MOJOK.CO – Owner gurita bisnis Kafe Basabasi ini berbagi kiat jadi kaya raya secara gratisan. Kiat yang udah blio jabanin semua. Hambok yaqin.
Pengin kaya raya?
Pengin lah. Bahkan Mprop Picoez pun, yang telah lawasan banget begitu, pengin banget kendati tak kunjung tinakdir. Lalu—karena tak juga kaya raya—blio pun memilih jadi malaikat, tapi nanggung, sebab masih doyan kopi dan kelon ala manusia. Serupa pula dengan Mbahnyutz, dalam versi memilih jadi kura-kura.
Apakah menjadi kaya raya itu sulit, sehingga populasi kaum randhedet selalu lebih dominan dibanding para tajir? Jawabannya: tidak.
Dengan catatan, kamu tahu kiat-kiat kaya raya dan mengamalkannya. Tahu saja tapi enggan melakukannya, ya gombal: tak lebih dari monyet yang pengin buah mangga tapi enggan memanjat pohon mangga yang berbuah ranum di hadapannya.
Kini, sepekan sebelum ultah Mojok, tanggal 28 Agustus besok (semoga selalu jaya di darat, laut, dan udara), dengan jiwa kedermawan dan kepedulian saya kepada tradisi panjang hidup syusyah kalian, agar seminimnya kalian tidak lagi mengutuk harga kopi premium di kafe dengan penuh penyesalan seminggu penuh, akan saya bocorkan kiat-kiat kaya itu.
Tetapi, seperti yang selalu terjadi, setidaknya di lingkaran dekat saya sendiri selama ini, kebanyakan kalian dijamin akan enggan mengamalkannya. Yakin! Walau pengin kiat kaya raya banget. Walau pengin banget kaya raya. Maklum, gen krokot!
Pertama, jangan berbuat zalim. Ya, dalam segala pengertiannya, lingkupnya, dan wujudnya, dalam urusan dengan Tuhan maupun sesama. Pokoknya jangan!
Jika kamu berbuat zalim, bukan hanya orang-orang yang terkait dengan urusanmulah yang akan marah, jengkel, lalu mencekalmu, tapi juga semesta dan Tuhan.
Orang-orang arif menyebutnya “mestakung”, semesta mendukung. Ya termasuk mendukungmu untuk semakin terjungkal dalam kesulitan hidup akibat perilaku zalimmu.
Lebih-lebih Tuhan….
Cek sendiri Al-Qashash 59, Hud 117, dan banyak lagi. Mlz nulisnya. Maaf. Ngaji sendiri gih. Malas? Wes biasaaa, krokot….
Mengapa sih kok melibatkan Tuhan segala? Bukankah lebih rasional dan yahmene-banget menggunakan “no gain without pain; life is in your hand; time is money” dst. saja?
Sekarang kamu coba jalan malam sepanjang Jalan Solo, dari bangjo Janti sampai batas kota saja. Lalu hitung, perhatikan, para pedagang penyetan, pecel lele, sate, dan sekaumnya. Ada berapa banyak?
Dari sekian banyak itu, ada berapa tenda yang ramai? Apakah yang tidak ramai akibat kurang giat, kurang kerja kerasnya, perlu kamu ajari fatwa life is in your hand (yang tak juga bikin kamu sendiri kaya raya) dibanding yang ramai?
Hati-hati jawabnya, rawan menyinggung para pedagang yang kurang ramai lho.
Manusiawilah memang kalau kita sekali-kali kres sama orang, ribut sama orang. Jadi bikin kita kelihatan zalim di mata orang, bikin kurang akur. Tapi mbokya jangan sampai bikin kres sama Tuhan. Jangan. Ngeri.
Kedua, banyakin istigfar.
Mulai sekarang ubah mindset beristigfar dari fitur memohon ampunan atas dosa dan salah menjadi amalan bermanja-manja kepada-Nya. Istigfar dalam pemahaman awal adalah transaksional (walau ya tidak salah pula) dan penuh ketakutan; pada pemahaman kedua adalah welas-asih nan kasih-sayang. Lihatlah surat Nuh 10-12.
Ketiga, jangan ngelamaki Kanjeng Nabi Saw.
Sekritis rasional apa pun hobimu, weslah, kepada seluruh dawuh Kanjeng Nabi Saw jangan pernah nyimpan batin/pikiran merasa lebih baik, lebih benar, lebih progresif, lebih kontekstual. Hatimu kudu hop: inggih, sami’na wa atha’na. Ayat-ayat beginian amatlah banyak betul. Di antaranya Al-Mujadilah 5, 20, lalu Al-Hujurat 1-5 dan Al-Ahzab 57.
Ada ayat yang bunyinya begini (Nur, 63): “….dan hendaklah waspada orang-orang yang menyelisihi (ngelamaki) urusan Kanjeng Nabi Saw bakal ditimpakan kepada mereka kekacauan atau azab yang pedih.”
