliau ini merupakan dosen yang mampu mengajari kami dengan contoh sempurna: Bagaimana sih wujud dosen ultra-narsis itu?
Jadi, ketika kami masuk ke dalam kelas, duduk di bangku paling depan untuk merasakan sensasi dikuliahi oleh dosen yang paling sulit ditemui di kampus itu, kami akan dipaparkan slide pertama pada file PPT yang dibukanya merupakan kanal YouTube dan akun-akun media sosialnya.
Berikutnya, tugas pertama kami sebagai mahasiswa adalah mem-follow akun-akun tersebut. Beliau juga tak sungkan untuk memutar satu buah potongan video kegiatan kesehariannya yang sekaligus menjadi konten-konten dalam kanal YouTube-nya. Wedyaaan.
Barulah di slide kedua tema kuliah hari itu muncul dan sebagain besar mahasiswa sudah lupa beliau nerangin apa. Tapi yang bisa diingat, Pak Henry Subiakto di setiap kesempatan kuliah hampir selalu menyebut dengan bangga bahwa dirinya merupakan salah satu perancang UU ITE.
Dalam pendapatnya, UU ITE penting untuk menanggulangi persebaran hoaks yang masif di Indonesia. Kami yang mendengarnya waktu itu tentu saja harus terpukau. Ya maklum, soalnya kami sudah terlanjur nganu sama caranya mengajar yang aduh.
Mulanya kami belum benar-benar meyakini bahwa Pak Henry Subiakto adalah dosen yang ultra-narsis. Saya bahkan hanya beranggapan bahwa kesan kayak gitu hanyalah kesan pertama. Semacam efek hallo aja gitu.
Nah, pada sebuah hari yang jauh setelah pertemuan pertama kami, Pak Henry kembali muncul. Tapi bukan di kampus, melainkan di sebuah hotel di Surabaya untuk menghadiri seminar bersama pembicara Profesor Ariel Heryanto.
Penyelenggara acaranya sih prodi jurusan kami sendiri. Jadi jangan wah dulu seolah-olah Pak Henry Subiakto benar-benar diundang sebagai tamu dari jauh.
Melanjutkan kesan kami di kelas, Pak Henry Subiakto pun tak berbeda ketika menyampaikan materi di seminar. Bahkan ketika Profesor Ariel Heryanto sudah membahas media dan budaya secara filosofis, Pak Henry Subiakto malah balik lagi membahas hoaks dan—tentu saja—penjelasan kenapa UU ITE penting. Yaktul, bahas aja itu terooos, Prof.
Di mata kacamata mahasiswa-mahasiswanya, penyampaian Pak Henry Subiakto itu sudah melebihi seorang akademisi. Beyond banget. Buktinya, tidak satu biji pun dari kami mendengar analisis teoritik yang menakjubkan dari beliau kala itu.
Dari pengalaman itu, ditambah dengan cerita dari senior, kami sebagai mahasiswa pun jadi sadar bagaimana cara menghadapi Pak Henry Subiakto. Apalagi kalau sedang punya masalah di kampus dengan beliau.
Satu-satunya cara yang saya tahu adalah ketika dimarahi atau berdebat, lebih baik tidak perlu ditanggapi secara serius. Apalagi dimasukin ke hati.
Hal itu juga berlaku buat kamu yang lagi twitwar sama beliau. Soalnya, semakin Pak Henry kamu protes terus, beliau nanti akan semakin ceriwis. Dan bukannya dapat penjelasan yang memuaskan hati, yang ada malah kamu makin emosi.
Jadi biarkanlah saya dan teman-teman saya di Ilmu Komunikasi Unair menjadi martir untuk mengenalnya, membicarakannya, dan menjadikannya legenda.
Kalian sih cukup tahu saja; bahwa cara terbaik menghadapi panas dan ngegasnya kompresor adalah dengan menjadikan diri ini jadi sedingin radiator.
Itu.
BACA JUGA Sungguh Saya Tiada Menyangka Profesor Henry Bakal Berubah Sejauh Itu.