Di tangan chef manapun, dalam bentuk olah apapun, telo (singkong) selalu memberikan dua kesan: empuk di mulut dan seret di tenggorokan. Begitu pula jihad. Di tangan ustadz manapun, di kasus apa pun, ia senantiasa memberikan dua rasa impresif: lanyah di mulut dan seret di keberangkatan.
Jihad empuk banget untuk diserukan lantaran pahalanya surga (plus 70 bidadari yang selalu perawan), tetapi seret banget untuk ditempuh lantaran urusannya mati.
Jauh-jauh masa sebelum simbahe-simbahe-simbah saya ngunyah telo sembari menyeruput kopi, telo telah ada. Rasanya ya begitu saja: empuk tur seret. Kini, di mall-mall, ya ndak kurang sajian telo dalam ragam olahan dan kemasan. Dari yang gurih begitu seksinya sampai manis begitu genitnya. Impresinya ya tetap sama: empuk tur seret.
Jadi, sampai di sini, percayalah, bahwa seseksi apa pun telo, segenit apa pun penampilannya, rasanya tetaplah sama. Yang tampakmembedakan satu dengan lainnya hanyalah soal “imajinasi kemasan”. Lha telo kok.
Sebab memang demikian sunnatullah-nya, maka layaklah ia diabadikan sebagai “hukum telo”: Empuk tur seret.
Jihad juga demikian. Sudah sejak jauh-jauh abad sebelum Ibnu Taimiyah lahir (661 H), apalagi Muhammad bin Abdul Wahhab (lahir 1.115 H), para imam mazhab yang empat (Imam Hanafi (lahir 80 H), Imam Malik (lahir 93 H), Imam Syafi’i (lahir 150 H), dan Imam Hanbali (lahir 164 H)), bersepakat (ijma’) bahwa hukum jihad adalah fardhu ain. Alias wajib! Mutlak sekali! Dan Anda tahu to, yang namanya fardhu ‘ain itu ndak boleh ditawar, hukumnya selevel sama kewajiban salat. Sekali Anda meninggalkannya, Anda murtad! Anda kafir!
Makanya, sebelum semena-mena nyinyirin Habib Rizieq dan Ustadz Hafidz Ary dkk yang menyerukan jihad ke Tolikara, Papua, ketahui hukumnya dulu dong. Mereka lillahi ta’ala semata menegakkan syariat Islam, demi menjalankan fardhu ‘ain jihad itu. Mereka adalah cerminan muslim kekinian yang kaffah. Sama kaffahnya denga Ustadz Arifin Ilham yang pernah memekikkan: “Kami siap jihad!!!” di layar televisi dulu.
Tapi tentu saja akan beda nasib fardhu ‘ain jihad ini bila jatuh ke tangan kaum liberalis, sepilis, dan Islam Nusantara. Diutak-atiklah ijma’ hukum jihad ini, seperti biasanya, untuk melegitimasi ke-thaghut-an mereka. Anda tahulah, tanpa perlu saya nyinyir agar tak bertasyabuh dengan kebiasaan nyinyir mereka, bahwa mereka hanyalah butiran debu yang tak tahu arah jalan pulang di hadapan para salafus shalih, yang notabene merupakan bagian dari tabi’in (anak para sahabat) dan tabi’it tabi’in (cucu para sahabat).
Saya tak main-main dengan bukti valid fardhu ‘ain jihad ini. Dalam Mazhab Hanafi (lihat Bada’ius Shana’i, jilid VII/97), disebutkan: “Jihad adalah fardhu ‘ain yang diwajibkan kepada setiap muslim yang mampu.”
Dalam Mazhab Maliki (lihat Al-Kafi, jilid I/205), disebutkan: “Jihad adalah fardhu ‘ain bagi siapa saja yang mampu berperang dari kalangan orang-orang yang sudah baligh dan merdeka.”
Dalam Mazhab Syafi’i (lihat Syarah Shahih Muslim, jilid VIII/63), disebutkan: “Jihad bagi mereka adalahfardhu ‘ain.”
Dan dalam Mazhab Hanbali (lihat Al-Fatawa al-Kubra, jilid IV/520), disebutkan: “Jihad wajib hukumnya berdasarkan ijma’.”
Kurang rujukan kitab salafnya?
Baik. Lihat saja keterangan para ulama ini, di antaranya dalam kitab Al-Umm karya Imam Syafi’i (IV/170), Al-Syarhu al-Kabir karya Imam al-Durdair (II/174), Al-Mughni karya Imam al-Qudama (X/389), dan Mughniyul Muhtaj karya Imam al-Syarbini (IV/209).
Kapokmu kapan?
Mau sok rasional gimana juga, Anda takkan sanggup menolak aksioma ini, hukum jihad warisan para salafus shalih ini; ya fardhu ‘ain itu. Ia akan selalu sama kondisinya dengan hukum telo tadi: empuk tur seret. Sampai kiamat!
Jika kini ada di antara Anda yang ingin menyodorkan klasifikasi dar al-amni (negeri aman) dan dar al-harbi (negeri perang) sebagai latar penetapan status hukum jihad itu (waqi’ al-hukmi) menjadi fardhu ‘ain, berarti kini kita harus bicara tentang Indonesia. Lebih spesifiknya Tolikara. Siapa takut? Orang saya dalam posisi menegakkan syariat Islam.
Indonesia adalah sebuah negeri yang secara perspektif apa pun patut sekali dimasukkan ke dalam kelompok dar al-amin. Negeri yang aman. Ukuran dari aman/tidak aman ialah dilaksanakannya hukum negara. Sebutlah KUHP.
Apakah pencuri di sini dipenjara? Iya. Apakah pemerkosa di sini dihukum? Iya. Apakah perusak rumah orang di sini diadili? Iya. Apakah pembakar masjid di sini ditangkap? Iya.
Kini kita bandingkan dengan dar al-harbi (negeri perang/tak aman). Kita ambil Irak saja, dengan ukuran yang sama dengan Indonesia. Apakah menembak orang lain di sana diadili? Tidak. Apakah memperkosa gadis Yazidi di sana dipenjara? Tidak. Apakah merusak rumah orang di sana dipenjara? Tidak.
Kesimpulannya, Indonesia adalah dar al-amni dan Irak adalah dar al-harbi. Berarti…astaghfirullahal ‘adhim… Maaf, izinkan saya sejenak mengecek kitab-kitab lagi.
***
I’m coming!
Maafkan kekeliruan saya. Kata ijma’ para imam mazhab: “Jihad adalah fardhu ‘ain JIKA musuh menyerang negerimu.” Begitu kesimpulan pengecekan saya tadi.
Jadi, fardhu ‘ain jihad HANYA berlaku dalam situasi perang (dar al-harbi). Di dar al-amni macam Indonesia otomatis tidak berlaku. Segala bentuk kekerasan, termasuk kasus Tolikara, harus diserahkan kepada pemerintah sebagai ulil amri. Hukum patuh pada ulil amri tertera mutlak dalam Al-Quran.
Siapapun yang berjihad, atau menyerukan jihad ke Tolikara, mutlak melanggar ayat Al-Quran dan ajaran para imam mazhab salafus shalih, sebab tak terpenuhinya syarat dar al-harbi itu.
Kenapa saya sengaja melewatkan syarat jihad ini dari tadi? Dan anda mungkin akan bilang tidak lucu. Saya tidak sedang melucu, kok. Weekk! Saya hanya sedang ingin nulis dengan alur nggak jelas: sebab hanya orang nggak jelas yang akan berkata jihad itu fardhu ‘ain di dar al-amni.
Sudah dulu ya, saya mau yang-yangan.