Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Syekh Astagfirullah vs Abu Amar, Agama Melawan Ilmu Pengetahuan

Hairus Salim oleh Hairus Salim
21 Mei 2018
A A
azab bencana

azab bencana

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Dalam novel Amin Maalouf berjudul Leo The African yang berlatar waktu abad ke-16, potret pertentangan agama melawan ilmu pengetahuan tampaknya masih persis dengan yang kita hadapi saat ini.

Dari sejumah novel Amin Maalouf (1949), jurnalis dan pengarang Prancis kelahiran Lebanon, yang saya sukai selain Rock of Tanios adalah Leo The African. Leo the African merupakan fiksi historis dari perjalanan hidup seorang diplomat, geograf, dan pengelana terkenal abad ke-16, Hasan bin Muhammad al-Wazzan al-Fasi alias Giovanni Leone alias Joanes Leo de Medice dalam gemuruh pertukaran sosial politik keagamaan pada abad pertengahan. Ia masyhur melalui karya The Description of Africa.

Ketika Granada terkepung dan kemudian diambil alih oleh pasukan Kristen, untuk menghindari inkuisisi Hasan yang saat itu berusia tiga tahun dibawa keluarganya mengungsi ke Kota Fez, Maroko. Harapan keluarga dan komunitasnya untuk bisa kembali ke Granada tidak pernah terwujud.

Hasan tumbuh menjadi seorang petualang. Dari Granada ke Fez, ia lanjut ke Kairo dan Roma dengan status bermacam-macam: sebagai pedagang, budak, tawanan musuh, penerjemah, juga diplomat. Tentu saja ia terus mengenang dan merindukan Granada. Ia berkonversi ke Kristen, tapi kemudian diyakini balik lagi ke Islam. Ia mengenal banyak tempat dan cakap banyak bahasa. Kulitnya tidak putih juga tidak hitam. Hidup berpindah-pindah dengan identitas yang berubah-ubah membuatnya merasa tidak memiliki identitas. Mungkin dialah makhluk hybrid pertama di dunia.

Tapi sebentar, bukan tema besar ini yang ingin saya bagikan. Itu terlalu berat. Saya ingin cerita yang lain dari novel ini.

Salah satu tokoh yang menempel lekat dalam ingatan dari novel ini adalah Syekh Astagfirullah. Ya, julukannya Syekh Astagfirullah. Ia imam dan pengkhotbah di masjid besar Granada. Tak banyak yang tahu nama aslinya. Konon ibunya sendiri yang menamainya Astagfirullah karena sedari kecil ia selalu melafalkan kalimat itu setiap kali menyaksikan benda atau kejadian yang tidak patut.

Sedemikian seringnya ia mengucapkan kata itu, sampai-sampai menjelang salat Jumat para anak muda membuat taruhan berapa kali Syekh akan mengucapkan kata itu dalam khotbahnya. Angka yang muncul berkisar antara 15 dan 75 kali dan sepanjang khotbah mereka akan menghitung dengan saksama sembari saling melempar senyum nakal.

“Tidakkah mereka yang datang ke kedai-kedai itu sudah diajari sejak kecil bahwa Tuhan mengutuk semua orang yang menjual anggur dan semua orang yang membelinya? Tidakkah mereka telah diajari bahwa Dia mengutuk orang yang minum dan yang menyuguhkan minuman itu? Mereka tahu! Tapi, mereka lupa sehingga mereka lebih memilih minuman yang bisa membuat orang membabi buta seperti hewan daripada firman Tuhan yang bisa membawanya ke surga. Salah satu kedai itu adalah milik wanita Yahudi, tapi tiga yang lainnya—astagfirullah—dibuka oleh orang-orang muslim. Dan pengunjungnya bukan cuma orang Yahudi atau Yahudi, itu aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Beberapa dari pengunjung itu mungkin ada di tengah-tengah kita pada hari Jumat ini…. Astagfirullah.”

Demikian misal salah satu khotbahnya seperti diceritakan Muhammad Al-Wazzan kepada Hasan, anaknya, suatu kali di pengungsian, 10 tahun setelah Granada jatuh. Ketika itu, Syekh Astagfirulllah sudah meninggal, tapi orang-orang masih sering mengenangnya.

Singkatnya, ia akan dan selalu mengucapkan astagfirullah ‘semoga Tuhan mengampuni aku’ ketika melihat perempuan-perempuan tidak berkerudung kelayapan di tengah jalan, orang-orang minum anggur di kedai dan meninggalkan salat, dan ketika mendengar berita pembunuhan. Syekh Astagfirullah adalah polisi moral bagi setiap penyakit masyarakat yang melanda kehidupan muslim Granada saat itu. Para pengikutnya berkeliaran di jalan dengan membawa tongkat untuk menghukum orang yang melakukan kemaksiatan dan merazia buku-buku yang dipandang tidak sesuai dengan ajaran agama serta kemudian membakarnya di depan masjid besar.

