MOJOK.CO – Ade Armando perlu tahu kalau argumennya soal waktu sholat di dalam Al-Quran cuma tiga itu, selain ketinggalan zaman, juga cupu.
Sebagai masyarakat yang saleh, kita tidak pernah kehabisan topik untuk diperdebatkan, demi menjaga kemurnian iman. Kita seperti punya tema rutin untuk diributkan setiap bulan.
Baru beberapa pekan kemarin, kita meributkan soal maulud Nabi, besok kita akan memperdebatkan ucapan selamat Natal sembari bersiap-siap untuk pertengkaran tentang hukum meniup terompet di tahun baru.
Bulan berikutnya ada tema tentang valentine, dan selalu ada tema lain di bulan-bulan berikutnya. Di luar tema-itu itu, masih tak terhitung lagi bahan yang bisa dicatat dalam agenda debat tahunan.
Banyak dari perdebatan itu sudah mulai membosankan. Sebab hanya mengulang-ulang diskusi lama. Argumen-argumen yang diajukan juga tidak bergeser dari yang sudah-sudah. Beberapa lainnya terasa menantang karena setidaknya ia mencoba mengutak-atik soal yang sudah dianggap baku.
Salah satu tema jenis terakhir adalah tentang sholat. Barangkali karena ritus ibadah ini termasuk perkara vital dalam beragama.
Karena itu, ketika Ade Armando—dalam bantahannya dengan pendapat Syamsi Ali—menyinggung perihal waktu untuk sholat dalam Al-Quran, perdebatan segera memanas. Ade Armando dituduh lancang karena bicara di luar kapasitasnya, murtad, dan lainnya.
Ade Armando menyebut waktu sholat dalam Al-Quran hanya tiga, bukan lima sebagaimana diyakini mayoritas umat. Secara pemahaman yang sempit, Ade Armando tentu saja tidak keliru.
Sejak ratusan tahun yang lalu para ulama juga sepakat bahwa Al-Quran memang tidak menyebutkan secara gamblang tentang waktu-waktu sholat, termasuk tentang bilangan rakaat, urutan gerakan mulai awal hingga akhir hingga bacaan di dalamnya.
Namun, berpijak pada sumber-sumber lain seperti hadis-hadis Nabi, penjelasan para sahabat dan dengan mekanisme penggalian hukum tertentu, para ulama kemudian merumuskan aturan tentang sholat; tentang waktu-waktunya yang lima, jumlah rakaatnya, gerakan-gerakannya hingga bacaannya.
Beberapa pandangan lain mungkin ada, tapi tidak populer atau hanya menjadi wacana pinggiran. Nah, wacana pinggiran inilah yang sekarang mulai banyak didorong ke tengah oleh sejumlah kelompok.
Apa yang dilakukan oleh Ade Armando adalah bentuk dari dorongan itu. Hanya saja, dibandingkan dengan wacana yang dilontarkan oleh beberapa pemikir pancingan Ade sebenarnya masih terlalu kalem.
Dorongan lebih frontal dapat kita lihat, misalnya, dari kelompok yang menyebut diri sebagai Quranist, yaitu orang-orang yang hanya mengakui Al-Quran sebagai satu-satunya sumber hukum Islam dan menolak sumber-sumber lainnya.
Banyak gugatan yang mereka lontarkan terhadap ortodoksi, termasuk tentang sholat. Tidak hanya tentang waktu sholat, tapi juga aturan-aturan lainnya seperti jumlah rakaat, gerakan-gerakan dalam sholat, atau bacaan.
Edip Yuksel, salah satu wakil kelompok ini, misalnya, menjelaskan bahwa kewajiban sholat dalam Al-Quran ada di tiga waktu, yaitu: sholat Fajr, Isya, dan Wusta. Tidak ada kewajiban sholat di waktu lainnya. Tidak juga ada jenis-jenis sholat lain sebagaimana dipraktikkan oleh mayoritas umat Islam, seperti sholat Nawafil (yang sunah) yang banyak ragamnya itu.
Yuksel juga menyatakan tidak ada rincian dalam Al-Quran tentang jumlah rakaat untuk tiap sholat atau aturan-aturan tentang perlunya sholat jamaah (kecuali sholat Jumat), menqadha sholat, menjamak atau menqasar. Dan semua rincian itu memang tidak diperlukan.
