MOJOK.CO – Mas-mas Banser yang bakar bendera itu mungkin luput, kalau Gus Dur pernah ngajari cara rileks hadapi masalah di darat, laut, dan bendera.
Banser memang beda, sekali beraksi gempar dunia dibuatnya. Satuan elite Nahdlatul Ulama yang berada di bawah garis komando GP Ansor ini memang terkenal istimewa. Konon, menurut cerita kepangkatan Banser setingkat di atas hansip, setingkat di bawah Kodim. Membuat satuan ini sulit didefinisikan, baik struktural maupun kultural.
Saat kapanduan ormas lain masih bertugas di wilayah yang seagama, Banser selangkah di depan, ia juga mengamankan objek dan kegiatan penting umat lintas agama. Menjaga gereja, mengamankan Misa. Banser bukan ban serep, ia adalah ban itu sendiri. Sebagai satuan penjaga perdamaian dan keragaman kualitas Banser tak lagi diragukan.
Banser lahir sebelum negara bernama Indonesia ada. Kalau tidak salah sekitar tahun 1937 di Malang karena munculnya kegelisahan dunia pergerakan. Tahukah kamu, dibanding TNI saat ini, Banser memiliki jumlah anggota yang lebih banyak? Banser punya lima juta anggota yang siap “tawur” di mana saja demi Indonesia tercinta. Itu pun belum dihitung sama yang magang.
Banser juga punya detasemen khusus bernama Densus 99 yang siap menjamin keamanan dan kenyamanan warga negara dalam menjalankan agama. Saya tidak tahu, apakah satuan ini juga punya cara kerja yang sama dengan Densus 88 milik kepolisian, atau cuma dibikin mirip-mirip saja.
Sebagai satuan elite, bentengnya negara dan ulama ini dibekali berbagai macam teknik bela diri bagi setiap anggotanya. Mereka ditempa berbagai macam olah fisik, jurus-jurus, kuncian ampuh, hingga diijazahi ilmu-ilmu kanuragan.
Jadi pemandangan biasa kalau ada anggota Banser punya kemampuan kebal senapan hingga ledakan. Konon, dengan ilmu kanuragan yang dimilikinya, seorang Banser mampu menjatuhkan lawan dengan sekali kedipan. Kamu aja ngedipin cewek belum tentu bisa, ini sampai bisa bikin jatuh lawan lho.
Dengan kelinuwihan sebesar itu mestinya Banser tak perlu grasa-grusu menyikapi riak-riak kemunculan HTI. Apalagi sampai membakar benderanya di tengah suka cita Hari Santri. Selain akhirnya memantik kontroversi, beberapa umat Islam di Indonesia yang kadung marah juga belum bersepakat mengenai mana yang bendera HTI, mana yang bendera Tauhid.
Beberapa saat kemudian memang muncul klarifikasi permintaan maaf dari petinggi-petingginya, bahwa jika harus memusnahkan simbol-simbol HTI demi menjaga NKRI lakukanlah sembunyi-sembunyi agar tak terjadi bentrokan persepsi. Lalu muncul penyelasan bahwa akan lebih bijaksana kalau bendera itu diserahkan saja ke polisi.
Tolong jangan salah sangka, bukan maksud mengecilkan keberanian Banser. Saya dan umumnya rakyat Indonesia haqqul yaqin anggota Banser sakti mandraguna, tak takut apa-apa kecuali pada Tuhan, Kiai, dan—barangkali—calon mertua.
Tak ada yang meragukan cinta Banser pada NKRI. Tak perlulah diragukan juga mana yang cinta proyekan dan mana yang cinta betulan. Kalau negara menerbitkan semacam Sertifikat Cinta NKRI, niscaya sekretariat Banser yang tersebar di Nusantara tak mampu menampungnya.
Silakan kalau mau merasa paling benar dalam beragama, paling nasionalis dalam bernegara. Tapi, mengutip kata Cak Nun, simpanlah kebenaran dalam hatimu sendiri. Qulil haqqa walau kana murran, itu perlu dipelajari fakta atau situasi sosial yang melahirkannya.
Tetapi ada peta dan konteks sosial lain yang metodenya bergeser menjadi: kadang kebenaran personal perlu disimpan sejenak jika kemashlahatan bersama adalah taruhannya.
