MOJOK.CO – Esai ini adalah cuplikan surat Kartini dari Jepara kepada Nona Zeehandelaar yang bertarikh 25 Mei 1899. Surat yang diterjemahkan Armijn Pane dan diterbitkan pertama kali Balai Pusataka pada 1945 tersebut salah satu butir penting, yakni bagaimana impian zaman baru bersinggungan dengan perbuatan mabuk-mabukan dan bebasnya candu yang merusak (baca: narkotika) di tengah masyarakat.
Selain emansipasi, Kartini muda sudah ngasih lonceng kecil betapa berbahayanya mirasantika itu. Dalam hal ini, Kartini satu haluan dengan Bang Haji Rhoma Irama. Kartini bahkan bisa dibilang masuk dalam saf pertama perempuan Indonesia yang antimadat, antimiras.
Karena surat Kartini itu tanpa judul, Mojok berinisiatif membuatkan judul. Jadi, maka jadilah!
Zaman Baru Yes, Mirasantika No!
Oleh Kartini
Ingin benar hati saya berkenalan dengan seorang anak gadis modern, gadis yang berani, yang sanggup tegak berdiri, gadis yang saya sukai dengan hati jantung saya, anak gadis yang melalui jalan hidupnya dengan langkah yang tangkas, dengan riang suka hati, tetap gembira dan asyik, yang berdaya upaya bukan hanya untuk keselamatan bahagia dirinya sendiri saja, melainkan juga untuk masyarakat yang luas besar itu, yang ikhtiarnya pun akan membawakan bahagia kepada banyak sesamanya manusia.
Bernyala-nyala hati saya, gembira akan zaman baru, ya, malahan bolehlah saya katakan, menilik pikiran dan rasa, saya tiada serasa dengan zaman di Hindia ini, melainkan saya telah hidup di zaman saudara saya perempuan bangsa kulit putih yang giat hendak kemajuan, di Barat yang jauh itu.
Bila boleh oleh adat lembaga negeri saya, inilah kehendak dan upaya saya, ialah menghambakan diri semata-mata kepada daya upaya dari usaha perempuan kaum muda di Eropa.
Tetapi, adat kebiasaan yang sudah berabad-abad itu, ada yang tak mudah merombaknya itu, membelenggu dalam genggamannya yang amat teguh. Suatu ketika akan terlepas jua kami dari genggaman itu, akan tetapi masa itu masih jauh lagi, bukan main!
Akan tiba juga masa itu, itu saya tahu tetapi tiga empat keturunan lagi. Aduh, tuan tiadalah tahu betapa sedihnya, jatuh kasih akan zaman muda, zaman baru, zamanmu, kasih dengan segenap hati jiwa, sedangkan tangan dan kaki terikat, terbelenggu pada adat istiadat dan kebiasaan negeri sendiri, tiada mungkin meluluskan diri dari ikatannya.
Baca Juga: Surat Terbuka Kartini untuk Aurel Hermansyah
Dan adat kebiasaan negeri kami sungguh-sungguh bertentangan dengan kemauan zaman baru, zaman baru yang saya inginkan masuk ke dalam masyarakat kami.
Siang dan malam saya pikir-pikirkan, saya heningkan daya upaya supaya boleh terlepas juga daripada kongkongan adat istiadat negeri saya yang keras itu.
Akan tetapi adat timur lama itu benar kukuh dan kuat. Ingin rasanya saya lebur, saya patahkan, sekiranya tidak ada ikatan yang lebih kukuh dan kuat daripada adat lama yang manapun juga menambat saya kepada dunia saya; yaitu kasih sayang saya kepada mereka yang melahirkan dan membesarkan saya; jika tidak karena mereka itu tidaklah tercapai oleh saya segala yang ada pada saya.
Bolehlah, berhaklah saya memilukan hati mereka itu, mereka yang selama hidup saya, selalu dengan kasih sayang dan hati baik, memelihara saya dengan susah payahnya?
Saya akan merusakkan hatinya, bisa saya turutkan kata hati itu, jika saya penuhi segala yang jadi hasrat seluruh jiwa saya, setiap detik, sepanjang masa.
Bukan hanya suara dari luar saja, suara yang datang dari Eropa yang beradab, yang hidup kembali itu, yang datang masuk ke dalam hati saya, yang jadi sebab saya ingin supaya keadaan yang sekarang ini berubah.
Baca Juga: Menemukan Kartini Rumah Tangga Bersama 10 Anaknya
Pada masa saya masih kanak-kanak, ketika kita “emansifatie” belum ada bunyinya, belum ada artinya bagi telinga saya, serta karangan dan kitab tentang pasa itu masih jauh dari jangkauan saya, telah hidup dalam hati saya suatu keinginan, yang makin lama, makin besar; keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri.
Keadaan sekeliling saya, memilukan hati, menerbitkan air mata karena karena sedih yang tak terkatakan, keadaan itulah yang membangunkan keinginan hati saya itu.
Dan karena suara yang datang dari luar yang tiada putus-putusnya sampai kepada saya, keras makin keras jua, maka bibit yang ada dalam hati saya, yaitu perasaan yang merasakan duka nestapa orang lain yang amat saya kasihi, tumbuhlah, sampai berurat berakar, hidup subur serta dengan rindangnya.
Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajuan pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, keluar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat.
Ketahuilah, bahwa adat negeri kami melarang keras gadis keluar rumah.
