Pengetahuan dasar selama belajar Bahasa Inggris
Sebelum mengambil kursus belajar Bahasa Inggris, saya sudah punya bekal koleksi vocab dan phrase dari lirik lagu, dialog-dialog dalam film, podcast, bahkan konten receh TikTok. Medium tersebut saya jadikan akses gratis untuk mengenal dunia.
Ini menjadi basic knowledge saya terhadap budaya yang membentuk struktur Bahasa Inggris. Mengenali budaya dan dialog-dialog sesama manusia yang tumbuh dari sebuah bahasa menjadi cara yang membumi dan relevan untuk saya memahami fungsi bahasa.
Dengan pertimbangan fomo ingin ikut kabur dan melampiaskan kemarahan atas sistem pendidikan, saya akhirnya memutuskan untuk mengambil kursus belajar Bahasa Inggris di IELTS. Mentor yang saya pilih adalah mentor yang mengajar writing dan speaking karena 2 area tersebut merupakan kelemahan saya.
Di awal pertemuan, kami sepakat untuk menjadikan target skor dari institusi yang saya tuju sebagai tangga pijakan pertama. Dalam perjalanannya, ternyata tidak semulus melayangkan keputusan untuk menahan mahasiswa karena membuat meme dengan bantuan AI.
Saya merasa frustasi karena ada feedback berupa koreksi yang membuat saya merasa tidak cukup dengan diri sendiri. Koreksi yang diberikan itu sebenarnya baik, namun persepsi saya menerima itu seperti ingin membentuk kesempurnaan yang ideal–yang memang selaras dengan kesepakatan kami di awal.
Semuanya dibentuk berdasarkan standar norma sosial. Kesempurnaan yang ideal ini ternyata bukan tujuan yang saya cari.
Belajar Bahasa Inggris menumbuhkan neuron baru
Belajar Bahasa Inggris sesuai standar tidak selalu menjamin saya mengerti 12 tenses dan memilih conjunction yang tepat untuk mengharmonisasikan sebuah kalimat. Namun, kebiasaan ini cukup membuat otak yang saya rewiring dan menumbuhkan neuron baru.
Tujuan ideal belajar Bahasa Inggris itu ternyata tidak secara langsung memaksa saya melatih fokus, mengurangi serta menahan godaan distraksi, dan memproses satu hal dalam satu waktu. Sebagai atlet brain rot, perubahan signifikan yang terasa adalah kecenderungan untuk berkomunikasi yang lebih artikulatif dan selektif. Memproses informasi bahkan bisa dilakukan dalam mode latar belakang. The brain is braining, cenah.
Satu softskill yang ternyata tidak secara langsung juga terasah selama saya belajar Bahasa Inggris yaitu kemampuan menerjemahkan dan menafsirkan. Sebagai contoh, ungkapan “Nice to meet you” belum tentu berarti seseorang menyambut dengan senang hati. Itu bisa berupa ekspresi untuk menyambut seseorang di awal pertemuan dalam konteks lingkup sosial.
“Kapan-kapan kita main lagi ya.” Merupakan ungkapan kepuasan bahwa waktu yang dihabiskan bersama sudah terpenuhi secara baik antara orang-orang yang terlibat, walaupun kita tidak tahu “kapan-kapan” itu akan datang atau tidak. Dalam struktur yang sepadan, cara ini juga bisa membantu saya untuk menafsirkan bahwa “program makan siang gratis” berupa ungkapan atas kemampuan prematur pemerintah untuk memilah urgensi masalah dan memberi instruksi tepat guna di lingkup kenegaraan yang isinya manusia hidup.
Berbahasa membantu saya melatih kelenturan dalam menafsirkan sesuatu dalam konteks yang berbeda-beda menjadi lebih fleksibel tergantung waktu, tempat, dan orang-orang yang terlibat. Dalam satu kasus, pada titik hidup pribadi saya, saya pernah kelewat gedeg (i.e: rasa jengkel, kesal, dongkol) dengan perilaku proyeksi diri.
Tentang proyeksi diri
Kalau melihatnya dari perspektif psikologi, proyeksi mengacu pada tindakan secara tidak sadar mengambil emosi atau sifat yang tidak disukai dari diri dan mengaitkannya dengan orang lain. Pada saat itu, menurut saya, proyeksi merupakan sikap yang tidak reliable, memunculkan bias dan kesalahpahaman tafsir.
Saya pun sampai mencari tau “Kenapa seseorang bisa berperilaku seperti itu? Apa yang mereka cari dari anomali itu?”
Saya terdorong mencari cara menafsirkan perilaku yang diungkapkan dalam “bahasa” proyeksi dan mencoba untuk menerimanya. Dorongan penerimaan ini pun banyak dipengaruhi oleh keinginan diri untuk bisa hidup dengan damai berdampingan dengan manusia lain di kehidupan sosial-politik dengan spektrum yang sangat beragam.
Selama belajar Bahasa Inggris, pendekatan keberbahasaan berhasil membuat saya melihat fenomena tersebut sebagai ungkapan ekspresi diri, alih-alih sesuatu yang janggal dan mengganggu. Perilaku proyeksi diri yang dibahasakan dengan “Lihat tuh anak tetangga udah jadi orang” saya tafsirkan sebagai ungkapan cara melindungi diri atas keterbatasan kapasitas diri dalam mengolah dan menyampaikan masalah dan kebutuhannya.
“Kamu mah mending, kalau aku (…),” menjadi ungkapan adanya keinginan untuk meminta perhatian dan validasi dalam bentuk dialog 2 arah. Kalau “Kadang orang-orang yang terlalu pintar malah nggak jadi apa-apa”, merupakan ungkapan ekspresi diri Prabowo bahwa orang yang tidak terlalu pintar bisa jadi apa-apa. Jadi presiden, misalnya. Untuk pertama kalinya, saya nggak pernah se-relate ini dengan beliau.
Memanusiakan diri sendiri
Belajar Bahasa Inggris tidak memberi saya jaminan untuk mendapat skor IELTS yang memuaskan, namun dengan memberi power ke diri sendiri untuk mengolah dan menginterpretasikan suatu hal sepertinya sudah lebih cukup. Di situasi lain, bahasa juga memiliki power untuk mengubah narasi sejarah.
Orang-orang yang memiliki power untuk mengubah narasi sejarah dengan membahasakan ulang pelanggaran HAM dengan tone positif bisa saja menyampaikan pelanggaran HAM dengan kesan heroik bak pahlawan nasional. Namun, koreksi-koreksi untuk mencapai kesempurnaan yang ideal itu tidak akan menahan orang-orang yang mencoba untuk memanusiakan dirinya sendiri.
Penulis: Rean Aqila
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Belajar Bahasa Inggris Jangan Dibuat Runyam dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












