Sembari menunggu tahlilan malam ketiga mendiang Abah, di Sumenep, saya iseng membaca kembali buku Diskursus dan Metode Descartes, yang pernah saya baca beberapa kali. Tiba-tiba saya terhenyak, tersedak. Saya teringat sosok Syahrini, Kiwil, dan Saipul Jamil.
Demi Tuhan!
Sungguh saya baru menginsafi betapa mujurnya saya bisa hidup sezaman dengan Syahrini, Kiwil, dan Saipul Jamil. Kemujuran yang sepantasnya dirasakan pula oleh seluruh anak muda Indonesia.
Ini serius. Jika diteliti menggunakan Metode Kesangsian Descartes, mereka bertiga ternyata adalah teladan sempurna cogito ergo sum di era gajet ini. Jika tengkorak Descartes diabadikan di Museum d’Historie Naturelle, Paris, sebagai penghargaan atas jasa-jasanya bagi filsafat Barat, maka saya usul kelak tengkorak Syahrini, Kiwil, dan Saipul Jamil harus diabadikan di Senayan City, Jakarta, agar generasi berikutnya bisa dengan mudah meneladani mereka.
Jika Anda meragukan pemikiran saya di sini, itu tanda bahwa Anda telah menasbihkan diri sebagai Cartesian dengan menyangsikan segala apa. Anda telah memakai akal untuk berpikir, sehingga sebentar lagi Anda akan menjadi ada.Anda sangsi, maka Anda ada.
Mari kita dekati satu per satu marwah ketiga tokoh fenomenal ini.
Kiwil: “Aku Masa Bodo, Maka Aku Ada.”
Tudingan Meggy Wulandari bahwa Kiwil genit dengan wanita lain, bila dikaji dengan Metode Kesangsian Descartes niscaya akan membuat kita memberikan standing applause untuk Kiwil.
Coba pikirkan, Kiwil yang tidak menarik benar, sering belepotan dalam berkata-kata, dan tidak tajir-tajir amat lantaran jobnya kian kendur, santai-santai saja menghadapi ancaman perpisahan dari istri keduanya. Meggy yang molek begitu, di mata jomblo-arus-utama, sangat layak diperjuangkan bahkan dengan darah. Mau ditanyakan keJomblo Tapi Hafal Pancasila sekalipun, niscaya Kiwil akan dibegoin dalam hal ini.
“Lha wong dapat cewek yang memadai dibawa ke tahlilan malam ketiga saja susah sampai setua ini, kok Meggy yang jelas-jelas sangat layak diajak tahlilan hingga malam ketujuh disia-siakan oleh Kiwil,” kira-kira begitu kegeraman kaum jomblo.
Tapi Kiwil kalem saja to, bermasabodo sama Meggy. Lewat sikap kalemnya, sesungguhnya Kiwil sedang menyangsikan kebenaran ilmiah pemberontakan Meggy. Dua tahun lalu pemberontakan Meggy berakhir di pelukannya, sehingga dapat dipastikan bahwa pemberontakan itu ndak benar secara ilmiah.
Cewek-cewek kudu mengerti, betapa Kiwil telah memakrifati berontak-berontaknya wanita secara universal. Maka bila Meggy kini kembali menggugatnya, buat Kiwil itu hanyalah “irisan kecil” dari kebenaran ilmiah yang universal.Aku masa bodoh, maka aku ada.
Soal kelak kok ditinggal beneran sama Meggy, bukankah ada banyak wanita lain yang selalu sedia mengisi “irisan kecil” yang hilang itu, sehingga kebenaran universal itu akan kembali utuh?
Hebat kan, Kiwil?
Saipul Jamil: “Aku Syar’i, Maka Aku Ada”
Saya agak sungkan dengan Saipul Jamil ini karena persoalan keimanan. Kita saksikan sendiri, betapa Saipul kian ke sini kian dalam imannya. Jidatnya kian diteleki noktah hitam yang merupakan anak kandung penjedotan jidat dengan lantai dalam sujud. Ya, sujud yang tidak mencium sajadah tebal tentunya.
Lalu, simak pula betapa sederhananya Saipul dalam setiap berita tipi. Sangat tawadlu dan qana’ah; hanya berkaos daleman putih polos yang mudah dibeli di Indomart oleh kaum sudra macam kita.
Jelas itu harus dipandang sebagai cermin kesederhanaan jiwanya, buah kedalaman imannya, bukan kurangnya duit di rekeningnya.
