MOJOK.CO – Sejak bom “Pengabdi Setan”, cara-cara keagamaan tak lagi berhasil untuk mengusir setan. Kini, setannya bahkan ikut zikir dan salat. Hiiiy.
Saya bukan orang yang sering menonton film horor. Selain karena saya memang tipikal orang yang penakut, saya juga merasa bahwa kegiatan nonton film adalah kegiatan yang seyogianya memunculkan rasa bahagia, bukannya rasa takut.
Saya ingat betul, film horor pertama yang saya tonton di bioskop adalah film “Kuntilanak”. Sebuah film horor yang kala itu cukup membuat saya punya perspektif baru soal kuntilanak. Sungguh, saya baru tahu kalau ternyata ada teori kuntilanak berkaki kuda.
Setelah film “Kuntilanak” tersebut, hampir tak ada film horor lain yang kemudian saya tonton di bioskop. Kalaupun iya, saya nontonnya di YouTube. Itu pun biasanya tak sampai selesai dan lebih banyak saya skip kecuali pada adegan-adegan yang membuat jiwa kelelakian saya bangkit.
Kalaupun kemudian saya sempat beberapa kali nonton film horor (utamanya film horor Indonesia), itu lebih karena saya penasaran dengan kehadiran aktris-aktris panas dengan ukuran payudara sporadis yang memang beberapa tahun belakangan banyak bermain di film-film horor yang dibalut dengan nuansa sensual. Sebuah genre film yang oleh banyak orang disebut sebagai horor tetek (Koya Pagayo, bedebah kau).
Ibarat majalah, horor tetek ini serupa majalah Liberty, majalah yang isinya dunia mistis, tapi juga bercampur dengan dunia erotis. Majalah yang kolom iklannya adalah percampuran antara penjual dildo dan obat kuat dengan padepokan gaib dan pesugihan. Pokoknya sesuatu yang menawarkan sensasi merinding dan menggelinjang dalam waktu yang bersamaan.
Namun, beberapa waktu terakhir ini, kebiasaan saya yang tak mau menonton film horor mulai terkikis. Alasannya mungkin sama dengan alasan yang banyak dipakai oleh orang-orang: efek film “Pengabdi Setan”.
Ya, saya akui, saya sangat penasaran dengan “Pengabdi Setan”. Maklum, film horor remake garapan Joko Anwar ini disebut-sebut membawa kebaruan dalam film horor. Ia mendobrak tren horor tetek dan benar-benar membawa semangat horor murni kembali kepada khitahnya.
Rasa penasaran saya terbayar lunas. Film “Pengabdi Setan” memang memberikan pengalaman horor yang begitu dalam. Sepanjang film berlangsung, saya dan Arman Dhani (iya, saya nonton “Pengabdi Setan” sama makhluk gembul ini, bukan sama pacar saya) berkali-kali merasakan ketakutan yang benar-benar paripurna. Dhani bahkan sampai mengumpat setelah film selesai, “Joko Anwar ki cen asu og,” katanya.
Saking seramnya, Dhani bahkan sampai tak berani tidur sendiri di kantor.
Entah ada hubungannya atau tidak, yang jelas film “Pengabdi Setan” benar-benar menjadi titik balik film horor Indonesia. Para produser lalu berlomba-lomba membuat film-film horor yang murni horor, bukan lagi horor tetek.
Hal ini tentu saja memunculkan optimisme yang bagus soal film horor. Sebab, film horor kembali kepada jalurnya: yang besar harusnya rasa takutnya, bukan ukuran teteknya.
Walaupun begitu, ada satu yang cukup membuat saya agak ngeri dengan fenomena film-film horor murni ini, yaitu semakin berkurangnya kesaktian entitas agama.
Konsep “lawan terbaik setan adalah agama” benar-benar semakin hilang dan tak tersisa.
Di film “Pengabdi Setan”, misalnya, ada adegan ketika setannya menunggu sosok Rini yang sedang salat dan kemudian menampakkan diri tepat di depan Rini saat ia masih memakai mukena. Selain itu, ustaz di film tersebut tidak tampil sebagai sosok yang superior. Ia mati dibunuh sama setannya.
Ini tentu saja sangat mengerikan. Padahal selama ini, hampir di semua film-film horor kita, sosok ustaz (atau pak kiai) selalu hadir sebagai pengusir setan. Pokoknya kalau pak ustaz atau pak kiai sudah baca Ayat Kursi, beres urusan.
Logikanya, kalau pak ustaznya saja mati dibunuh setan, apalagi yang bisa diharapkan dari orang yang tidak punya kapasitas soal agama?
Fenomena mengerikan ini benar-benar berlanjut.
Di film “Sajen”, setannya tak kalah kurang ajar dibandingkan setan di film “Pengabdi Setan”. Kalau biasanya setan akan panas saat dibacakan Ayat Kursi, setan di film “Sajen” ini sebaliknya, ia malah semakin beringas dan berani. Ayat Kursi tak mempan untuk menjadi senjata melawan setan.
Yang cukup baru, ada film “Danur 2”. Di film ini, setannya keparat betul. Lha gimana nggak keparat, saat ada tokoh yang sedang berzikir tahlil, setannya bisa-bisanya ikut menggangguk-anggukkan kepala sesuai bacaan tahlil.
Yang paling bajingan tentu saja film “Makmum” yang dibikin oleh Riza Pahlevi. Dalam film tersebut, setannya nggak tanggung-tanggung, ia ikut salat menjadi makmum.
Aneka fenomena ketidaktakutan setan pada entitas dan simbolisasi beragama Ini boleh jadi adalah efek dari fenomena masa kini, ketika agama semakin tidak dianggap tinggi. Agama menjadi semakin profan. Semakin ora kajen.
Orang-orang banyak yang menggunakan agama sebagai kedok kepalsuan, menggunakannya sebagai senjata politik, menggunakannya sebagai bisnis, dan yang paling bangsat, menggunakannya sebagai pemecah belah masyarakat.
Agama semakin pop, tetapi bukan pada posisi yang tinggi.
Maka, tak aneh jika kemudian, dalam film horor, agama bukan lagi menjadi sesuatu yang punya posisi paling paripurna. Ia tak lagi menjadi simbol perlawanan keburukan yang disimbolkan dengan setan.
Lha gimana, kadang manusia sekarang ini jauh lebih jahat dan lebih nggentho ketimbang setan itu sendiri je.
Entah kenapa, saya semakin yakin, di tahun 2019 nanti, setan benar-benar tidak lagi takut sama agama. Ia akan lebih takut sama politik. Karena itu jangan heran kalau besok, yang bisa mengobati orang kesurupan bukan lagi ustaz atau kiai, melainkan politisi, aparat, dan anggota organisasi kemasyarakatan.