MOJOK.CO – Isu tiga periode jadi wacana kontroversial belakangan ini. Dan berikut klasifikasi tiga jenis manusia yang ada di dalamnya.
Jangan pernah sepelekan judul-judul buku for beginners, for dummies, dan berbagai buku sejenisnya, buku-buku yang pernah laku pada zamannya.
Iya, zaman-zaman di mana industri buku sedang banyak main di permukaan. Menang di judul dan sampul, serta sesederhana mungkin agar mudah dicerna. Kalau sekarang? Entahlah, tanyakan saja ke Kepala Suku Mojok, dia lebih ngerti soal tren buku.
Nah, apakah tulisan ini bermakna sama dengan buku yang tren pada zamannya tersebut? Silakan Anda nilai nanti, tapi sebelum ke sana, mari mengenal manusia-manusia yang terlibat dalam isu “tiga periode” ini. Isu yang sama-sama sederhana dan mudah dicerna.
Isu tiga periode merupakan wacana yang banyak dibicarakan belakangan. Ada yg kelihatannya ngebet membawa presiden ke tiga periode, ada yg berusaha menahan diri supaya kelihatan nggak kepengin, dan ada yang berusaha menolaknya.
Tiga genre besar ini jangan sampai dianggap saling menegasi. Tidak juga, bisa jadi ketiga-tiganya malah jadi satu narasi besar nantinya.
Pertama, yang sangat ngebet tiga periode
Dalam genre ini ada beberapa jenis. Ada yang memang benar-benar cinta mati. Tak peduli berbagai survei internasional soal indeks persepsi korupsi atau pun indeks demokrasi yang makin jeblok di Indonesia.
Jenis ini semacam “malu tak gentar”. Pokoknya, harus maju tiga periode. Namanya juga cinta, tahi kambing pun berasa coklat. Jatuh hati pada jargon, “dia adalah kita.” Padahal “kita” di jargon itu juga terbatas di kalangan tertentu saja.
Ada juga yang sebenarnya nggak perduli, tetapi dia membawa itu demi mencari cara mendapatkan perhatian. Ini yang oleh sang kandidat pelaku tiga periode dikatakan sebagai bagian dari cari muka.
Tipe ini juga adalah jenis pedagang. Ada semacam untung rugi di kepalanya dalam dorongan tiga periode. Berhasil atau tidak pun sebenarnya nggak peduli.
Hal yang paling penting baginya sudah dicatat sebagai anjing setia—walau bisa jadi tidak setia-setia amat. Kesetiaan bukanlah tujuan, tapi hanya menjadi semacam tiket untuk apa yang sebenarnya ia diincar. Jangan lupa, bismillah.
Ada juga yang sebenarnya benar-benar mau menjerumuskan belaka. Mendukung tiga periode adalah cara untuk mengagregasi kebencian pada calon tiga periode. Sasarannya adalah semakin memperburuk citra yang telah buruk tersebut.
Tipe ini adalah tipe musang berbulu domba. Menggunting dalam lipatan. Semakin buruk citranya, maka semakin mungkin yang lain akan dilirik.
Bahkan ada yang separtai dengan pendukung presiden yang sekarang. Pokoknya, mempromosikan tiga periode adalah usaha untuk membuka kesempatan bagi calon yang lain. Lumayan lah.
Ada lagi yang bertipe pencari kesempatan. Khususnya yang merasa mustahil terpilih dalam sebuah ajang pilpres langsung. Sudah kandidat berkali-kali dan selalu spesialis finalis meski finalis antar dua peserta.
Bagaimana cara terpilih? Satu-satunya cara adalah dengan berpasangan dengan sang tiga periode. Aman. Tidak perlu berkeringat banyak, modal sudah besar.
Nah, untuk mengikis kemungkinan tetap jadi finalis lagi meski berpasangan dengan sang tiga periode, bisa jadi hingga mengubah konstitusi, misalnya presiden dipilih di Parlemen. Aman. Kantong tak perlu bocor amat untuk nyuap pemilu berdapil nasional, cukup 575 anggota perwakilan partai dan 136 anggota Perwakilan daerah.
