MOJOK.CO – Kalau mau ngaku sebagai raja imajiner mah itu jelas penipuan, beda dengan mereka yang mau bikin dinasti politik. Itu legal ya, enak aja.
Di belahan dunia lain, seorang pangeran mundur dari keluarga kerajaan demi menyelamatkan keluarga kecilnya. Di Indonesia, sepasang manusia justru nekat maju menjadi raja dan ratu sebuah kerajaan antah berantah untuk membahayakan keluarganya sendiri.
Tak lama setelah kerajaan imajiner Keraton Agung Sejagat itu viral, raja dan ratunya ditangkap polisi. Kenapa sih dua orang Indonesia ini kebelet banget jadi raja dan ratu? Sudah seperti Atta Halilintar dan Ria Ricis di Youtube saja.
Padahal dalam cerita Game of Thrones, menjadi raja dan ratu bukan pekerjaan mudah. Di tubuh kerajaan biasanya ada penghianat yang bisa kapan saja menusuk dari belakang, bahkan dari depan. Belum lagi serangan dari pihak luar yang ingin kudeta dengan berbekal sekawanan kuda dan tiga ekor naga.
Tahta pun jadi rebutan. Membuat orang-orang yang berambisi duduk di kursi kekuasaan sampai menghalalkan segala cara. Sesama saudara saling tikam.
Bahkan seorang penghamba cinta pun bisa sampai hati menghunuskan pedang kepada sang kekasih demi kemaslahatan kerajaan. Membuat akhir kisahnya menjadi terasa depresif dan tidak bisa memuaskan semua orang.
Maka, cerita Keraton Agung Sejagat bagaikan serial tivi HBO Game of Thrones yang harus diakhiri sejak episode pilot. Sebuah hikayat kerajaan yang amat singkat. Namun, tak mengapa, ketimbang sudah investasi waktu mengikuti serial tivi sejak musim pertama tapi harus kecewa di tahun terakhir ya kan?
Yang tak kalah mengecewakannya dari akhir Game of Thrones ini adalah prolog dinasti politik dari keluarga pejabat idola masyarakat.
Seperti Jokowi dan anaknya dicitrakan sebagai antitesis Keluarga Cendana. Bahkan dulu, seorang penulis Mojok sampai membuatkan tulisan satire yang menyarankan Gibran Rakabuming untuk meniru jejak Ibas Yudhoyono sang Putra Mahkota Cikeas dan Tommy Soeharto sang Putra Mahkota Cendana.
Seperti yang kita ketahui, Tommy Soeharto terlahir dengan privilese sebagai anak presiden terlama di Indonesia. Kekuasaan sang ayah selama puluhan tahun membuat Bung Tommy sukses dan kaya-raya tanpa banyak usaha. Bahkan setelah Pak Harto pergi pun Bung Tommy masih punya kekuatan.
Buktinya lahir Partai Berkarya yang siap mengembalikan memori indah untuk para pendukung yang kangen dengan enaknya zaman buapaknya.
Tulisan satire itu tak ubahnya pujian untuk keluarga Jokowi yang sederhana dan nggak neko-neko. Keluarganya tidak aji mumpung dengan minta jatah kursi dan/atau proyekan. Pun tidak terpikat untuk terjun ke dunia politik memanfaatkan pamor sang kepala keluarga sekaligus kepala negara.
Di saat yang sama, Gibran Rakabuming fokus membangun usahanya sendiri di bidang kuliner. Begitu pula dengan Kaesang Pengarep dengan Sang Pisang yang dirintisnya.
Mereka berdua jadi percontohan dua anak pejabat paling tinggi negara yang bisa mandiri dan tidak serta merta memanfaatkan kekuasaan orang tua. Benar-benar keluarga pejabat yang anti dinasti politik.
Sayangnya, sekarang tulisan satire beberapa tahun lalu itu tak lagi relevan.
Padahal penulisnya bercanda ketika menyarankan Gibran untuk meneladani Ibas Yudhoyono dan Tommy Soeharto. Namun, kini pengusaha katering itu malah betulan maju ke pertarungan Pilwakot Solo dengan diusung partai berlambang banteng moncong putih.
Sebuah manuver yang tidak kita harapkan, tapi tetap saja mengejutkan. Mengingat dulu Gibran adalah anak yang paling terganggu dengan pemberitaan media tentang sang ayah yang notabene seorang pejabat negara.
Kala itu Gibran dilihat seperti pengusaha muda yang tak ingin ayahnya jadi presiden karena bakalan diserang privasinya. Sebab dirinya ingin fokus mengembangkan bisnis tanpa dikejar-kejar wartawan. Saat itu Jokowi pun santuy dan tidak mendesak si anak ikut jejaknya.
