[MOJOK.CO] “Habis nostalgia gini, tiba-tiba keinget, Si Doel Anak Sekolahan itu satu-satunya film soal angkot yang paling sukses di Indoensia dan penumpang angkot satu-satunya golongan kiri yang nggak pernah diciduk ya.”
Sewaktu masih kuliah, saya mengandalkan angkot sebagai alat transportasi pergi pulang ke kampus. Jaman itu mah belum ada yang kepikiran soal ojek online atau filter anjing di IG (duh, jadi ketahuan umurnya). Gara-gara tiap hari ngangkot, saya jadi begitu akrab dengan angkutan umum itu.
Di satu sisi saya benci dengan keakraban ini, tapi di sisi lain saya sangat membutuhkannya karena tidak punya kendaraan pribadi. Selain tidak punya, tidak bisa mengendarainya juga sih. Lemah!
Akibat keakraban inilah, banyak hal menakjubkan seputar naik angkot yang kadung melekat dalam ingatan saya. Bagi Anda yang mungkin sudah tahu rasanya naik kendaraan ini dan punya ingatan yang sama, ya pura-pura lupa sajalah, biar Anda tetap membaca tulisan ini. Bagi Anda yang belum pernah naik, ini bisa jadi gambaran jika Anda ingin menjajal ngangkot di Bandung yang katanya smart city ini.
Agar mata Anda tidak letih membacanya, saya bagikan setidaknya empat biji saja.
Pertama, diturunkan sebelum sampai tujuan
“Turun di mana, Neng?”
Bagi para penumpang, pertanyaan itu semacam kode teramat keras dari sopir angkot. Pertanyaan itu kemungkinan besar (lebih seringnya begitu) akan segera disusul oleh sebuah pernyataan menyakitkan, “Dugi dieu we nya, Neng,” yang artinya “Sampai sini aja ya, Neng.” Kata sini di sini merujuk pada suatu tempat yang entah di mana, yang pasti bukan tujuan Anda.
Hanyirrr… diturunkan di tengah perjalanan secara sepihak, ceu! Cucok meong!
Jangan tanya bagaimana rasanya. Yang pasti, saya mah biasanya hanya bisa geleng-geleng kepala, sedikit istigfar, kemudian menggerutu, “Terus ayeuna aing balik naek naon, Mang? Awan kinton?” (Ah, tidak perlu diterjemahkan ya, takut dosa).
Masih mending kalau angkot jurusan yang sama itu gampang lewat lagi. Sayangnya, tidak semua angkot seperti itu. Apalagi kalau angkotnya adalah angkot kompleks (trayeknya melewati area kompleks) yang kebanyakan sepi penumpang. Kalau diturunkan sebelum sampai tujuan, susah jadinya.
Begitu pun kalau ketika diturunkan, di saku sudah tidak ada lagi uang. Gawai mati pula, misalnya. Sudah, ngesot saja itu mah sampai rumah.
Apakah semua sopir angkot seperti itu? Tentu saja tidak, Dadang.
Banyak sopir angkot yang baik dan bersahaja. Dan, lebih banyak juga sopir angkot yang selalu menjalankan mobilnya hingga sampai tujuan. Atau, kalaupun sama-sama menurunkan penumpang di tengah jalan, banyak sopir yang akhirnya hanya meminta ongkos setengah dari yang seharusnya. Agar penumpang tidak terlalu dirugikan.
Kedua, durasi ngetem yang kacida lamina
Hal lain yang hampir lekat dalam ingatan saya soal angkot adalah durasi ngetemnya yang subhanallah. Ibarat kata, jika Anda menunggu angkot ngetem sambil menonton Game of Thrones, insyaallah bisa tamat satu season.
Tentu saja sopir angkot melakukannya karena terpaksa, karena kejar setoran.
Tapi, tidak berniatkah pak sopir ngetem lebih lama? Seminggu, misalnya? Sehingga penumpang yang terkumpul mungkin sudah ratusan dan dalam keadaan bulukan. Tidakkah, Pak?
Tapi, lagi-lagi, tidak semua sopir angkot seperti itu, Dadang.
Masih sangat banyak sopir angkot yang tidak hobi ngetem. Kalaupun iya, durasinya kebanyakan masih terbilang wajar. Dan, itu masih sangat bisa dimaklumi. Namanya juga usaha.
Ketiga, “tujuh-lima”
Hal lain lagi yang mengingatkan saya akan angkot adalah “tujuh-lima”-nya. Tujuh lima ini adalah kuota penumpang yang idealnya mengisi setiap jok angkot yang saling berhadapan itu. Tujuh orang di sebelah kanan, dan lima orang di sebelah kiri.
Jika di antara penumpang ada anak kecil, sementara orang yang mau naik angkot cukup banyak, maka pak sopir biasanya akan bertanya, “Itu anaknya mau dihitung satu atau nggak?” Kalau dihitung satu, artinya si anak bisa duduk di jok. Tapi jika tidak, ya tidak boleh duduk. Sebagai jalan tengah, orang dewasa yang membawa anak tersebut biasanya akan mendudukan si anak di pangkuannya.
Bayangkan kalau semua penumpang membawa anak dan tidak dihitung satu. Tujuh lima bisa jadi empat belas-sepuluh. Belum kalau anaknya kembar. Kajeun leumpang!
Untuk memastikan tercapainya kuota tujuh-lima ini, sopir biasanya akan berucap, “Punten digeser duduknya.” Sedihnya, mamang sopir masih sering mengucapkan kalimat serupa bahkan di saat angkot sudah penuh.
Saya yang sering kali duduk di tengah-tengah suka dibuat bingung dengan pernyataan itu. Mau geser ke kiri, eh orang di sebelah tidak mau geser. Mau geser ke kanan, sama juga. Kalau sudah begitu, saya hanya bisa pasrah sambil dalam hati ingin sekali mengajak sang sopir untuk bertukar tempat duduk saja. Biar saya yang nyetir. Biar perjalanan itu jadi wisata religi sekalian (ya, kan, kalau para penumpang sepanjang jalan istighfar menyebut asma Allah, bisa jadi wisata religi juga itu).
Lagi, lagi, dan lagi, tidak semua sopir angkot berlaku demikian. Banyak juga yang walau penumpangnya cuma satu dua, dia jalan saja terus. Atau jika penumpangnya dirasa cukup, ya dia jalan saja juga. Karena seiring jalan, masih akan ada penumpang yang naik mengisi kekosongan.
Keempat, fasilitas jok artis
Dari ketiga hal di atas, bagi saya yang paling mengakar dalam ingatan soal mengangkot adalah perihal fasilitas jok artisnya. Tidak tahu jok artis? Kasihan.
Pokoknya nih ya, duduk di jok ini akan membuat Anda merasakan pengalaman jadi pusat perhatian penumpang—itu jika mereka tidak sibuk melototi layar gawai sih. Di jok ini juga Anda akan bisa merasakan embusan angin yang cukup besar, apalagi jika sopirnya berkendara dengan kecepatan dahsyat. Dengan duduk di jok artis ini pula Andalah yang akan menjadi orang yang paling dekat dengan para pengamen saat angkot berhenti di lampu merah. Syahdu lho rasanya.
Eh tapi, saya rasa Pak Aher dan Kang Emil juga belum tentu tahu sih fasilitas jok artis dalam angkot ini. Sesekali coba dong, Pak! Biar tidak kagetan terhadap tekanan.