MOJOK.CO – Tujuan munculnya aturan ASN Jakarta wajib naik transportasi umum mungkin baik. Tapi, bisa melahirkan celah tipu muslihat yang besar.
Kata sebagian orang di masa sekarang, larangan adalah suatu perintah. Semakin dilarang, potensi untuk melakukan pelanggaran malah semakin tinggi. Sebelas-dua belas dengan ungkapan, “Aturan ada untuk dilanggar.”
Dua kalimat tersebut, tentu saja sering menjadi tameng oleh segelintir orang untuk melanggar banyak hal, aturan, maupun kebijakan yang nyeleneh. Setidaknya ada-ada saja, diada-adakan, atau secara kolektif dianggap menyusahkan.
Rasanya tidak berlebihan jika 2 paragraf awal tersebut saya tujukan untuk kebijakan baru bagi para ASN Jakarta. Mereka wajib naik transportasi umum setiap hari Rabu. Dan mereka harus selfie sebagai bukti. Kebijakan yang dianggap apa banget dan ramai mendapat tanggapan di media sosial.
Perlu diakui bahwa, di sisi lain, sebetulnya kebijakan yang dibuat oleh Pemprov Jakarta cukup baik untuk membiasakan pekerjanya menggunakan transportasi umum. Dari kebiasaan, sampai akhirnya ketagihan, kemudian keterusan. Konsep awalnya boleh jadi demikian.
Namun, siapa mengira hal tersebut malah menimbulkan celah untuk mengakali kebijakan yang terbilang besar dan mempertaruhkan integritas. Saya izin menyebutkan potensinya satu per satu, ya, Pak Pramono Anung.
Pertama dan yang paling utama, manipulasi selfie oleh ASN Jakarta
Entah sudah berapa banyak ASN Jakarta yang naik Transjakarta di satu halte saja hanya untuk selfie. Kemudian, di halte berikutnya, langsung turun. Termasuk KRL dan transportasi lainnya. Toh, yang penting sudah memberikan laporan yang diminta, kan, Pak?
Kirim selfie saat berangkat dan pulang kerja di transportasi umum. Bisa melalui WhatsApp, Google Form, atau sistem lainnya ke admin kepegawaian masing-masing.
Apakah mencantumkan label atau time stamp pada foto selfie dapat menjadi validasi tahap awal? Nyatanya, tidak sama sekali. Time stamp juga bisa diedit, Pak Pram. Hehehe.
Kalau mau lebih niat lagi, para ASN Jakarta akan menyetok banyak selfie untuk dikirimkan tiap Rabu. Realitasnya, dalam proses berangkat dan pulang ngantor, akan suka-suka dan ugal-ugalan.
Tenang, Pak Pram. Saya nggak berniat sama sekali untuk memberi insight buruk kepada para ASN Jakarta. Bukan juga menjadi cepu dan mendapat kredit atas hal tersebut. Saya hanya ingin menegaskan bahwa, kebijakan tersebut punya celah besar untuk diakal-akali, bahkan disepelekan.
Sederhananya, gampang dikadalin
Melalui tempo.co, diketahui Ingub (Instruksi Gubernur) yang ditandatangani oleh Pramono Anung, tidak mengatur sanksi bagi pegawai pemerintah Provinsi Jakarta yang tidak menggunakan transportasi umum pada hari Rabu.
Lha, ya, apalagi tidak diatur soal sanksi. Itulah kenapa, pada akhirnya, kebijakan ini sangat berpotensi masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.
Begini. Bagi sebagian ASN Jakarta lain yang berdomisili di luar Jakarta, tentu sudah sangat terbiasa menggunakan transportasi umum seperti KRL, MRT, LRT, atau menyambung dari satu halte ke halte lainnya menggunakan transjakarta.
Lagian, saya pikir, kebijakan tersebut nggak spesial-spesial amat dan nggak mengagetkan juga. Apalagi bagi kelas pekerja. Hal itu sudah menjadi rutinitas saban hari, tanpa perlu embel-embel selfie dan validasi.
Santai saja. Pasalnya, naik transportasi umum atau massal, menjadi salah satu cara untuk bertahan hidup di tengah gempuran nominal gaji yang nggak seberapa itu, kan?
Sebab, seringnya, nominal gaji yang diterima, masih sulit sekali menang saat head to head dengan biaya sehari-hari untuk menyambung hidup.
Baca halaman selanjutnya: Kebijakan yang bisa melahirkan celah.












