MOJOK.CO – Sebagai rakyat yang peduli dengan pejabatnya. Saya coba memberi nasihat kepada Bu Risma. Pejabat kita yang udah kayak action figure.
Meski sudah menjabat sebagai Menteri Sosial, Tri Rismaharini, sebenarnya masih perlu dipoles lebih proper lagi supaya layak disebut sebagai public figure.
Bukan, bukan berarti saya mengatakan Bu Risma nggak layak jadi public figure, apalagi menteri, maksud saya layak itu hanya saja belum digenggam seutuhnya oleh beliau. Soalnya, ketimbang sebagai public figure, beliau ini sebenarnya lebih cocok disebut sebagai action figure.
Sebentar, sebentar, ini bukan hal yang saya lebih-lebihkan. Hal ini saya rangkum berdasarkan fakta dan data yang dipaparkan oleh Google.
Tidak percaya? Silakan Anda ketik kata kunci apa pun di Google yang memiliki unsur “Risma” di dalamnya, maka secara otomatis algoritma Google akan menyarankan beberapa hasil kepada Anda, seperti; “Risma marah”, “Risma marah lagi”.
Bahkan Google sendiri mengidentifikasi Bu Risma sebagai sosok yang akrab dengan peristiwa-peristiwa aksi. Semacam karakter manga, urat marah Bu Risma kayak sudah permanen. Didesain komikus dalam satu karakteristik sederhana tanpa varian lain.
Marah-marah teros, marah-marah teros. Bahkan untuk urusan yang nggak perlu aksi marah-marah, blio ini selalu pakai marah-marah terus.
Masalahnya, yang sedang hangat baru-baru ini, kemampuan Bu Risma ini jadi senjata makan tuan. Kemampuan Bu Risma yang terlalu sering melawan kejahatan dengan jurus marah-marah itu remuk redam di hadapan teman-teman difabel.
Di forum terbuka, direkam, serta disaksikan banyak orang, Bu Risma tak memberi kesempatan seorang difabel mengungkapkan pendapatnya dan malah balik meminta orang tunarungu bicara.
Memang betul, tidak disampaikan dengan nada biasanya sih, tapi semua orang yang menyaksikan itu bisa sadar yang dilakukan adalah marah-marah juga tapi dalam wujud yang lebih diturunkan dosisnya.
Speechless gw. pic.twitter.com/j8zB7pjg4E
— Allah Larry (@allhlr) December 2, 2021
Tentu saja kelakuan ini memancing keributan masyarakat se-Indonesia. Peristiwa yang bikin banyak orang melongo. “Ini serius ada pejabat yang sebrutal itu ngomong sama orang difabel?”
Oleh sebab itu, sebagai rakyat yang peduli dengan pejabatnya. Saya mencoba memberi nasihat kepada Bu Risma, agar pamornya sebagai action figure bisa sedikit lebih ke arah positif untuk beberapa waktu ke depan. Terutama setelah kejadian brutal di atas.
Dan ini beberapa di antara nasihatnya.
Pertama: Bu, orang itu bisa lho dengerin orang tanpa perlu dimarah-marahin. Ibu tahu nggak sama fakta ini?
Tentu saja nasihat ini, bukan dengan maksud untuk menghilangkan ciri khas Bu Risma. Namanya juga action figure, kalau jurus utama dihilangkan kan karakter dari si figure juga bakal ilang. Saya ngerti kok, Bu. Ngerti.
Cuma begini, Bu Risma. Yang namanya jurus, penggunaannya jangan terlalu sering. Selain bakal jadi film aksi yang membosankan, lawan yang dihadapi juga bakal bisa mengantisipasi, jatuhnya malah jadi senjata makan tuan.
Apa jadinya Bu Risma tanpa marah-marah? Ya kan nggak gimana-gimana. Marah-marah itu kan cuma cara, bukan tujuan. Tujuan utamanya itu kan ya menyelesaikan masalahnya, bukan melampiaskan marah-marahnya.
Apalagi saat ini sampean merupakan seorang Menteri Sosial, yang di mana kesehariannya harus berjibaku dengan masyarakat. Tentu saya paham betul bahwa masyarakat itu ngeyelan, susah kalau dibilangin, banyak ulah, banyak tingkah, dan selalu merasa benar sendiri meski sudah jelas-jelas salah.
Iya, kan Bu Risma? Kalau saya sih yakin, ibu familiar banget dengan sifat-sifat itu tadi. Baik ketika di lapangan, maupun ketika bercermin di kamar mandi. Eh.
Terus yang kedua, nasihat sederhana saya: nggak usah mendikte segala hal yang terjadi di masyarakat lah, Bu. Pejabat itu pemangku kebijakan, bukan Google yang tahu segalanya.
Soalnya, gini lho, Bu Risma.
Masyarakat itu entitas yang heterogen dalam segala hal. Entah itu latar belakang, ciri khas seperti yang dimiliki oleh ibu, gaya hidup, termasuk kebutuhan.
Sekalipun Bu Risma adalah Mensos, tidak berarti Bu Risma harus lebih tahu kebutuhan seseorang daripada orang itu sendiri. Termasuk dalam hal berkomunikasi dengan masyarakat yang berkebutuhan khusus.
Oke lah, saya salut dengan tingkat perhatian ibu yang cukup tinggi. Saya mengapresiasi betul upaya Ibu untuk membimbing difabel agar dapat berkomunikasi secara ideal menurut Ibu.
Hanya saja, Bu Risma tidak sedang berdiri di depan cermin. Yang sedang Ibu hadapi itu bukan bayangan Ibu, melainkan manusia dengan tingkat kesadaran dan kebutuhan yang subjektif.
Tuhan memang memberikan mata, hidung, telinga, dan mulut. Tapi kan tidak semuanya dapat berfungsi secara proporsional ketika sudah nyampai ke manusia.
Lah itu nyatanya, Bu Risma yang punya telinga normal malah justru tidak mau mendengar, ketimbang teman-teman tunarungu yang—memang—tidak bisa mendengar. Tapi ya wajar, namanya juga action figure. Tentu kewajibannya sedikit berbeda dibandingkan public figure.
Tenang, Bu. Soal itu saya bisa ngerti kok.
Soalnya bukan gimana-gimana, Bu. Kalau Ibu merupakan public figure, hal yang pertama dilakukan ketika ada event seperti itu ya justru Bu Risma yang belajar bahasa isyarat, bukan teman-teman difabel yang dipaksa untuk berbicara.
Tapi nggak apa-apa ding, Bu. Mungkin itu salah satu wujud bagaimana Bu Risma ngasih bocoran ke rakyat semua. Bahwa begitulah cara kerja pejabat.
Bukan mereka yang mau turun untuk menjangkau masyarakat, tapi masyarakat lah yang mereka tekan agar mau naik ke atas. Kalau nggak bisa, ya udah disalahin aja sudah. Kalau masih ngeyel juga, ya pidana aja semua. Selesai perkara.
Terima kasih Bu Risma, sudah menyadarkan kami semua dengan pejabat yang selalu sukses memberi acara roasting ke rakyat dari hari ke hari.
Btw, terakhir banget nih, Bu, kalau kebetulan karakter action figure ibu sudah ada merchandise-nya di toko besi, minta tolong saya dikasih tahu dan dikasih promo ya, Bu?
Salam kolesterol, salam marah-marah.
BACA JUGA Kalau Poligami Itu Sunah, Memang Sunahnya yang Mana? dan tulisan Yogo Triwibowo lainnya.