MOJOK.CO – Pemerintah komunis Cina melarang seluruh umat Islam di negaranya berpuasa? Ada ‘misleading’ dikit sih sama informasi itu. Gini.
Sampai sekarang saya masih berkeyakinan, tiap Ramadan tiba, pasti akan ada media massa yang memberitakan pemerintah komunis Cina melarang warganya yang muslim—wabil khusus Uighur—berpuasa. Kayak yang belum lama ini dilakukan salah satu portal berita mainstream di republik ini, misalnya.
Portal itu bilang, “Aturan yang membatasi umat Islam untuk melaksanakan ibadah puasa selama Ramadhan di wilayah otonomi etnis Uighur di Xinjiang, China (XUAR), telah dikurangi dalam beberapa tahun terakhir.”
Namun demikian, lanjutnya, “menurut pihak berwenang banyak warga yang masih menahan diri untuk melakukannya, menunjukkan adanya kekhawatiran mereka akan dinilai sebagai ekstremis dan ditangkap.”
Ampun, Kamerad!
Di hampir semua grup wasap pemerhati Cina yang saya ikuti, ada saja yang forwarded many times tautan berita itu. Dan, seperti yang sudah-sudah, perdebatan soal benar/tidaknya pemerintah komunis Cina melarang penganut Islam di negaranya berpuasa senantiasa terpecah menjadi dua kubu.
Kubu pertama dijejali oleh mereka yang bias ideologis dan taklid buta terhadap semua berita yang mendiskreditkan Cina.
Mereka berpandangan bahwa yang namanya komunis, sudah barang tentu akan memusuhi—atau bahkan memberangus—agama. Apalagi komunis Cina. Sudahlah komunis, Cina lagi. Sungguh kafir harbi yang kāffah sekali.
Berangkat dari pola pikir saklek begitu, barang siapa yang mempunyai pandangan yang berseberangan dengan mereka, akan mereka cap sebagai jongos Cina, agen komunis, antek aseng, wa ṣaḥbihī ajma‘īn.
Sebaliknya, kubu kedua dikerubungi oleh orang-orang yang menganggap segala informasi yang mereka rasa memojokkan Cina, adalah hoaks semua. Nasib negara Cina di hadapan negara adidaya Barat, menurut mereka, adalah sama halnya dengan nasib etnis Tionghoa di Indonesia: sama-sama sebagai kaum “mustaḍ‘afīn” alias kelompok yang tertindas.
Karena itu, kubu kedua ini akan kelihatan seperti orang-orang yang mengidap “Messiah complex”. Pikirannya meyakini bahwa mereka ditakdirkan untuk menjadi juru selamat—yang menyelamatkan citra positif negara Cina dari rongrongan negara-negara Barat.
“Media Barat selalu memojokkan Cina. Pemerintah Cina tidak pernah melarang muslim di negaranya berpuasa. Selama di Cina saya bebas berpuasa. Teman-teman Cina saya yang muslim juga aman-aman saja berpuasa,” bantah salah seorang mahasiswa pascasarjana dari kubu kedua.
Maka tak heran kalau kubu pertama juga biasa melabeli kubu kedua itu sebagai jubir atau propagandis pemerintah Cina.
Maklum, yang terus-terusan ditabligkan mereka terkait Cina memang melulu berupa yang baik-baik saja. Entah apa musababnya. Mungkin karena cuma itu yang mereka tahu.
Yang bikin amsiong, kedua kubu itu sama-sama menganggap apa yang mereka ketahui tentang kebijakan keagamaan Cina adalah kebenaran hakiki.
Padahal, baik kubu pertama maupun kubu kedua sebenarnya sama-sama melakukan generalisasi dan itu adalah cara pandang yang wajib dihindari dalam mengkaji kebijakan keagamaan yang diejewantahkan oleh pemerintah komunis Cina selama ini.
