Pisuhan “Dasar ndeso!” yang diucapkan Kaesang Pangarep kemarin itu menimbulkan beberapa sambutan. Ada yang merasa tersinggung. Lalu mereka memasang meme “Wong Ndeso”, lengkap dengan foto diri mereka, sembari mendukung kelompok-kelompok yang diejek Kaesang.
Di seberangnya, ada pembela Kaesang. Mereka menyebut diri sendiri sebagai wong ndeso pula, agaknya sembari berharap bahwa dengan begitu ucapan ndeso dari Kaesang tidak dianggap sebagai ungkapan merendahkan.
Selain pihak-pihak dalam dua kutub yang kian hari kian tampak klise tersebut, ada satu lagi sambutan yang menarik. Mereka kelompok yang sama seriusnya, tapi menafsir pisuhan Kaesang dalam kacamata superilmiah.
Kelompok yang satu ini dengan sigap membongkar bahwa umpatan “Ndeso!” adalah pelecehan kepada desa dan masyarakat desa. Mereka pun memaparkan dengan gaya sempurna para akademisi. Mungkin dengan jidat sedikit berkerut, sambil sesekali membetulkan letak kacamata.
“Kenapa merendahkan desa? Desa adalah penyokong kota. Desa adalah produsen pangan, penyuplai tenaga kerja, penyangga ekonomi negara. Desa adalah pusat peradaban yang sebenarnya, benteng pertahanan dalam menghadapi kejahatan globalisasi.”
Ewww, pernyataan pembuka yang hebat. Tapi belum selesai. Masih ada sambungannya.
“Meski begitu, desa dizalimi ideologi developmentalisme yang berbasis pertumbuhan alih-alih pemerataan. Akibatnya, desa yang merupakan nyawa sejati dari negeri kita jadi terlupakan, tergilas oleh gebyar pembangunan yang hanya memanjakan segelintir orang.”
Akhirnya, kesimpulan pamungkasnya sangat menggetarkan jivva.
“Jadi, umpatan ‘Ndeso!’ adalah bentuk nyata kebodohan dan ketidakpahaman atas realitas ekonomi politik global!”
Wow, wow, wow!
Saya terpukau sampai ngiler. Begitu sadar, lekas-lekas saya mengelap liur yang meleleh di sudut bibir. Betapa saya terpana dalam segenap kekaguman yang paripurna. Sungguh, mereka orang-orang cerdas yang sangat tercerahkan, produk terpuncak dari keberhasilan Renaissance. Saya merasa berhadapan dengan satu peleton sosiolog dan ekonom kritis, yang mendadak muncul dengan mekanisme tiban: berjatuhan begitu saja dari langit.
Tapi di balik keterpukauan saya, kok rasanya ada yang sedikit mengganjal ya, Mas? Begini maksud saya. Bagaimana Anda yang cerdas-cerdas itu tiba-tiba jadi sangat skripturalis, sembari menampilkan contoh lain dari apa yang disebut Mahfud Ikhwan sebagai “wahabisme berbahasa”?
Lho, jangan langsung tersinggung gitu, dong. Coba dilihat lagi. Ucapan Kaesang yang sampeyan bahas itu memang merupakan umpatan, pisuhan, dalam level yang paling ringan. Nah, apakah dalam sosiologi berbahasa kita, sebuah pisuhan harus dibongkar maknanya secara harfiah, secara tekstual, secara letterlijk?
Mari kita cari saja jawabannya, dengan mengambil pembanding lain dari khazanah pisuhan masyarakat Nusantara yang kaya raya ini.
Kita mulai dengan pisuhan lain dalam level yang sama; Nggapleki, misalnya. Taruhlah seorang politisi misuh di vlog-nya: “Jokowi memang nggapleki!”
Nah, saya yakin para intelektual tiban akan malih rupa menjadi pakar diet.
“Lho! Kenapa dia mengumpat dengan bilang nggapleki? Sekolah di mana dia? Coba cermati baik-baik. Kata dasar dari nggapleki itu gaplek. Gaplek adalah singkong yang dikeringkan. Orang yang tidak makan sekolahan memang melihatnya sebagai makanan murah. Tapi apakah dia nggak pernah membaca, bahwa gaplek yang dia ejek-ejek itu mengandung energi sebesar 338 kilokalori; protein 1,5 gram; karbohidrat 81,3 gram; lemak 0,7 gram; kalsium 80 miligram; fosfor 60 miligram; zat besi 2 miligram; dan vitamin B1 0,04 miligram? Ha?”
Itu belum selesai. Masih ada lanjutannya, dan kali ini mereka kembali menjadi ekonom.
“Pada tahun 2025 negeri kita terancam krisis pangan. Di masa itu, sangat mungkin gapleklah solusinya. Gaplek adalah harapan masa depan ketahanan pangan Indonesia! Maka sudah jelas, ungkapan nggapleki adalah ekspresi yang sangat tidak terpelajar, dan menunjukkan bahwa pengucapnya hanyalah orang yang kurang piknik dan baca buku!”
Keren banget, kan? Kerenlaaah!
Lalu apa yang bisa kita bayangkan kalau mereka sampai mendengar umpatan Jawa semacam “Wuooo kereee!”?
Duh. Kalau sampai satu itu yang terdengar, bisa bahaya sekali. Para intelektual tiban pasti akan menjelma menjadi aktivis kiri progresif, lalu menganalisis umpatan itu dengan perspektif perjuangan kelas. Ingat, makna harfiah ‘kere’ adalah rakyat jelata yang miskin. Jadi kemungkinan besar umpatan itu akan dianalisis sebagai sikap tidak berpihak kepada proletariat.
“Padahal kemiskinan tumbuh karena penindasan struktural, penghisapan oleh kalangan pemilik modal, kejahatan kaum kapitalis. Maka siapa pun yang misuh ‘dasar kere’ sudah jelas merupakan komprador ….” Dan seterusnya. Modiarrr.
Dari dua contoh pembanding saja sudah kelihatan, bahwa semesta misuh adalah dunia tersendiri. Ekspresi misuh selalu bermain-main dalam wilayah konotasi, sehingga hanya kaum overdosis sekolah saja yang dengan selo mengulitinya sampai ke makna etimologisnya.
Misuh adalah misuh. Titik. Tak usahlah kita kurang kerjaan dengan menjalankan gerakan purifikasi makna, menyeret kata-kata umpatan jauh-jauh hingga ke arti dasar sesuai khittahnya.
Nah, kembali ke ndeso. Ndeso berarti kampungan, begitu simpelnya. Tapi ‘kampungan’ tidak selalu lekat dengan ‘kampung’. Banyak orang kampung yang tidak kampungan, sebagaimana banyak orang kampungan yang lahir dan besar di perkotaan.
Gampang tidak selalu sama dan sebangun dengan gampangan. Begitu pun murah belum tentu ada hubungannya dengan murahan. Iya, kan? Kalau ada lelaki pecundang mengomel, “Halah, dia mah perempuan murahaaan …” apa terus mesti Anda samber dengan nasihat bijak: “Astagfirullah. Jangan remehkan yang murah. Ingatlah, hadis Nabi menyatakan, perempuan paling mulia adalah yang paling murah maharnya. Apakah antum lupa?”
Udah, ah, kepanjangan. Jadi pesan dari saya cuma satu: sepintar apa pun Anda, terlalu serius itu cuma akan membuat hidup Anda kurang bahagia. Itu.