Berbeda dengan Ibas Yudhoyono dan AHY dari Keluarga Cikeas yang direkomendasikan oleh SBY untuk turun ke lantai dansa politik Nusantara.
Sepertinya Jokowi ingin mempraktikkan puisi Kahlil Gibran berjudul “Anakmu Bukan Milikmu”
“Bisa saja mereka mirip dirimu, tetapi jangan pernah menuntut mereka jadi seperti dirimu.”
Namun, sekarang bait puisi Kahlil Gibran itu terpeleset untuk menyesuaikan kondisi terkini Gibran Rakabuming:
“Anakmu adalah anak partai yang mengusungmu. Solo adalah sasaran bidikannya. Dia tertantang untuk mendapatkan kekuasaan.”
Setelah menjadi anak presiden, mungkin Gibran tidak memanfaatkan kekuasaan Jokowi untuk mendapatkan tempat yang nyaman. Namun, tidak bisa dielak bahwa berkat kepopuleran sang bapak jugalah ladang usaha mereka bisa dikenal luas oleh masyarakat.
Etapi, menjadi pengusaha saja tidaklah cukup. Gibran ingin juga jadi penguasa. Atau barangkali hasrat pengusaha yang berkuasa itu menarik juga dijabanin. Kayak Om Surya Paloh, Om Erick Thohir, atau Pakde Jusuf Kalla.
Dengan kebesaran nama Presiden Jokowi pula peluang Gibran terpilih jadi wali kota Solo pun terbuka lebar. Berbeda dengan Faldo Maldini yang harus berjuang dari pilkada ke pilkada dan menclak-menclok ke berbagai parpol. Dari PAN sampai menyeberang ke PSI sambil kena bully kanan kiri.
Selain Gibran, menantu Jokowi, Bobby Nasution pun berniat maju di Pilwakot Medan. Menyusul keluarga dari besan Jokowi.
Orang-orang boleh saja membela langkah keluarga Jokowi ini, ya kalau memang punya kemampuan kenapa tidak boleh? Kan siapapun boleh maju jadi pemimpin, artinya anak Jokowi juga harusnya boleh dooong.
Oke, pertinyiinnyi…
…kalau memang benar-benar punya kemampuan, kenapa harus sekarang? Kenapa nggak 10 tahun lagi gitu? Waktu popularitas bapak atau mertua sedang nggak anget-anget tai ayam kayak sekarang?
Kalau kayak begini ceritanya ya jangan salahkan orang juga kalau menyebut langkah akrobat politik ini sebagai eksperimen membangun dinasti politik. Bukan cuma untuk keluarga Jokowi, tapi juga untuk partai pengusung yang ingin memanfaatkan sebesar-besarnya nama besar keluarga Jokowi.
Masalahnya lagi, lebih banyak dari kita merasa nggak masalah dengan hal-hal begitu. Eh, bukan merasa tidak masalah ding, lebih ke tidak peduli aja sih.
Di Indonesia, dinasti politik seolah hal yang lumrah walaupun sistem pemerintahannya adalah republik, bukan monarki. Contoh klasiknya, Dinasti Atut di Banten. Mantan Gubernur Banten itu menempatkan kerabatnya di kursi pemerintahan.
Contoh terkini, Syamsuar dan Yan Prana, Gubernur dan Sekda Riau yang lantik istri, menantu, adik, dan kakaknya menjadi pejabat. Seolah pemerintahan provinsi adalah kebon belakang rumah nenek yang bisa dibagi-bagi ke sanak-saudara.
Beberapa kasus dinasti politik berakhir setelah terkuaknya skandal korupsi. Ending yang klise ini bisa jadi pengingat: dinasti politik memang terbuka karena sistem pemerintahnya membolehkan, tapi bisa menjadi berbahaya karena rentan menjalankan sistem secara tak sehat.
Sebab nantinya segala masalah politik diselesaikan dengan cara kekeluargaan alias diselesaikan dengan cara dialog di grup wasap keluarga.
Barangkali karena memang bangsa kita adalah bangsa yang lekat dengan budaya kekeluargaan.
Maka kesimpulannya; menjadi raja dan ratu gadungan bisa ditangkap polisi karena mengkooptasi keuntungan untuk “keluarga” sendiri, tapi membangun dinasti politik boleh saja asal saling menguntungkan keluarga dan rekanan oligarki.
BACA JUGA Gibran Rakabuming Sebaiknya Belajar dari Ibas Yudhoyono dan Tommy Soeharto atau tulisan Haris Firmansyah lainnya.