Maksud saya begini: tidak benar jika dikatakan pemerintah komunis Cina melarang seluruh umat Islam di negaranya berpuasa, tapi tidak benar juga jika dikatakan tidak ada penganut Islam yang dilarang berpuasa oleh mereka.
Kalau tidak percaya, coba tengok satu dokumen historis nan determinatif yang dikeluarkan Partai Komunis Cina pada 1982.
Dalam dokumen yang terkenal dengan sebutan “Dokumen Nomor 19” (shijiu hao wenjian) ini, jelas sekali ditekankan, “Sangat tidak dibolehkan memaksa siapapun, terlebih anak-anak di bawah usia 18 tahun, untuk menganut agama, menjadi biksu, dan/atau pergi ke rumah-rumah ibadah belajar kitab-kitab keagamaan.”
Bayangkan, menganut atau belajar agama saja dilarang, apalagi mengamalkan ritual keagamaan semacam puasa?
Tentu, aturan itu hanya berlaku bagi penduduk Cina yang usianya belum genap 18 tahun. Penduduk Cina yang umurnya sudah melebihi angka itu, tidak dipermasalahkan untuk menganut agama atau murtad dari agama semula ke agama/ajaran lainnya. Bab 2 Pasal 36 Undang-Undang Dasar Cina menjaminnya.
Pemerintah komunis Cina mematok usia hingga 18 tahun sebagai usia wajib belajar dan masa-masa krusial pertumbuhan seseorang. Untuk itu, kecukupan gizi benar-benar diperhatikan mereka demi mencetak generasi unggul yang “mens sana in corpore sano”, sehat jasmani dan rohani.
Mereka berpendapat, dengan beragama dan menjalankan ibadah keagamaan, akan menghambat aktivitas belajar dan, salah-salah, berpotensi mengganggu kesehatan badaniah dan rohaniah pemuda-pemudinya.
Soalnya, mereka beranggapan, orang-orang seusia itu umumnya belum bisa berpikir rasional dan gampang sekali terpengaruh. Pemerintah komunis Cina khawatir, ajaran-ajaran agama—apalagi yang mereka anggap menyimpang—lebih memengaruhi calon penerus bangsanya ketimbang sains.
Awal tahun 2021 lalu ada surat imbauan menarik dari Dinas Pendidikan salah satu kabupaten di Cina. Bunyinya,
“Coba pikirkan, dua anak yang satunya menggunakan banyak waktunya untuk ritual keagamaan dan satunya menggunakan banyak waktunya untuk belajar sains dan kebudayaan; mana yang kualitasnya lebih tinggi, daya saingnya lebih kuat, dan masa depannya cerah? Jawabannya benderang.
Karena itu, mari para orangtua dan kawan-kawan semua aktif bekerja sama agar orang yang belum dewasa menjauhi agama, larang dengan tegas mereka mengikuti segala aktivitas yang berkaitan dengan agama.
Tak peduli Anda adalah orangtua yang beragama atau tidak, tetap harus mendidik anaknya untuk tidak beragama, tidak mengikuti aktivitas keagamaan, tidak mengikuti kursus keagamaan.”
Niat pemerintah komunis Cina mungkin baik, yaitu agar anak-anak usia sekolah bisa lebih fokus mengikuti aktivitas belajar-mengajar yang memang kelewat padat di negaranya.
Saking lamanya jam sekolah, murid-murid di Cina sampai-sampai kekurangan jam istirahat. Makanya Kementerian Pendidikan Cina pada April kemarin membuat aturan tentang pengurangan jam masuk sekolah untuk menambah porsi tidur murid-murid Sekolah Dasar dan Menengah.
Astagfirullah, bukannya tobat karena telah melarang anak-anak beragama, eh malah masih memerintahkan banyak-banyak ngorok pula.
Kayaknya mereka belum tahu kalau Yang Mulia Zakir Naik pernah berfatwa, “Jahannam is waiting for you, Brada!”
BACA JUGA Puasa di Cina: Terjebak di Asrama sampai Diselamatkan Sebungkus Indomie dan tulisan Novi Basuki lainnya.