[MOJOK.CO] “Menjawab kegelisahan tentang peran Pencinta Alam di masyarakat.”
Selasa, 28 November 2017, sudah memasuki hari kedua hujan terus mengguyur Yogyakarta dan sekitarnya. Sebelumnya, hampir setiap hari selama sepekan hujan juga kerap turun. Reda sebentar untuk kemudian deras kembali. Memang bulan-bulan ini musimnya hujan. Ditambah Siklon Tropis Cempaka, intensitas hujan di wilayah selatan pulau Jawa kian bertambah. Yogya dan Pacitan menjadi dua tempat tumpahnya hujan dengan intensitas melimpah.
Sejak siang, berbagai informasi tentang musibah yang melanda setelah dua hari hujan tak kunjung reda mulai bersliweran. Banjir, longsor, jembatan putus, terjadi di beberapa tempat.
Di grup whatsapp pencinta alam Yogya yang saya ikuti, koordinasi langsung dilakukan. Siang hari beberapa orang menembus kelebatan hujan untuk berkumpul mendirikan posko tanggap bencana. Sekretariat Mapalista di kampus IST AKPRIND dipilih sebagai posko bersama tempat berkumpulnya potensi SAR dan logistik sebelum tim diberangkatkan ke lokasi yang terkena musibah.
Mereka yang bergegas datang bukan hanya dari Yogya saja, beberapa anggota Pencinta Alam Yogya yang sudah tidak tinggal di Yogya juga hadir, dari Boyolali dan Solo. Sebentar berkoordinasi mengumpulkan informasi terpercaya mengenai lokasi-lokasi terdampak musibah, sore hari mereka bergerak ke lokasi-lokasi musibah di Gunung Kidul, Bantul dan Kulon Progo. Lebih dari 50 orang potensi yang terjun ke lapangan. Semuanya pencinta alam.
Di Posko Mapalista, beberapa personil sibuk mendata potensi SAR yang datang belakangan dan terus memantau informasi di lapangan. Info tersebut terus dibagikan kepada kami yang memantau dari grup whatsapp pencinta alam Yogya.
Ada banyak manusia-manusia sigap yang kerap merespon dengan sangat cepat jika ada kejadian-kejadian semacam ini. Bukan hanya menggali informasi yang tepat, mereka juga berhasil mengumpulkan orang-orang dalam waktu yang cukup singkat untuk segera diberangkatkan ke lapangan. Mengerjakan dan membantu apa saja yang bisa dikerjakan dan dibantu.
Salah satu dari manusia hebat itu adalah Ipul. Ia berasal dari Gombong, Kebumen, dan tergabung di Palafne, Pencinta Alam D-3 Ekonomi UGM. Sudah sejak 2004 saya selalu kagum dengan Ipul untuk kesigapannya dalam tanggap bencana ini. Hampir di setiap tempat di negeri ini, jika bencana terjadi, Ipul hampir selalu berada di garda depan. Aceh, Padang, Pangandaran, Yogya, dan beberapa tempat lainnya.
Ipul selalu menyediakan tenaganya untuk tanggap bencana. Bukan sekali dua Ipul meninggalkan kuliah untuk berlama-lama membantu para penyintas saat bencana terjadi. Ketika Yogya dilanda gempa pada 2006 dan letusan Gunung Merapi 2010. Ia juga berbulan-bulan merelakan waktu, pikiran dan tenaga saat gempa melanda Sumatera Barat pada 2009.
Dan baru-baru ini, sebelum banjir dan longsor melanda Yogya dan sekitarnya, Ipul menghabiskan waktu berbulan-bulan di Pulau Dewata.
Saat status Gunung Agung naik menjadi awas tempo hari, saya menduga Ipul sudah berada di Bali. Dugaan saya tepat. Ia sudah di Bali beberapa hari sebelum status naik menjadi Awas.
Di saat semua relawan lain membantu mengurus pengungsian, Ipul menyediakan tenaganya untuk hal mendesak yang jarang diperhatikan relawan lainnya. Ipul mengevakuasi hewan ternak (sapi, kambing, babi) milik warga, menyelamatkan hewan itu keluar dari radius bahaya letusan gunung. Setelah menempatkan hewan-hewan itu di lokasi aman, sehari-hari Ia mengarit untuk memberi makan ternak-ternak milik warga yang Ia jaga.
