Bulan Ramadan disebut-sebut sebagai bulan penuh rahmat dan berkah bagi umat Islam. Bukan, maksudnya bukan di bulan sana lagi penuh astronot bernama Rahmat yang bersaing bikin toko material “TB. Berkah”. Bukan itu. Maksudnya, segala amalan yang dilakukan selama bulan Ramadan akan dilipat gandakan pahalanya.
Atas dasar itulah, umat Islam akhirnya berlomba-lomba menjalankan berbagai macam ritual selama Ramadan.
Wajar lah ya, wong diskon gede-gedean barang bermerek harga naujubillah demi muasin ego nilai prestis di mall aja ramenya minta ampun. Apalagi kalo pahala lagi diskon gini: cukup amal dikit aja, eh pahalanya gede. Itung-itung nabung buat bekal mbukain pintu surga. Uhuk.
Nah, apa aja tren yang hanya bisa ditemui selama Ramadan berlangsung? Ini daftar lengkapnya:
Tarawih karbitan
Dilipat gandakannya pahala selama bulan Ramadan didukung dengan adanya salat Tarawih yang menambah variasi ibadah sunnah. Keberadaan salat tarawih ini disambut dengan sangat antusias oleh jamaah di hampir semua masjid.
Masjid-masjid yang biasanya cuma dijenguk seminggu sekali, popularitasnya jadi meningkat. Berdasarkan pengamatan abal-abal saya di beberapa media sosial, jumlah check-in di masjid jauh lebih banyak daripada di kafe kekinian.
Tapi sayangnya popularitas Tarawih ini mirip-mirip artis karbitan, alias cepat redupnya. Menginjak minggu kedua, sarung-sarung sudah mulai turun gunung. Ketika imam hendak melanjutkan rakaat ke-9 dari total 23 rakaat, ajadah mulai digulung, disampirkan ke bahu. Sarung-sarung ngikut empunya keluar saf, njajan sup buah di depan masjid. Sarung mereka jelas masih kalah awet dibanding sarung penutup warung atau restoran waktu siang selama bulan puasa.
Rebutan anak yatim
Redupnya popularitas salat tarawih di masjid biasanya didalangi oleh penyelenggaraan berbagai acara buka bersama.
Dengan dalih mempererat silaturahmi, hampir semua undangan buka bersama pun dihadiri. Setelah kenyang, dan puas, lalu pulang membawa oleh-oleh setumpuk foto wefie untuk di-upload dan jadi modal ghibah terbaru.
Banyak juga di antara para penyelenggara buka bersama ini yang kemudian bersiasat dengan mengajak yayasan yatim piatu, biar tambah wow. Selain mengharap tambahan pahala, juga supaya kelihatan dermawan kalo di-update di jejaring sosial.
Hal ini membuat buka puasa bersama yayasan yatim piatu jadi tren kambuhan. Tiap tahunnya, di bulan Ramadan, yayasan yatim piatu diperebutkan untuk diajak buka bersama. Beberapa pihak penyelenggara bahkan rela re-schedule, demi menyesuaikan dengan jadwal kosong dari yayasan yatim piatu yang bersangkutan.
Tapi namanya juga tren kambuhan, setelah satu bulan berebut menyantuni anak yatim, selanjutnya ya terus sepi alias gak pernah sama sekali. Bisa jadi mereka pikir berlipatnya pahala itu juga teraplikasikan pada santunan buka bersamanya, terus berlipat secara otomatis untuk 11 bulan ke depan.
Sesuatu banget, yah…
Belanja untuk pamer
Ritual ini biasanya dilaksanakan di akhir pekan setelah wahyu berupa THR ditambahkan pada saldo rekening. Berbekal rasa gengsi yang akan dibawa mudik, maka berbondong-bondonglah mereka menuju mall terdekat. Dipuaskanlah ego pribadi untuk tampak berhasil dibanding keluarga yang lain di kampung halaman. Berlomba-lombalah mereka, meski harus berjubel-jubel di tengah lautan manusia, memperebutkan baju baru diskonan.
Entah kapan dimulainya, semua ini gara-gara stereotip di masyarakat yang lebih mengidentikkan Idul Fitri dengan baju baru, ketimbang kualitas pribadi yang baru—yang fitrah. Akhirnya muncul satu ritual belanja ini untuk mempercantik diri saat hari raya, tapi banyak yang lupa mempercantik imannya. Ehm.
Mudik dan pertanyaan-kapan-ini-kapan-itu
Di bulan Ramadan, tidak hanya pahala yang berlipat, tapi juga harga tiket mudik. Tren mudik yang menguras kantong ini dilaksanakan mulai dari H-7 hingga Hari-H Lebaran.
Bagi mereka yang biasa ngegesek kartu sih enak, bisa duduk manis di pesawat atau kereta. Tapi kalo yang bisa digesek cuma KTP atau kartu BPJS, ya harus rela nahan bau ketek sepanjang perjalanan yang lamanya bisa buat stalking gebetan sampe ke mantannya zaman SD.
Semua pengorbanan itu demi memenuhi alasan “waktu berkumpulnya keluarga” yang biasanya justru jadi ajang nyebahi gara-gara harus siap berkali-kali diberondong pertanyaan “Kapan lulus?”, “Kapan nikah?”, dan berbagai jenis “kapan” lainnya. Pertanyaan-pertanyaan gak mutu itu biasanya dilemparkan oleh sanak-saudara yang lebih tua.
Mereka yang suka ngasih pertanyaan itu ndak tau aja, tiap pertanyaan jenis “kapan” itu dilontarkan, yang lebih muda ini sebenernya udah untup-untup pengen banget balik nanya: “Kapan mati?”