Coba cek, jika selama ini hidupmu ruwet, bruwet, judeg wae, jangan-jangan ya akibat kelancanganmu ke Kanjeng Nabi Saw. Coba aja cek hatimu. Cek lagi.
Keempat, banyakin shalawatan. Selain perkara batiniah tunduk ta’dhim tadi, ejawantah lainnya di hadapan Kanjeng Nabi Saw adalah shalawatan. Shalawat apa saja, sebisamu, tidak kudu shalawat Ibrahimiyah. Kayak cah tipis ilmu wae.
Shalawatan sebagai ekspresi cinta kepada Kanjeng Nabi Saw dijamin dihadiahi-Nya perlindungan, pertolongan, dan penyelamatan dari segala bentuk mudarat, bencana, kerusakan. Cek surat Al-Anfal 33.
Kelima, banyakin sedekah. Paling kafah perihal sedekah ini, dari konteks syariat hingga hakikatnya, ialah surat Al-Baqarah ayat 261-265—kalau paham sih. Kapan-kapan saya ajari deh, kalau nda malas.
Berhentilah pakai bemper, “sedekah kudu ikhlas; sedekahlah dengan tangan kanan jangan sampai tangan kiri tahu.” Heh, narasi-narasi begituan sungguh tak pantas dipakai orang-orang yang belum punya habit sedekah.
Memaksakan narasi demikian tanpa melihat level diri dengan fair, hasilnya pasti kekikiran belaka. Alias cocot kencana atau lambene ora siku. Tegasnya: bodoh. Gimana nggak bodoh, wong Gusti Allah Swt mau diakali, lho. Mbok ngakali bribikanmu aja, itu lebih masuk akal.
Pun berhentilah pakai bemper “sedekahkanlah apa pun yang kamu punya, sebanyaknya, semuanya”, sebab Allah Swt tidak mengajarkan begitu. Paham begini juga termasuk bodoh.
Weslah, angel, angel, kapan-kapan saja saya ajari detailnya, ya. Sekali lagi, kalau nda malas. Sungguh saya malas untuk mulang-mulang karena ngopi dan jajan larang jauh lebih nikmat….
Keenam, istiqamahlah shalat Dhuha dan ngaji Al-Waqi’ah. Setiap hari.
Masa PPKM ini menjadi ujian serius bagi keistikamahan amal ini. Jelas secara lahiriah para pedagang, pebisnis, mengetahui betapa PPKM membabat habis pengunjung, konsumen.
Kafe, misalnya. Jika kamu lalu berhenti shalat Dhuha dan ngaji Al-Waqiah, karena merasa peluang omset tertutup, berarti kamu termasuk golongan Abdul PPKM, bhaaa….
Kanjeng Nabi Saw yang menuturkan keutamaan amaliah shalat Dhuha dan ngaji Al-Waqi’ah ini bagi dimurahkanNya pintu-pintu rezeki. Tak usah tanya-tanya lagi detailnya, ini sudah di-dawuhi Kanjeng Nabi Saw. Nggih saja, sami’na wa atha’na—ingat kiat ketiga.
Ketujuh, kiat terakhir, ingat dan genggam baik-baik selalu ayat ini (Al-Ankabut 62) di dalam hatimu: “Allah Swt akan melapangkan rezeki kepada siapa pun yang dikehendakiNya dari hamba-hambaNya dan/atau menyempitkannya. Sesungguhnya Allah Swt Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Tegese, kendati kiat kaya raya di sini telah kamu amalkan, bisa saja Allah Swt tak memasukkanmu ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang diluaskan rezekinya. Ya terserah Allah Swt lah. Kok mau ngatur Gusti, lho. Ini dalam kacamata umum.
Dalam kacamata khusus, mau seberapa pun nominal rezeki yang diberikan-Nya, termasuk yang tidak luas, ia tetaplah merasa dirinya kaya raya. Sebab ia selalu haqqul yaqin bahwa Allah Swt lah yang Maha Mengetahui berapa kadar nominal harta yang pas untuknya, terbaik baginya, saat ini, entah nanti-nanti—bahkan sekalipun ilmu manusianya belum dapat memahaminya. Walhasil, ia pun baik-baik saja, biasa-biasa saja, bahagia-bahagia saja.
Jika kamu kini mengernyitkan kening karena, misal, merasa janggal dengan deretan kiat yang di bagian pamungkasnya justru seolah dinegasi semua, cobalah eling kepada prinsip bahwa Allah Swt adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, lalu sempatkanlah menengok An-Naml ayat 4.
Masih gedek-gedek?
Benar kan ucapan saya sejak awal tulisan ini: “Kalian bakal enggan melakukannya….”
Kandyani og!
BACA JUGA