“Mereka yang bilang pencinta hewan itukan mengevakuasinya anjing, kucing, dan binatang lucu lain. Nggak ada yang mikirin ternak warga. Jadi ya aku urus itu saja, Waz.” Terang Ipul sekembalinya dari Bali.
Hingga posko tanggap bencana ditutup kemarin, Ipul dan kawan-kawan pencinta alam Yogya lainnya sibuk menghimpun informasi dan pelan-pelan mengirim bantuan tenaga dengan peralatan perahu karet ke lokasi-lokasi yang membutuhkan di selatan Yogya. Ipul dipercaya sebagai koordinator keposkoan.
“Bukan hujan yang salah, sama sekali bukan. Bukan juga alam yang salah. Kita saja manusia yang semau-maunya. Yang merasa paling kuasa.” Ujar Ipul beberapa waktu lalu.
Ipul hanya satu contoh saja, masih banyak Ipul lainnya dengan latar belakang pencinta alam yang begitu sigap saat bencana melanda negeri. Tentu semua orang tak ingin bencana terjadi, tetapi di negeri yang banyak wilayahnya masuk dalam peta wilayah rawan bencana, kesigapan seperti yang dilakukan Ipul dan kawan-kawan pencinta alam mutlak diperlukan.
Terjun langsung ke lapangan mengerjakan apa yang bisa dikerjakan, bukan sekadar sibuk berkoar-koar di media sosial agar waspada dan berhati-hati. Bawel di media sosial tidak ada gunanya saat bencana sudah terjadi. Apa mungkin bisa mengirim bantuan logistik, mengevakuasi mereka yang terisolir banjir dan atau tanah longsor dengan sekadar berisik di media sosial?
Sudah terlalu sering saya mendengar cibiran pedas terhadap gerakan pencinta alam di negeri ini. Mereka bilang pencinta alam apolitis, apatis, tidak ada peran nyata pada persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, mengalienasi diri dari lingkungan dan masyarakat sekitar tempat pencinta alam berkegiatan, dan deretan cibiran lainnya. Semua itu ditambah dengan stigma buruk terhadap pencinta alam, gerombolan pemabuk, tidak tahu sopan santun, kelompok anarkis (kalau yang ini sih ada benarnya, lagi pula, anarkis kan bukan stigma negatif).
Memang tidak semua cibiran itu sekadar cibiran. Harus diakui, ada kritik, meskipun teramat pedas, namun itu benar adanya. Kegiatan, pergerakan dan aktivitas pencinta alam tidak selamanya baik. Dan saya mau tak mau harus klise di sini, bukankah tiada kesempurnaan pada manusia, karena kesempurnaan itu milik Allah semata? Asyik ya? Begitu juga dengan para pencinta alam.
Jadi, sebaiknya memang saling mengisi. Jangan sedikit-sedikit dinyinyiri, sedikit-sedikit sinis dengan balutan berlagak kritis lewat bahasa yang njelimet tak karuan. Tidak ada salahnya pencinta alam naik gunung, panjat tebing, masuk gua, susur sungai, dan bermacam kegiatan lainnya, sembari mereka tetap bergerak merespon permasalahan-permasalahan yang terjadi pada masyarakat.
Kalau yang Anda maksud, “hobi naik gunung kok diam saja saat gunung terancam rusak karena ulah korporasi” itu terkait kasus Kendeng dan geotermal di beberapa gunung berapi di negeri ini, silakan kepruk kepala Agus Mulyadi pakai botol bir jika tak ada peran serta secuil pun dari Pencinta Alam di sana.
Apa kamu yang bicara begitu bisa memetakan gua-gua yang jumlahnya melimpah di kawasan karst Kendeng, yang selanjutnya datanya digunakan sebagai alat advokasi melawan Amdal pesanan korporasi? Pencinta Alam ada peran di situ, Kakak Tampan.
Sekali lagi, mari sudah saling mengisi dalam gerakan-gerakan perlawanan yang dilakukan masyarakat. Jangan sedikit-sedikit menyalahkan melulu dan merasa paling benar dan paling berjasa menghadapi krisis sosio-ekologis.