Absennya ketentuan tentang jumlah rakaat sholat dalam Al-Quran, mengindikasikan bahwa perkara tersebut sepenuhnya diserahkan kepada orang yang melakukan. Tidak perlu ada format yang seragam.
Dalam situasi darurat, seperti ketika dalam perang atau bahaya, orang bisa melakukan hanya satu kali sujud. Namun dalam keadaan normal, seseorang bisa melakukan minimal dua rakaat.
Selain itu, menurut Yuksel, dalam sholat kita juga tidak perlu membaca surat lain setelah al-Fatihah. Begitu juga doa-doa lain dalam tiap gerakan.
Apalagi bacaan Tahiyat yang isinya pujian kepada manusia, yaitu Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim. Semua praktik itu merupakan inovasi yang direkayasa oleh sekte-sekte, begitu pendapatnya.
Lebih ngeri seru, kan?
Kalau Ade Armando mau sedikit lebih menantang adrenalin lagi, blio bisa saja mengikuti pandangan-pandangan Muhammad Salman Ghanim. Seseorang yang juga punya pandangan berbeda tentang kewajiban sholat. Menurutnya kewajiban sholat yang disebutkan dalam Al-Quran hanya ada dua waktu, yakni Asar dan Subuh.
Beberapa sholat yang lain bukanlah kewajiban. Ia boleh dilakukan sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tidak melakukan juga tidak masalah. Menurut Salman, dalam banyak hadis Nabi juga banyak penjelasan tentang dua waktu itu saja.
Menurutnya, pada masa-masa Islam awal, pandangan tentang waktu sholat yang dua ini juga sudah berkembang dan diyakini oleh kelompok Khawarij. Namun pandangan ini tenggelam dalam khazanah pemikiran umat Islam seiring dengan disingkirkannya kelompok ini dari barisan jamaah umat Islam.
Lagi pula, menurut Salman dalam konteks modern, jumlah sholat yang lima waktu dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan. Jarak waktu yang berdekatan dia sebut tidak efisien dan cenderung mengganggu aktivitas kerja. Padahal kerja merupakan kewajiban sementara sholat, selain dua waktu yang dia sebutkan, bukan merupakan kewajiban agama.
Salman juga mengkritik banyaknya jenis sholat sunah yang berkembang dalam masyarakat yang tidak memiliki rujukan dalam Al-Quran. Beberapa jenis sholat itu ada yang merupakan warisan dari ajaran kaum pagan, seperti sholat Istisqa, dan ada juga yang hanya merupakan tradisi, seperti sholat Tarawih.
Akibat dari banyaknya jenis sholat menjadikan aktivitas ini, dalam pandangan Salman, banyak dipenuhi oleh hipokrasi. Hal yang kemudian membuat banyak jenis sholat dianggap Salman sebagai gerakan yang tanpa makna.
Salman juga punya pandangan menarik tentang batasan waktu sholat, yang mungkin cocok untuk yang gemar begadang atau bangun kesiangan seperti saya. Menurut Salman batas waktu Subuh adalah sampai waktu Duha.
Dengan begitu diharapkan umat Islam punya waktu yang cukup untuk tidur dan bisa bangun dalam keadaan segar dan siap menyambut dunia dengan gembira.
Tentu saja kita boleh tidak sepakat. Tapi diskursus semacam di atas saya kira akan makin berkembang di waktu-waktu mendatang, seiring dengan makin mudahnya akses terhadap sumber-sumber pengetahuan. Polemik demikian mungkin dapat menjadi produktif jika dilakukan secara sehat, bukan dengan gimik-gimik bermuatan politis ala Ade Armando.
Tentu saja syaratnya debat sehat ini juga harus dilakukan secara ilmiah. Dengan mengkaji referensi dan metode masing-masing. Para ulama dan imam kita dulu mempraktikkan diskusi semacam ini.
Imam Syafi’i, misalnya, ketika berdebat dengan al-Syaibani, kabarnya menulis ulang dan mempelajari terlebih dahulu semua karya al-Syaibani yang jumlahnya hampir tidak kuat diangkut oleh satu unta. Dengan begitu Imam Syafi’i mengetahui secara mendalam pengetahuan lawan debatnya.
Bukan cuma bermodal satu link kemudian merasa sudah menguasai semua pengetahuan agama. Lantas melontarkan argumen-argumen dan pernyataan kontroversial semata-mata supaya bisa viral.
BACA JUGA Dari Popeye sampai Ade-Armando dan tulisan Muhammad Zaid Sudi lainnya.