MOJOK.CO – BLT minyak goreng senilai Rp300 ribu tidak akan menyelesaikan masalah utama. Cuma sebatas usaha menyelamatkan muka saja.
Pemerintah memang sudah lama kehilangan muka di hadapan pelaku pasar dan masyarakat konsumen Indonesia. Terutama ketika dituntut untuk mengintervensi pasar.
Sebelum minyak goreng dan minyak dunia, disambung soal BLT minyak goreng mempermainkan Menteri Perdagangan dan Pertamina, harga tes PCR juga pernah mempermalukan istana.
Risiko gagal intervensi memang tidak murah. Selain dipermalukan, ada biaya yang harus dikeluarkan. Bisa dari kocek negara, bisa pula disosor secara halus dari saku rakyat atau konsumen. Dengan kata lain, jika pemerintah lepas tangan, otomatis kocek rakyat yang jadi korban.
Ambil contoh soal intervensi harga PCR beberapa waktu lalu. Ketika itu, Jokowi mengeluhkan harga tes PCR yang terlalu tinggi dan meminta agar segera diturunkan. Keluhan Jokowi, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Kementerian Kesehatan dan instansi terkait, ternyata kurang mampu menekan harga secara signifikan.
Harga tes PCR yang sebelumnya berkisar Rp300 ribu hanya turun menjadi Rp275 ribu. Padahal, jika pemerintah mau dan serius ingin menstabilisasi harga tes PCR sesuai harga keekonomiannya, harganya sangat berpeluang untuk turun lebih dari itu, mengingat beberapa hasil investigasi jurnalistik telah membuktikan bahwa harga tes PCR bahkan bisa ditekan sampai level Rp100-150 ribu.
Sayangnya, pemerintah bergeming. Padahal, imbas negatif harga tes PCR itu cukup besar. Bayangkankan saja pemegang tiket pesawat harga Rp1 juta misalnya. Harga tes PCR-nya mencapai 27,5 persen dari harga tiket pesawat.
Jika harga tiketnya di bawah satu juta, bisa dipastikan presentasi beban biaya tes PCR jauh lebih besar lagi. Biaya tambahan tersebut sangat tidak produktif untuk perekonomian masyarakat pengguna angkutan udara atau kereta, meskipun menjadi sumber pendapatan lucrative bagi pelaku usaha tes PCR dan sejenisnya.
Akibat sikap pemerintah, terutama presiden, yang hanya mampu mengeluh, sementara mata publik mulai beralih kepada beberapa pejabat pemerintah yang ikut terlibat di dalam bisnis tes PCR di sisi lain, beban biaya tambahan tes PCR mau tak mau harus ditanggung oleh konsumen moda transportasi.
Ada penambahan biaya Rp275 ribu di setiap satu juta harga tiket pesawat atau kereta. Padahal, sejatinya, pemerintah mampu melakukan intervensi dengan efek signifikan pada ekosistem usaha tes PCR karena memiliki counter-institution untuk menciptakan kebijakan paralel pricing (dual track pricing) yang sangat berpeluang menekan harga tes PCR secara umum.
Pemerintah memiliki jaringan rumah sakit negeri mulai dari pusat, provinsi, sampai ke kabupaten dan kecamatan. Ini bisa digunakan untuk menciptakan harga tes PCR baru yang lebih rendah.
Jika mau, pemerintah bisa mengintervensi dengan cara menciptakan harga baru layanan test PCR di lembaga-lembaga tersebut. Permintaan baru tes PCR akan terbentuk karena muncul harga yang lebih murah, yang kemudian akan memaksa usaha-usaha tes PCR swasta untuk menyesuaikan harga agar tidak ditinggalkan konsumen. Sayangnya, sedari dulu, pemerintah memang tidak identik dengan upaya-upaya bergenre kerja keras semacam itu.
