Komentar produser Merah Putih: One For All
Yang kemudian menarik adalah respons tim produksi film ini dalam menghadapi cercaan netizen. Dikutip dari instagram @kompascom, produser film tersebut, Toto Soegriwo menulis di instagram “Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain. Banyak yang mengambil manfaat juga, kan? Postingan kalian jadi viral, kan?”
Saya secara pribadi menyayangkan komentar dari sang produser tersebut. Karena saya beranggapan bahwa produser itu termasuk golongan orang kreatif, paling tidak sesama kolega seniman yang memahami konsekuensi sebuah karya seni.
Seorang seniman semestinya legawa menghadapi dinamika nilai estetika di masyarakat. Bukan malah ngeles, ngeyel, dan ndableg jika karyanya dikritik. Kecuali memang beliu ini sebenarnya bukan berangkat dari kaidah sosok kreatif.
Tanggapan jawaban dari Toto Soegriwo itu juga riskan untuk dicap ad hominem. Dia menanggapi diskusi dengan menyerang pribadi netizen, bukan fokus pada substansi perkaranya, yaitu kualitas animasi.
Kaidah seni dan kemunculan Jumbo
Secara pribadi, sejujurnya saya mesti berhati-hati menilai sebuah karya seni. Ya karena saya juga bekerja di bidang seni yang rentan pula dengan kritik dan penilaian netizen.
Saya perlu menyatakan bahwa beberapa penilaian di atas merupakan risalah dari berbagai kegaduhan netizen akan film Merah Putih: One For All. Namun, melihat reaksi produser film yang seolah ngotot tersebut, saya terpancing berkomentar.
Mungkin saya tidak punya kompetensi dalam bidang animasi. Namun, sependek pengetahuan saya, ada kaidah-kaidah dalam seni rupa. Misalnya seperti komposisi, motion, warna, kualitas grafik, pemilihan font, dan detail gerak karakter. Para animator sudah menyepakati kaidah ini dan bahkan secara teknis mereka telah mengaplikasikannya dalam institusi pembelajaran seni.
Saya juga masih berpegang teguh dan berusaha netral bahwa penilaian baik dan buruk keindahan seni itu tak bisa lepas dari asumsi pribadi, keberpihakan, dan wacana yang terbangun di masyarakat.
Tapi sekali lagi sialnya, standar animasi masyarakat Indonesia telah terbentuk belum lama ini melalui film animasi Jumbo. Memang tidak bijak membandingkan karya. Namun, harap dimengerti juga bahwa netizen telah mempunyai ukuran baru dalam menilai animasi karya anak bangsa setelah munculnya film Jumbo.
Lagi pula, kemunculan film animasi Merah Putih: One for All ini juga bertepatan dengan momentum rakyat merayakan kemerdekaan, yang jadi masa krusial untuk menilai kembali nasionalisme rakyat bangsa. Berkaitan dengan hal tersebut, desas-desus juga lalu muncul di komentar netizen. Apakah ada kepentingan politis dari negara dalam mendorong kemunculan film ini?
Meskipun sampai hari ini masih juga dipertanyakan apakah para produser Merah Putih: One For All ini netral dari kepentingan pemerintah. Keterlibatan negara dalam film ini sifatnya masih dugaan dan bahkan tuduhan. Apabila tulisan ini dianggap menjadi fitnah dan kelak tidak terbukti adanya kepentingan politik di baliknya, maka saya minta maaf sejak sekarang.
Bola liar
Namun, penilaian netizen telah menjadi bola liar yang sangat sukar dibendung lagi. Sepenangkapan saya, netizen makin tersulut emosinya karena menyangka bahwa Merah Putih: One For All ini termasuk “proyek negara” yang asal dieksekusi seperti proyek-proyek lain yang cringe dan dipaksakan. Tapi, sekali lagi hal ini masih bersifat prasangka.
Berkaitan dengan ideologi nasionalisme yang biasanya berkobar di bulan Agustus, ada yang bilang bahwa film ini tetaplah karya anak bangsa dan harus didukung terlepad dari hasilnya.
Kosik, sebentar. Jangan terjebak dengan nasionalisme sempit seperti itu. Tidak semua karya anak bangsa harus didukung dengan gelap mata. Kalau memang tidak baik, ya harus dikritik dan dievaluasi.
Nasionalisme bukan serta merta mendukung dan memaklumi apa saja yang dihasilkan anak bangsa. Misalnya, jika sepak bolanya jelek, ya jangan dibilang sudah bagus. Pemerintah yang korup juga jangan dimaklumi. Mosok nanti kalau ada pejabat yang gagal bekerja dengan baik, lalu kita tetap harus mengapresiasinya karena dia anak bangsa. Kan nggak begitu juga.
Apakah ini teknik marketing Merah Putih: One For All?
Kembali lagi ke justifikasi netizen terhadap film ini. Bahwa nyinyiran ini belum adil karena kita baru menyaksikan trailernya. Masih ada peluang untuk membuktikan kebalikan dari penilaian negatif kita terhadap trailernya. Mungkin juga kan trailernya jelek tapi film Merah Putih: One For All itu ternyata bagus?
Atau bisa jadi komentar-komentar netizen ini hanyalah bagian dari strategi marketing film ini? Sebagaimana kita tahu, bad marketing is good marketing. Dan kita semua ini tanpa sadar terjebak menjadi agen promosi gratisan film ini.
Silakan nanti dibuktikan saja kualitas utuh film Merah Putih: One For All ini. Kalau Anda selo dan rela menyisihkan uang untuk membeli tiket bioskop, yang konon rilis tanggal 14 Agustus.
Penulis: Paksi Raras Alit
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jumbo, Sebaik-baiknya Film Animasi Anak Indonesia yang Pernah Saya Tonton dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












