MOJOK.CO – Aplikasi pinjol yang merajai media sosial hingga PlayStore bisa menjadi bom waktu bagi masyarakat kelas menengah, kekuatan penggerak ekonomi negara.
Pernah nggak kalian dapat iklan di media sosial dengan caption bertuliskan, “Butuh dana cepat dan mudah cair?” Nah, kalau pernah, jangan heran atau merasa spesial karena nggak cuma kamu yang menerima iklan sejenis.
Mulai dari aplikasi kredit macam Kredivo hingga Indodana, semua kini kian gencar menawarkan kemudahan melakukan pinjaman tunai. Nggak ada yang salah, karena di bisnis dana pinjaman tunai, hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Belakangan, tak hanya di medsos belaka, aplikasi pinjol malah semakin populer. Tidak sekali atau dua kali, tiap membuka Google PlayStore, kita pasti akan bertemu satu atau dua aplikasi pinjol.
Apa latar belakang dari menjamurnya aplikasi pinjol ini?
Geliat pertumbuhan sektor konsumtif di Indonesia pasca-PPKM
Ini masih asumsi saya, sih, tapi sedikit data cukup bisa saya jadikan acuan untuk ini. Sektor pinjaman online yang menawarkan dana tunai atau untuk lebih keminggris-nya bisa kita sebut juga sebagai fintech peer to peer (P2P) lending ini, memang sedang sangat bergeliat.
Dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saja, P2P lending diklaim sudah menyalurkan pembiayaan di sektor konsumtif sebesar Rp57,7 triliun terhitung sampai Juni 2022. Angka ini setara dengan 52,16% dari total keseluruhan pinjaman yang dicatat OJK hingga semester I di 2022. Sekadar pembanding, untuk sektor produktif misalnya, angkanya sedikit lebih kecil yakni 52,9 triliun atau setara 47,84% dari keseluruhan data.
Sejatinya bukan hal aneh ketika melihat angka sektor konsumtif masih tinggi. Pasca-PPKM atau diturunkannya aturan ketat di masa pandemi Covid-19, geliat belanja masyarakat mulai meningkat pesat. Masalahnya, geliat itu kebanyakan tak diikuti dengan peningkatan pendapatan karena beberapa sektor usaha masih di fase pemulihan ekonomi yang berjalan secara bertahap.
Aplikasi pinjol dan bank digital sendiri mempunyai kemampuan luar bisa untuk menangkap geliat sektor konsumsi. Bahkan, tak sedikit yang berkolaborasi di antara keduanya dan mencoba secara terbuka menyasar sektor konsumtif.
Contoh yang paling baru adalah Bank Jago Syariah, yang sedang jajaki kemungkinan bekerja sama dengan P2P lending untuk menggarap secara serius sektor konsumtif. Ke depannya, bukan hal aneh tampaknya jika beberapa bank digital juga akan berkolaborasi dengan fintech atau aplikasi sejenis pinjol untuk secara masif menyasar sektor konsumtif.
Evolusi aplikasi pinjol memanfaatkan sistem peer to peer lending
Pernah dengar aplikasi bernama Easycash? Saya pernah sekali mencoba memakai aplikasi tersebut dengan niat investasi. Hebatnya, Easycash berani menawarkan bunga menarik bagi pemberi pinjaman, namun dengan risiko gagal bayar yang juga tinggi.
Di sini kemudian banyak aplikasi pinjol memanfaatkan dengan baik sistem P2P lending tadi. Easycash adalah aplikasi pinjol yang relatif berbeda. Ia memberikan platform bagi layanan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Dan tentu saja, semua pinjaman itu mayoritas digunakan untuk sektor konsumtif. Ini yang berbeda dari misal, Investree, yang investasi pendanaan dan pemberian pinjaman kita digunakan untuk modal usaha beberapa perusahaan.
Dan bukan kebetulan, di era serba digital begini, Easycash benar-benar mampu menangkap semangat zaman bagi orang yang suka ngutang. Proses pinjaman uang antara pemberi dan penerima dana hanya perlu 3 langkah saja dan proses hingga persetujuan peminjaman uang bisa selesai dalam 3 menit.
Sektor konsumtif bukan masalah, namun pinjol bisa jadi bom waktu
Pada titik ini, kita harus menggarisbawahi bahwa sektor konsumtif bukan semata-mata penyebab menjamurnya aplikasi pinjol di Indonesia. Mari mundur sejenak ke tahun sebelum pandemi, sektor konsumtif beberapa kali menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional di tiap tahunnya.
Ambil contoh di triwulan kedua tahun 2018. Kala itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut pertumbuhan ekonomi nasional naik sebesar 5,27% dengan sektor konsumtif sebagai penopangnya. Data ini oke, namun juga menimbulkan tantangan. Pasalnya, data ini juga menjadi acuan bagaimana pertumbuhan aplikasi pinjol di Indonesia dari tahun ke tahun kian meroket.
Akan tetapi, literasi digital di sini harus jadi prioritas. Per Maret 2022 misalnya, survei dari Indikator yang saya kutip dari Katadata menyebutkan, 89,5% dari responden di kalangan masyarakat umum mengaku belum tahu apa itu pinjol.
Literasi digital itu penting
Ketidaktahuan ini bisa menimbulkan masalah karena terjeratnya masyarakat kepada pinjol ilegal, salah satunya karena sosialisasi terkait digital yang sangat kurang. Padahal, literasi digital di sektor keuangan sangat butuh mental yang bijak dan bertanggung jawab karena urusannya duit dan perut. Dua hal yang sangat sensitif.
Tahukah kamu, saat ini, mencairkan dana dari aplikasi pinjol itu sangat cepat dan nyaris tidak memerlukan verifikasi data cukup lama. Dengan sistem yang sangat mudah, bermodal KTP saja, orang bisa langsung menerima dana tunai ke rekening bank-nya.
Gampangnya syarat untuk pengajuan pinjaman itulah juga menjadi celah di mana pinjol ilegal manfaatkan untuk menjerat korban-korbannya, Pasalnya, kecenderungan masyarakat untuk konsumtif menjadi bumerang karena peminjam acapkali cepat silau ketika sudah pegang uang di tangan.
Waspada, menjamurnya aplikasi pinjol, yang merajai Google PlayStore dan media sosial menyimpan sebuah bahaya. Terutama ketika tingkat literasi digital masyarakat kelas menengah masih terbilang rendah. Sudah begitu, tingkat konsumsi justru makin menggebu. Perpaduan yang ideal untuk sebuah kondisi brengsek yang kita mengenalnya sebagai debt trap atau jebakan utang.
Padahal, tahukah kamu, kelas menengah merupakan kekuatan yang menggerakkan ekonomi negara. Mereka harus melengkapi diri tentang pengetahuan bahaya pinjol dan bank digital. Jika tidak, “bom waktu” itu akan meledak lebih cepat.
BACA JUGA Watermark KTP, Solusi Baru Memerangi Pinjol Laknat! Dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Isidorus Rio Turangga Budi Satria
Editor: Yamadipati Seno