Jadi sorry to say, nasib harga PCR adalah nasib yang dialami oleh harga minyak goreng karena dilandasi logika yang sama. Pemerintah berusaha melakukan intervensi ketika harga minyak goreng sudah menggila lewat subsidi, kemudian disambung BLT minyak goreng.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan rem mendadak dengan memaksakan harga satu kilogram minyak goreng kemasan premium menjadi Rp14 ribu dan minyak goreng curah menjadi Rp11.500 tapi tidak diikuti optimalisasi institusi pasar yang akan memastikan hasil intervensi bisa bekerja maksimal. Bahkan celakanya, pemerintah hanya bergantung pada perusahaan retail nasional yang memiliki kapasitas distribusi terbatas.
Walhasil, yang dipajang di minimarket-minimarket ketika itu hanya label harga versi pemerintah tanpa ada barangnya. Para penjaga minimarket berkilah stok habis. Hanya segelintir konsumen minyak goreng yang berhasil menggondolnya pulang, sementara mayoritas konsumen harus membayar di atas harga yang ditetapkan pemerintah karena stok lama yang dibeli distributor atau peritel sebelum harga dinyatakan turun. Dan memang minyak goreng tersebut tidak dibeli di gerai ritel modern, tapi rerata didapatkan di kios-kios kecil di dekat kawasan-kawasan permukiman.
Sekitar sebulanan lebih drama minyak goreng tersebut berlangsung di mana Menteri Perdagangan berusaha tampil seheroik mungkin sepanjang rentang waktu kebijakan HET (Harga Eceran Tertinggi)Â diberlakukan. Sudah menyerupai drama Korea karena begitu sulit ditebak arahnya.
Benar saja, jelang penghujung cerita, sang menteri yang sebelumnya sesumbar dengan heroik dan sedikit arogan akan melakukan “ini itu” dan akan “begini begitu” untuk menormalisasi harga minyak goreng, justru berubah menjadi pesakitan yang mengaku tak bertenaga lagi berhadapan dengan mafia minyak goreng. What? Mafia minyak goreng?
Ya, setidaknya demikian pernyataan sang menteri di hadapan para anggota DPR yang terhormat ketika itu. Negara kalah oleh mafia dan sampai sekarang mafia-mafia itu tak pernah dibongkar.
Ya sudahlah. Terserah saja mau menuduh siapa atau apa. Selama belum ada para tertuduh yang didakwa, selama itu pula Jokowi harus menimbang-nimbang apakah sang menteri masih layak dipertahankan atau tidak.
Yang jelas, pengakuan tersebut menjadi sinyal kuat bahwa kebijakan HET minyak goreng atau kebijakan intervensi harga minyak goreng telah gagal. Upaya pemerintah, dengan segala arogansi dan sesumbar sang menteri perdagangannya, untuk menstabilisasi harga jual minyak goreng dan mengamankan pasokannya, berakhir dengan gaya politis, yakni kambing hitam.
Isu mafia minyak goreng dilemparkan ke dalam kuali politik yang berisi minyak goreng mendidih, lalu digoreng di ruang publik sejadi-jadinya.
Dan hasilnya, sampai hari ini, nihil, karena memang bukan itu perkara utamanya. Justru kegagalan pemerintah membenahi ekosistem dan tata kelola minyak goreng nasional adalah penyebab utamanya.
Namun, lagi-lagi pemerintah menyikapi kegagalan intervensi dengan intervensi lainya, yakni BLT minyak goreng. Kebijakan bergenre Conditional Cash Transfer tersebut digadang-gadang sebagai senjata baru untuk berhadapan dengan harga minyak goreng yang tak kunjung pulih.
Masalahnya, selain berbagai penelitian menunjukan bahwa Conditional Cash Transfer tidak berkorelasi dengan peningkatan taraf hidup masyarakat, yang terjadi adalah selalu tidak tepat sasaran. Sudah begitu sangat rentan dari aksi garong para koruptor. Masih ingat dana bansos yang disosor mantan Mensos?
BLT minyak goreng justru bertentangan dengan jurus kambing hitam pemerintah tempo hari. Jika memang ada mafia, ya dibongkar dan dihukum dulu. Sampai sekarang? Nihil. Bisa jadi, dana BLT minyak goreng untuk 20 jutaan masyarakat plus 2,5 juta pedagang gorengan akan pindah ke saku mafia tersebut.
