Beberapa waktu lalu medsos sempat geger dengan ceramah seorang habib muda bernama Habib Bahar bin Smith terkait anjurannya menyiramkan bensin dan membakar siapa saja yang beratribut ve-kha-i. Selepas nonton video tersebut, saya jadi teringat dulu pernah belajar sebuah hadis yang isinya menceritakan interaksi Nabi Saw., para sahabat, dan seorang Arab Badui.
Hari itu sahabat Nabi digegerkan ulah seorang Arab Badui. Dengan seenak udelnya, si Badui kencing di dalam masjid Nabi, padahal di dalam masjid tersebut ada Nabi sedang berdakwah bersama para sahabat. Maka, berdirilah para sahabat hendak menghentikan ulah si Badui.
Melihat itu Nabi segera mencegah mereka. Tunggu doi selesai dululah, begitulah kira-kira ungkapan beliau yang mulia. Setelah si Badui selesai menuntaskan hajatnya, Baginda memerintahkan sahabat untuk menyiramkan air di bekas kencing si Badui. Itu saja, nggak kurang dan nggak lebih. Nggak ada adegan arak-arakan si Badui keliling Madinah karena sudah menodai masjid.
Betapa lembutnya dakwah dan akhlak sang Nabi, sedikit pun beliau tidak menyuruh para sahabat untuk mempersekusi si Badui, melainkan justru mencegahnya. Pun hanya menyuruh sahabat untuk menyiramkan air di bekas kencing si Badui. Boro-boro nyiram bensin ke si Badui, buat nyuruh para sahabat untuk menyiram air ke si Badui biar kapok dan jera supaya nggak mengulanginya lagi saja, beliau emoh.
Maka, saat melihat ada muslim yang dakwah dengan marah, hati saya ngilu. Saya sendiri juga gerah lihat atribut PKI. Plis, jangan nyinyir. Bagi saya atribut-atribut tersebut emang harus “diurus” aparat, toh aturan resminya masih ada dan berlaku. Tengoklah Jerman, di negeri itu siapa-siapa yang ketahuan beratribut Nazi langsung bisa diproses hukum.
Kakek buyut saya sendiri seorang guru agama, yang menurut penuturan paman tertua saya, termasuk orang-orang yang hendak dipersekusi PKI ketika mereka lagi kuat-kuatnya. Alhamdulillah beliau selamat. Tapi, untuk menyiram bensin ke tiap insan beratribut PKI, apa iya itu bisa dibenarkan?
Dalam analisis sotoy saya, kids jaman now yang beratribut PKI bisa dibilang mirip si Badui yang nggak paham adab di masjid tadi. Kebanyakan mungkin orang-orang yang nggak paham, hanya ikut tren, baru pulang backpacking dari Vietnam, dan kemungkinan besar baru masuk fase akil balig atau masa puber pergerakan, yang mana semua hal mereka rasa harus dicoba. Coba sodorkan ke mereka nama-nama seperti Leon Trotsky, Freddie Mercury, Paul McCartney, Friedrich Engels, Khal Drogo, dan lainnya, kemudian minta mereka jelaskan mana yang tokoh Kiri, mana yang bukan. Niscaya, mereka bakal minta fatwa Syekh Gugel untuk menjawabnya.
Yang saya khawatirken terkait dakwah model sang habib adalah munculnya Karl Marx-Karl Marx kecil yang baru. Sudah menjadi maklum bahwa ungkapan Eyang Marx tentang agama adalah candu muncul dari rasa muaknya terhadap para pemuka agama saat itu. Eyang Marx banyak melihat agama digunakan untuk membungkam nalar kritis, sementara pemuka agama memainkan tafsir untuk kepentingan penguasa.
Niat sang habib mungkin mulia, untuk amar makruf nahi munkar, supaya PKI nggak bangkit lagi. Tapi, kalau sudah begini, ancaman “senjata makan tuan” rasa-rasanya bukan hal yang sulit dibantah.
Suatu ketika Nabi diminta untuk mendoakan hal buruk kepada kaum pagan alias musyrik saat itu. Alih-alih mengiyakan, beliau malah bilang, “Aku ini bukan pengumbar laknat, aku diutus justru sebagai rahmat.”
Bahkan ketika malaikat penjaga gunung sudah siap-siap mengangkat gunung yang segede moyangnya gaban buat dihujamken ke kaum musyrik yang sudah membuat hati baginda terluka supaya hancur selama-lamanya, malah dijawab oleh beliau, “Justru aku berharap agar Allah mengeluarkan dari mereka-mereka keturunan yang akan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya.”
Dalam keadaan hati terperih beliau sempatkan berdoa kebaikan buat yang menyakitinya, sedangkan kita, jangankan doa buat mantan yang ninggalin nikah, datang ke resepsinya aja ogah.
Kisah di atas bisa jadi pelajaran mahal buat kita, bangsa Indonesia, umat muslim khususnya. Kira-kira nih ye, udah banyakan mana, kita doa buat si ve-kha-i yang kita anggap melenceng supaya mereka tobat dan kembali ke jalan yang benar atau justru lebih sering melaknat plus ketik amin ketika ada postingan-postingan semisal ceramah sang habib tadi?
Saya sangat setuju, dakwah amar makruf nahi munkar harus dilaksanakan bahkan jika orang-orang abai terhadap dua hal tadi. Saya pribadi termasuk orang yang percaya bahwa rahmat Allah bakal lenyap di bumi Nusantara. Etapi, obral laknat, makian, dan banah-bunuh dengan dalih dua hal tadi, apa boleh dalam agama?
Cobalah kita baca kisah Nabi Musa, Nabi Harun, dan Firaun. Apa diksi yang Allah Taala pakai di Al-Quran pas cerita kepada kita, umat Islam, supaya bisa mengambil hikmah dari pelajaran itu? Kisah tersebut ada di Surah Thoha 43—44:
“Dan berangkatlah kalian berdua kepada Firaun, sungguh dia telah melampaui batas. Dan katakanlah kepadanya perkataan yang lembut agar dia mengingat Allah dan takut kepada-Nya.”
Padahal Musa seorang hamba Allah yang terbaik zaman itu sekaligus pembawa risalah nubuwah yang garansi kebenarannya 100%. Di sisi lain ada Firaun yang sudah kelewatan songongnya sampai ngaku-ngaku sebagai Tuhan. Tapi, apa yang Allah perintahkan? Nyiram bensinkah? Tembak di tempatkah? Allah justru bilang ke Nabi Musa, sampaikanlah kepadanya ucapan yang lembut.
Coba bandingkan dengan kita sekarang yang sering mendakwa pemegang stempel kebenaran, apakah lisan kita sudah mencontoh apa yang Allah perintahkan kepada Musa? Yang kita anggap musuh, misalkan orang-orang ateis, belum ada apa-apanya dibanding Firaun yang sudah sampai derajat bilang, “Gue ini tuhan yang mahatinggi.”
Kata Allah azza wa jalla, barangkali dengan ucapan yang lembut itu Firaun akan ingat dan takut kepada Allah. Dari sini bisa dikatakan bahwa salah satu uslub alias metode dakwah yang paling ampuh adalah kelembutan. Soalnya, mana ada orang yang mau nerima kebenaran dari orang yang marah-marah. Ye nggak?