Menyatakan kebenaran bisa merupakan tindakan kepahlawanan dan kemuliaan, tetapi bisa memicu keburukan sosial apabila dilakukan tidak pada irama dan momentum yang tepat dalam konteks tata kelola sosial.
Padahal kita pernah diajari banyak oleh Gus Dur soal perkara-perkara semacam ini.
Seperti ketika Gus Dur menyikapi isu kebangkitan PKI. Saat menjabat Presiden, Gus Dur memang terkenal dengan kontroversi. Tapi Gus Dur punya seribu argumentasi cerdas yang nakal tapi jauh dari kemlinthi. Bahkan bisa jadi Gus Dur adalah pengejawantahan sedikit nakal banyak akal ala Mojok—jauh sebelum Mojok itu berdiri.
Tahun 2000, Gus Dur berencana mencabut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) Nomor XXV Tahun 1966 tentang Larangan Penyebaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Gus Dur membuat geger ketika menyatakan permintaan maaf kepada korban peristiwa 1965.
Sesuatu yang tabu bagi negara. Alasan Gus Dur sederhana saja: kemanusiaan. Ketika ditanya soal kekhawatiran PKI bangkit lagi Gus Dur cuma menjawab:
“Kenapa Takut? PKI aja ditakuti,” jawab Gus Dur santai kayak lagi di pantai.
Sebelumnya, Gus Dur juga membolehkan bendera Bintang Fajar berkibar di tanah Papua dengan syarat lebih rendah dari ketinggian bendera Indonesia. Gus Dur saat itu menyatakan, Bintang Fajar tak lebih dari simbol kultural warga Papua. Asal reaksi pemerintah nggak berlebihan, orang juga nggak bakal nanggepi berlebihan pula.
Saat itu, Wiranto Hanura yang masih menjabat Menko Polkam melapor ke Gus Dur terkait pengibaran Bintang Kejora, bendera yang identik dengan gerakan separatis Papua.
“Bapak Presiden, kami laporkan di Papua ada pengibaran bendera Bintang Kejora,” kata Wiranto.
Mendengar laporan tersebut, kemudian Gus Dur bertanya santai kayak lagi di pantai, “Apa masih ada bendera Merah Putihnya?”
“Ada hanya satu, tinggi.”
Mendengar jawaban itu, Gus Dur menjawab enteng, “Ya sudah, anggap saja Bintang Kejora itu umbul-umbul,” ujar Gus Dur santai kayak lagi di pantai.
“Tapi Bapak Presiden, ini sangat berbahaya,” sergah Wiranto .
“Pikiran Bapak yang harus berubah, apa susahnya menganggap Bintang Kejora sebagai umbul-umbul. Sepak bola saja banyak benderanya,” ucap Gus Dur santai kayak lagi di pantai (4).
Cara Gus Dur ini yang kemudian membuat separatisme di Papua nggak berkembang. “Pancingan” kibar-kibaran bendera Bintang Kejora tersebut tidak dimakan mentah-mentah oleh Gus Dur. Coba kalau misal reaksi Gus Dur justru membabat habis para pengibar bendera itu? Wah, bisa betulan merdeka itu Papua karena punya legitimasi sudah direpresi habis-habisan oleh negara.
Cara pandang inilah yang barangkali luput mas-mas anggota Banser. Gus Dur sudah mengajari bagaimana cara kita menempatkan diri menghadapi pancingan “bendera” semacam itu. Tak perlu lah jurus auman macan untuk mengusir kucing. Lha wong HTI juga sudah tenggelam kok.
Justru gimik represif Banser yang mengapi-api malah beresiko bikin HTI bisa benar-benar bangkit lagi. Saat ormas lain sudah santai menghadapi ormas ini, Banser malah keblabasan memelihara ketakutannya sendiri. Sudahlah, santai aja kayak Gus Dur yang selalu berasa di pantai (5).
Sebagai bagian dari jamaah Nahdliyin partikelir saya berharap Banser jangan lengah untuk selalu pada jati dirinya. Gagah di segala cuaca sekaligus rileks di darat, laut, dan bendera. Bisa bijaksana kepada setiap pemeluk beda agama dan seagama.
Jika kelak suatu saat melihat bendera HTI berkibar lagi, ingat-ingat saja nasihat Gus Dur ini:
“Apa susahnya menganggap bendera itu cuma umbul-umbul?”