Setidaknya cukong bisa dapat fasilitas “paket hemat”. Tipe ini adalah macam pembalap, lihat celah dikit, rasanya langsung mau memanfaatkan.
Kedua, pihak yang kelihatannya menolak
Ini terlalu kelihatan. Kemungkinan cuma dua, benar-benar menolak atau pura-pura menolak. Silakan Anda menilai apakah benar-benar menolak atau tidak.
Meski begitu, sebenarnya mudah saja membacanya. Andai memang menolak, ia tentunya akan memerintahkan partai pendukungnya mengakhiri polemik. Ia bisa mengatakan untuk mengakhiri sepenuhnya. Sayangnya, itu tidak dilakukan.
Bahkan dalam beberapa hal terlihat bersandiwara. Seperti ketika menolak menandatangai revisi UU lembaga pemberantas korupsi. Walau tak sepenuhnya benar, menarik juga melihat pendapat yang mengatakan jika ia mengatakan sesuatu, cobalah lihat dari sebaliknya, atau coba baca tulisan soal konsisten dalam inkonsistensi.
Ketiga, sepenuhnya menolak
Tentu ada yang menolak karena percaya pada demokrasi presidensial yang harus diikuti pembatasan masa jabatan presiden, serta menghindarkan godaan presiden untuk menjadi otoriter, akibat lama memegang jabatan.
Tapi sungguh, jangan sangka, apakah para penolak ini sepenuhnya demokrat sejati? Apakah para penolak ini sejatinya memang pasti dari golongan yang mengetahui bagaimana George Washingthon mengusung dua periode sebagai bagian dari upaya demokratis? Nggak juga. Belum tentu.
Bisa jadi para penolak ini adalah orang-orang yang merasa kesempatannya ditutup sama sosok tiga periode. Bisa jadi orang merasa harusnya akan segera duduk di singgasana, eh kok malah ada yang pengin jadi tiga periode. Ini bukan soal demokratis, tapi soal takut nggak dapat giliran.
Apakah ketiganya adalah jenis manusia mandiri? Belum tentu, bisa jadi saling berkelindan di antaranya. Bahkan bisa jadi ia sedang mencoba memperbodoh kita semua dengan berbagai ide termasuk perpanjangan masa jabatan oleh karena keadaan darurat covid.
Hebatnya, keadaan darurat ini direspons hanya dengan mengeluarkan perpu khusus soal ekonomi-perbankan, serta kemungkinan khusus amandemen konstitusi masa jabatan. Iya, gerakan untuk memperbodoh kita semua. Mengejar semacam herd stupidity.
Nah terakhir, dari semua jenis ini Anda berada di mana? Jangan malu, ngaku aja.
Lagipula, saya bicarakan ini di negeri antah berantah kok. Bukan Indonesia, bukan.
Lagian, Indonesia itu kan penuh dengan negarawan santun yang nggak saling cakar. Nggak ada geger gedhen hanya untuk jabatan presiden yang fana dan penuh senda gurau.
Para politisi Indonesia juga nggak kasak-kusuk mikirin jabatan padahal covid sedang mengepung. Pejabatnya sibuk memikirkan cara alat dan sistem pertahanan negara sehingga penganggaran yang ribuan triliun itu nggak akal ada kaitannya dengan 2024.
Pokoknya tenang saja, negeri gemah ripah loh jinawi ini dikaruniai para politisi yang hanya memikirkan rakyat. Nggak percaya? Jangan bangun dulu, teruslah bermimpi. Mumpung mimpi masih gratis dan belum ada pajaknya.
BACA JUGA Bukan Prabowo, Ganjar, Apalagi Puan yang Jadi Kuda Hitam Pilpres 2024 dan tulisan Zainal Arifin Mochtar lainnya.