MOJOK.CO – Bukan karena hidayah anak saya jadi lupa rasanya ke gereja. Tapi ya karena pandemi yang udah bikin doa jadi berhubungan sama kuota.
COVID-19 di Indonesia sudah berulang tahun yang pertama. Bos besar penanggung jawab penanganan virus Corona pernah bilang awal 2020 lalu kalau pada saat itu belum ada kasus di Indonesia karena (((doa kita semua))).
Sebagai bapack-bapack muda di bawah perlindungan Santo Alexander, persoalan doa ini semakin krusial dalam hidup saya terutama sejak penyebaran COVID-19 yang tidak terkendali. Hal yang membuat gereja-gereja Katolik ditutup dan misa digelar secara daring. Masalahnya semakin membesar karena misa daring itu sudah berlangsung hampir setahun penuh.
Yha, masalah mendasar tersebut adalah bahwa anak saya sudah lupa rasanya ke gereja. Bukan karena datangnya hidayah atau pikiran pengin pindah agama. Bukan.
Pada mulanya, seluruh gereja Katolik tutup secara penuh. Ketika new normal mulai digaungkan, sejumlah misa dengan protokol kesehatan yang ketat dapat diselenggarakan.
Walau demikian, sampai sejauh ini, anak-anak—apalagi sekecil putra saya—masih termasuk kalangan yang secara umum belum diperbolehkan datang ke gereja demi kebaikan bersama.
Sebagai mantan Katolik Natal-Paskah yang juga pernah jadi aktivis di sekitar altar, saya termasuk orang tua moderat soal agama ini. Mengingat keluarga besarnya Katolik, anak saya otomatis beragama Katolik.
Saking Katoliknya anak saya ini, kesempatan pertama kali datang ke gereja terjadi pada usia tiga pekan dan langsung untuk dibaptis sekaligus menjadi anak termuda pada angkatan baptisnya.
Sejak dulu punya pacar karena kedok religi dan kemudian menjomblo lama sekali karena susah betul mencari kekasih yang seiman dan mau sama saya, kegembiraan anak-anak di rumah ibadah merupakan hal yang saya anggap indah.
Kalau di dekat rumah ya ketika anak-anak menguasai mikrofon musala, kalau di gereja ya bocah-bocah yang bertangisan maupun berlarian di keheningan misa kudus. Bagaimanapun, anak-anak ini menikmati kedamaian tempat yang disebut sebagai rumah Tuhan kan?
Ya walaupun sejumlah orang dewasa melirik mereka sambil berguman, “Ini orang tuanya mana, sih?”
Dengan alasan itu pula, khusus kalau sedang misa, saya selalu terharu pada prosesi di ujung misa kala anak-anak yang belum menerima komuni berbaris mengantre berkat dari pastor.
Semakin terharu lagi ketika saya sendiri membawa anak saya setiap minggu berada dalam antrean itu. Mulai dari saat panjangnya hanya 60 cm dan nggak bisa apa-apa sampai bertahun kemudian sudah bisa dituntun untuk jalan sendiri sampai ke hadapan pastor.
Momen-momen seperti itulah yang hilang dalam setahun terakhir. Upaya mengajarkan anak dari yang awal mulanya bosan dan baru duduk sudah minta ke luar sampai perlahan mau mengikuti setidaknya sampai kelar komuni baru ngacir ke halaman untuk lari-lari harus balik ke nol lagi, bahkan minus.
Semakin gawat karena konsep misa daring sendiri berarti misa di depan televisi yang notabene adalah barang yang sehari-hari dia gunakan untuk nonton Blippi maupun Steve and Maggie, serta kadang-kadang sempat pula mendengarkan murottal dengan animasi mobil yang memang berseliweran di YouTube.
Sebagaimana anak sekolahan angkatan Corona mulai bias tentang makna sekolah, hal serupa terjadi pada anak saya untuk makna rumah Tuhan karena antara tayangan misa daring dan screen time-nya sehari-hari hanya dibedakan dengan keberadaan salib dan lilin yang menyala di depan televisi.
Bicara anak-anak di rumah ibadah dari dulu merupakan perkara menarik. Pada satu sisi, teriak dan lari-lari di rumah ibadah sering dipandang mengganggu kekhusyukan orang-orang dewasa dalam beribadah.
Pada sisi lain, hal itu dipandang sebagai dinamika biasa mengingat mereka adalah tunas-tunas muda penerus agama di masa depan.
Walau begitu, dalam pengalaman saya, urusan bocah ini di sejumlah gereja Katolik sangat diperhatikan dan bahkan disiapkan ruangan khusus dengan sekat transparan yang isinya bocah semua, plus orang tuanya. Ruangan model begini kadang-kadang bikin tidak khusyuk dan datang ke gereja jadi sekadar syarat buat terima komuni belaka.
Alih-alih mendengar khotbah atau sabda Tuhan, saya malah lebih sibuk mendengarkan bocah-bocah berteriak dan berlarian di ruang sempit, termasuk menjaga anak saya agar tidak turut serta dalam menambah keributan.
Sesungguhnya, dengan segala keribetan yang terjadi ketika hendak berangkat misa, saya sungguh merindukan saat-saat berlarian memutari halaman gereja, atau kesempatan untuk mengajarkan posisi tubuh yang benar ketika konsekrasi, atau kala anak saya mendapat kesempatan salam damai dengan balita lainnya.
Ah, seandainya saja setahun lalu SARS-CoV-2 tidak dijadikan bahan bercanda tapi disikapi dengan waspada, mestinya anak saya sudah bisa mengikuti misa dengan prima, sudah bisa mengantre berkat pastor tanpa diantar, atau bahkan mungkin sudah bisa memilih balita cantik untuk diajak salam damai, lantas diperkenalkan pada bapaknya.
BACA JUGA Gereja Itu Bau Pesing, Apakah Tuhan Hadir di Sana? dan tulisan Alexander Arie lainnya.