Terakhir, ini dia bagian yang paling mengharukan hati: kegigihannya mencari istri dengan berteguh pada syariat.Aku syar’i, maka aku ada, kira-kira begitu prinsip Saipul.
Chef Aiko yang hakduh lewat, karena Aiko enggan berhijab dan dipoligami. Lalu Risma yang sudah berhijab, juga tandas akibat Risma menolak dipoligami. Terakhir ada abege Rina yang belum berhijab tapi bersedia dipoligami.
Bayangkan lho, masih pedekate, Saipul menyatakan insya Allah akan berpoligami demi syariat. Sungguh lelaki yang saleh. Sungguh kegigihan yang menggelitik lubang idung.
Tentu, Saipul mengerti bahwa memfatwa istri berhijab jauh lebih mudah dibanding meminta persetujuannya dipoligami. Inilah alasan besar Saipul mendendangkan rayuan merpati yang kebelet gangbang di tipi pada Rina. Tolong ya, dendang Saipul itu jangan dikaitkan dengan kendurnya syariat di hatinya gara-gara gejolak berahi. Itu su-uzhan, dosa Ente. Dendang itu diniatkan oleh Saipul sebagai idkhalu-s-surur (menyenangkan hati orang) yang besar pahalanya. Jadi, itu dendang syar’i, sebab Saipul selalu syar’i.
Maka sejarah pun mencatat bahwa semua wanita yang bikin hati Saipul makter, selalu didekatinya dengan Metode Kesangsian. Atuhlah mau semlohai, bohai, sampai Bombai, bila tidak lulus uji kebenaran ilmiah Saipul ya bye-bye. Dan dengan genuin Saipul meletakkan dua pondasi sebagai isi Metode Kesangsian-nya: mau berhijab dan dipoligami (bila kepepet, yang penting nomor dua dulu).
Syahrini: “Aku Hedon, Maka Aku Ada.”
Syahrini (Rini Fatimah Jaelani), hmmm, siapa pun yang masih lancang mengingkari akutnya hedonisme Syahrini, pastilah ia mengidap dosa besar. Dosa yang mendekati level syirik yang tak terampuni lantaran menampik Realitas.
Syahrini adalah Realitas, ahli waris sempurna Aku hedon, maka aku ada. Kita menyaksikan Syahrini yang super kemilau melalui indera yang kemudian menjelma pondasi nalar; ya mata, ya telinga, ya berita, lalu ya pikiran.
Saat menyambut Beckham dengan jambul khatulistiwa yang cetar membahana, kita melihat Syahrini yang kreatif mengangkat lokalitas kita di panggung dunia. Beckham jadi tahu bahwa di dunia ini ada jambul hakpret bernama khatulistiwa. Kita pun terharu pada Syahrini.
Kala Syahrini mempopulerkan hijab kelet yang serba kuning untuk properti lebaran, kita membaca banyak analisis daring betapa Syahrini telah mendialektikakan eksistensi pisang dan hijab. Kalau bukan orang jenius, mana mungkin otaknya jumawa melakukan kreasi astajim itu. Kita pun kembali terharu pada Syahrini.
Sepulang umrah, Syahrini berjanji akan berhijab seiring dengan imannya yang menebal pasca bergaul sama Paris Hilton. Lalu kita melihat dengan takjub postingan instagramnya di kamar mandi. Hanya dengan sepotong kain berwarna merah, sebelah kaki diangkat, tanpa menatap kamera, beliau begitu mulia dan selonya berfoto. Kita pun ngos-ngosan menahan haru.
Sampai di sini, harus kita akui betapa Syahrini telah mendobrak comfort zone dengan Metode Kesangsian Descartes. Khatulistiwa sebagai tugu zonasi didobraknya menjadi jambul; hijab sebagai tudung aurat didobraknya menjadi pisang; dan janjinya sendiri untuk berhijab didobraknya dengan foto bajindul di kamar mandi tanpa tedeng aling-aling.
Bila Syahrini tidak mendasarkan polahnya pada Metode Kesangsian untuk penemuan kebenaran ilmiahnya, lalu analisis rasional macam apa lagi yang sanggup kita terakan untuk membaca Syahrini?
Berdasar kerangka teori Descartes ini, Sayhrini, Kiwil, dan Saipul Jamil benar-benar sukses membuat saya terharu berkali-kali. Bila Anda tidak ikut terharu, tolong jawab pertanyaan saya ini:
Kurang sangsi apa lagi sih pada mutu kesesuaian ucapan dan tindakan nyata ketiganya?