Namanya toh BLT minyak goreng, gunanya untuk mensubstitusi kelebihan bayar masyarakat atas harga minyak goreng yang mahal. Dengan kata lain, BLT minyak goreng adalah jurus halus pemerintah untuk menyenangkan para mafia minyak goreng yang digadang-gadang oleh Menteri Perdagangan sebagai biang kerok kenaikan harga dan kelangkaan supply.
Boleh jadi, sebagian besar masyarakat penerimanya akan menganggap BLT sebagai berkah Ramadan. Faktanya, jauh hari sebelum BLT minyak goreng ada, daya beli masyarakat sudah tergerus beberapa ribu perak dari setiap kilogram pembelian minyak goreng.
Dan ketika daya beli yang terkikis tersebut disubstitusi oleh pemerintah dengan BLT minyak goreng (boleh jadi dipakai untuk konsumsi kebutuhan lainya oleh penerimanya) tidak berarti daya beli masyarakat atas minyak goreng pulih.
Memberi tiga bulan BLT bahkan tak cukup untuk mensubstitusi pengikisan daya beli minyak goreng masyarakat yang berlangsung sejak beberapa bulan jelang akhir 2021 lalu. Apalagi untuk menghadapi potensi pengikisan daya beli lebih lanjut dari kemungkinan situasi normal baru minyak goreng di bulan-bulan mendatang jika harga tak kunjung turun.
Lantas mengapa memilih BLT atau Cash Transfer selalu dipilih? Apakah pemerintah memang ingin menolong rakyat? Narasinya memang diarahkan demikian. Namun, secara teori, BLT minyak goreng (tiga bulan) akan menyelamatkan performa matematis perekonomian nasional kurtal satu dan dua tahun ini (mempetahankan data kontribusi konsumsi rumah tangga pada PDB), sebagai keberlanjutan performa ekonomi kuartal empat (akhir) tahun lalu.
Artinya, pemerintah utamanya ingin menyelamatkan muka saja, terutama di mata para anggota G20 dan para kreditor plus calon kreditor yang akan memegang surat utang pemerintah. Tak lebih.
Karena sesumbar bahwa uang Rp300 ribu bisa memperbaiki daya beli masyarakat yang sudah berteriak-teriak sejak dua tahun lalu karena kesulitan ekonomi, di saat utang negara menumpuk mendekati awan biru tanpa tahu uangnya ke mana. Tak banyak yang percaya.
Ya, saya percaya bahwa masyarakat pastinya pesimis dengan angka BLT minyak goreng Rp300 ribu itu jika digunakan untuk keluar dari kesulitan ekonomi. Namun, masyarakat akan sangat terhibur menerimanya, meskipun akan dikembalikan lagi kepada, hmmm, para mafia-mafia minyak goreng versi pemerintah tersebut.
Siapa yang tak senang dijadikan mediator atau broker, toh. Mediator antara mafia minyak goreng versi pemerintah dengan BLT minyak goreng versi pemerintah. Uangnya numpang lewat saja di rekening masyarakat.
Ibarat bahasa surat resmi yang berbunyi:
“Dear Mafia Minyak Goreng.
Bersama surat ini saya titipkan BLT minyak goreng melalui perantara 20 jutaan masyarakat dan 2,5 juta tukang gorengan, yang akan membeli minyak goreng dengan tambahan biaya dari BLT di harga versi “Ayank Mafia.”
Hormat saya
Genius BLT Migor Creator”
Ya begitulah. Apakah masalah selesai? Iya, selesai. Toh masyarakat terhibur, mafia jadi-jadian dapat cuan, semuanya senang.
Lalu, apakah berhasil mengatasi tingginya harga minyak goreng? Saya mau menjawab tidak tapi percuma selama menterinya masih menjabat dan tidak menunjukan tanggung jawab. Jadi silakan dijawab di dalam hati masing-masing saja.
BACA JUGA Ternyata Hanya Indomie yang Bisa Memahami Politik Rebus Bu Megawati dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Ronny P. Sasmita
Editor: Yamadipati Seno