Ketika saya sudah berumur dua belas tahun, lalu saya ditahan di rumah-saya mesti masuk “tutupan”; saya dikurung di dalam rumah, seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tidak boleh keluar ke dunia itu lagi, bila tiada serta seorang suami, seorang laki-laki yang asing sama sekali bagi kami, dipilih oleh orang tua kami untuk kami, dikawinkan dengan kami, sebenarnya dengan tiada setahu kami.
Baca Juga: Merayakan Hari Kartini bersama Kartono, tapi Kartono Itu Siapa ya?
Empat tahun, yang tak terkira lamanya, saya berkhalwat di antara empat tembok tebal, tidak pernah sedikit jua pun melihat dunia luar. Betapa saya dapat menahan kehidupan yang demikian, tiadalah saya tahu hanya yang saya ketahui, masa itu amat sengsaranya.
Akan tetapi, semangat zaman pembantu dan pembela saya, di mana-mana memperdengarkan gemuruh langkahnya; gedung tua kukuh dan dahsyat, tergoyang pada sendinya ketika semangat zaman itu menghampiri pintu yang dipalang dan dijaga kuat-kuat itu, lalu terbukalah, setengahnya seolah-olah dengan sendirinya, yang lain dengan amat sudahnya, tetapi terbuka, semua mesti terbuka dan tahu yang tidak disukai itu pun masuklah!
Ke mana ia pergi, di sana kelihatan bekas jejaknya. Akhirnya, waktu saya berumur enam belas tahun, maka barulah pula saya melihat dunia luar itu kembali.
Syukur! Syukur!
Sebagaimana seorang yang merdeka bolehlah saya tinggalkan terungku saya, dan tiada berikat kepada seorang suami yang dipaksakan saja kepada saya.
Akan tetapi, hati saya belum puas, sekali-sekali belum lagi. Jauh, tetap lebih jauh lagi dari itu yang saya kehendaki. Bukan, bukan keramaian, bukan bersuka-suka hati yang saya ingini, tiada pernah yang demikian itu terkandung dalam cita-cita hati saya akan kebebasan.
Saya berkehendak bebas supaya saya boleh dapat berdiri sendiri, jangan bergantung kepada orang lain, supaya jangan … jangan sekali-sekali dipaksa kawin.
Tetapi kawin, kami mesti kawin, mesti, mesti! Tiada bersuami adalah dosa yang sebesar-besar dosa yang mungkin diperbuat seorang perempuan Islam, malu yang sebesar-besar malu yang mungkin tercoreng di muka seorang anak gadis Bumiputra dan keluarganya.
Baca Juga: Sudah Saatnya Minggu Kartini dengan Memakai Kebaya Digalakkan Presiden Jokowi
Dan kawin di sini, aduh, dinamakan azab sengsara masih terlalu halus! Betapa nikah itu tiada akan sengsara, kalau hak semuanya bagi keperluan laki-laki saja dan tiada sedikit jua pun bagi perempuan?
Kalau hak dan pengajaran kedua-duanya bagi laki-laki semata-mata kalau semua-muanya dibolehkan dia perbuat?
Cinta, apakah yang kami ketahui tentang perkara cinta itu? Betapa kami akan mungkin sayang akan seorang laki-laki dan seorang laki-laki kasih akan kami, kalau kami tiada berkenalan, bahkan yang seorang tidak boleh melihat yang lain? Anak gadis dan anak muda dipisahkan benar-benar.
Di dalam masyarakat Bumiputra, syukurlah belum lagi perlu kami memerangi setan minum, tetapi, saya kuatir, saya kuatir, apabila nanti, maafkanlah saya, peradaban Barat telah berkedudukan yang tepat di sini, kami akan terpaksa pula berjuang dengan kejahatan itu.
Peradaban memberi berkah, tetapi ada pula buruknya. Pikiran saya, suka meniru itu sudah menjadi tabiat manusia.
Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik; orang baik-baik itu meniru perbuatan orang yang lebih tinggi lagi, dan mereka itu meniru yang tertinggi pula ialah orang Eropa. Peralatan bukan peralatan namanya, jika tidak ada minuman kerasnya.
Di negeri saya ini adalah suatu kutuk, lebih jahat lagi daripada minuman keras itu? Candu! Alangkah sengsaranya negeri bangsaku oleh benda laknat itu, tiada dapat dikatakan. Candu itu penyakit sampar Pulau Jawa. Bahkan, lebih ganas lagi daripada sampar itu.
Benar juga kata orang; candu itu tiadalah jahat, selama ada uang membeli racun itu; tetapi bila tiada dapat mengisap lagi, tiada ada uang pembelinya, sedang badan sudah menjadi hamba madat, maka sangat berbahayalah orang itu, celakalah dia! Oleh perut lapar orang jadi pencuri, tetapi oleh tagih akan candu orang menjadi pembunuh.
Kata orang di sini: mula-mulanya madat itu jadi nikmat bagi engkau, tetapi kesudahannya dialah yang menelan engkau. Dan perkataan itu sungguh-sungguh benar!
Aduh, Tuhan, ya Tuhan! Sedih hati melihat kejahatan sebanyak itu di sekeliling diri, sedang diri tiada berdaya akan menjauhkannya!
Saya tiada tahu berbahasa Prancis, Inggris, dan Jerman. Adat sekali-kali tiada mengizinkan kami anak gadis tahu berbahasa asing banyak-banyak. Kami tahu berbahasa Belanda saja sudah melampaui garis namanya. Dengan seluruh jiwa saya, saya ingin pandai berbahasa yang lain-lain itu, bukan karena ingin akan pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan supaya dapat membaca buah pikiran penulis-penulis bangsa asing itu.
***
Penulis : Kartini
Editor : Agung Purwandono