Yang menarik, Syekh Astagfirullah adalah anak seorang Kristen yang masuk Islam. Tidak diragukan lagi, hal inilah yang diyakini membuatnya jauh lebih berapi-api dalam beragama. Gaya beragamanya tentu lebih lugas dan sederhana. Ia sama sekali tidak suka ide-ide baru. Baginya, ide-ide baru adalah dosa besar. Ia tidak pernah percaya bahwa kekalahan Islam di Granada karena tidak memiliki meriam. Baginya, kekalahan itu merupakan laknat Tuhan karena ajaran Islam diabaikan dan karena tidak ada prajurit pembela iman yang tangguh.

Inilah yang membedakannya dengan tokoh lain yang menjadi lawannya, Abu Amar, ayahnya si Amar, yang dijuluki Syekh Astagfirullah dan kawan-kawannya sebagai Abu Khmar (ayah si khamar). Sementara Syekh Astagfirullah sosok populis, Abu Amar orang yang elitis. Abu Amar adalah anak seorang kadi (hakim). Ia belajar agama sejak kecil dan menggemari buku-buku dan gagasan-gagasan baru. Ia flamboyan dan berpikiran merdeka. Ketika Granada menjelang jatuh, dua figur ini saling bersaing, dan masing-masing memiliki pendukung. “… Yang Mahatinggi tampaknya telah membuat lelucon dengan menciptakan makhluk yang bertolak belakang satu sama lain.”

Granada jatuh dan 10 tahun sesudahnya di pengungsian, dengan harapan yang masih menyala bisa kembali ke Granada, ayah Hasan, seperti banyak kaum muslim saat itu, tidak pernah bisa menentukan siapa yang benar antara Syekh Astagfirullah dan Abu Amar.

Di satu sisi, mereka menganggap “Syekh Astagfirullah selama ini benar belaka dan bahwa Tuhan telah berbicara lewat mulutnya.” Mereka mengenang Syekh Astagfirullah dengan hormat dan takzim. Di sisi lain, mereka juga menyesalkan mengapa dulu tidak bisa membuat meriam sendiri dan menggunakannya untuk pertahanan diri.

Iklan

Amin Maalouf memberi porsi satu bab untuk tokoh Syekh Astagfirullah dan Abu Amar pesaingnya ini. Amin yang banyak menulis novel sejarah dengan latar belakang Islam ini tampaknya hafal tabiat sosiologis masyarakat muslim dari zaman ke zaman. Karakter keduanya komikal dan karikatural. Saling nyinyir mereka pun tipikal. Kehadiran, pandangan, dan kemudian perdebatan dan pertengkaran antara keduanya membingkai cerita tentang suatu krisis keagamaan di masa akhir Granada Islam. Keseimbangan dan keselarasan roboh. Spiritualitas dan intelektualitas berada dalam tegangan yang tinggi dan saling meniadakan.

Rasanya, kini wajah Syekh Astagfirullah dan Abu Amar masih menghiasi langit-langit kehidupan keagamaan kita. Atau bisa jadi situasinya jauh lebih mencemaskan lagi. Entahlah.

Baca edisi sebelumnya: Tuhan Tahu, tapi Ia Menunggu dan tulisan di kolom Iqra lainnya.

Terakhir diperbarui pada 21 Mei 2018 oleh

Tags: #iqraagama melawan ilmu pengetahuanamin maaloufleo the africannovelresensi
Hairus Salim

Hairus Salim

Research Consultant, Writer, Trainer at Yayasan LKiS

Artikel Terkait

Kiat Menemukan Alasan untuk Tetap Hidup dalam Seporsi Mie Ayam ala Brian Khrisna
Video

Kiat Menemukan Alasan untuk Tetap Hidup dalam Seporsi Mie Ayam ala Brian Khrisna

4 Maret 2025
Uneg-uneg dari Penulis Novel “Bismillah Kunikahi Suamimu” tentang Tensi 143/165  MOJOK.CO
Kilas

Uneg-uneg dari Penulis Novel “Bismillah Kunikahi Suamimu” tentang Tensi 143/165 

2 September 2023
Cerita Mahasiswa Surabaya yang Rela Lapar Demi Beli Buku. MOJOK.CO
Liputan

Cerita Mahasiswa Surabaya yang Rela Lapar Demi Beli Buku

6 Juli 2023
Novel Fredy S yang lolos sensor ormas dan institusi negara.
Geliat Warga

Anak-anak Muda yang Membincangkan Fredy S, Mengapa Novelnya Nggak Disensor Ormas? 

20 Januari 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.