MOJOK.CO – Ada 17 rekomendasi nama yang bisa diusulkan untuk calon ibukota baru Indonesia yang bakal pindah ke Kalimantan Timur.
Sebagaimana banyak hal yang kerap terjadi di Indonesia, rencana pemindahan ibukota yang diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2019 lalu ternyata masih saja menuai pro dan kontra sampai sekarang.
Mulai dari besarnya anggaran pembangunan ibukota baru ini di Kalimantan Timur, proyek yang terus dijalankan di tengah pandemi, sampai dengan banyak pertimbangan mengenai penamaannya.
Rencana pindah ibukota baru Indonesia ke luar dari kota yang sekarang kita sebut Jakarta sebenarnya bukan baru kali ini saja dirancang dan dikerjakan penguasa. Sejak zaman Kolonial pun hal ini telah diupayakan. Dari Batavia ke Bandung. Saat itu rencananya begitu.
Setelah era Kolonial, pada medio 1950-an, Sukarno juga sempat mencetuskan rencana pemindahan ibukota ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Pada era Orde Baru, Pemerintah Indonesia sempat merintis jalan pemindahan ibukota ke Jonggol.
Kembali ke masa sekarang, jika berandai-andai bahwa pemindahan ibukota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara berlangsung lancar-lancar saja, maka saya ingin melanjutkan untuk membayangkan dan menimbang kira-kira nama yang cocok disematkan kepada calon ibukota baru Indonesia ini.
Nah, dalam hal ini, perbolehkan saya untuk menganalisis beberapa usulan nama ibukota baru Indonesia yang sempat beredar di media sosial. Setelahnya, nanti saya akan memberi 17 rekomendasi nama ibukota versi saya sendiri.
Jokograd dan Sankt Jokoburg
Pengusul nama-nama bergaya ala Rusia ini bisa dipastikan tidak serius dengan usulannya. Mereka tidak benar-benar berharap nama-nama ini sungguh dipakai menamai ibukota baru Indonesia. Nama-nama itu cuma tercetuskan edgy untuk meledek Jokowi selaku presiden yang menginisiasi rencana pemindahan ibukota negara.
Taruhan deh—tapi Rp5.000 saja—kalau Pemerintah Indonesia sampai memungut entah Jokograd atau Sankt Jokoburg, bakal banyak orang yang menolak dengan keras plus melabeli penamaan itu bukti “penyusupan ideologi komunisme” atau semacamnya.
Saya sendiri juga tak suka dengan penamaan kota yang terlalu berbau kultus invididu semacam ini. Menurut saya, itu salah satu model penamaan yang kurang asyik.
Pendapat saya tetap begitu biarpun Joko pada Jokograd atau Sankt Jokoburg diganti Sukarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, atau Yudhoyono. Akhiran “-grad” diganti pakai “-pura” atau -polis” pun saya tetap tak setuju dengan penamaan kota ala kultus tokoh.
Mandalanusa
Di medsos dan beberapa portal berita, saya mendapati kata ini termasuk yang diusulkan warganet dan mendapat respons cukup positif. Saya setuju jika kata dari khazanah bahasa Jawa Kuna atau Kawi ini layak dipertimbangkan. Maknanya juga oke, “wilayah atau lingkaran yang meliputi suatu kepulauan”.
Akan tetapi, ada satu hal kecil yang secara pribadi mengganggu bagi saya. Apa kita siap nama ibukota negara kita mengandung penggalan “anus” yang bisa jadi rentan jadi bahan plesetan orang-orang usil?
Sepertinya lebih oke jika sediikit dimodifikasi kembali menjadi Mandaladwipa yang maknanya persis sama. Lebih oke lagi kalau memakai versi Mandalajaya (Sanskerta & Kawi: wilayah atau lingkaran kejayaan) atau Mandalaharja (Sanskerta & Kawi: wilayah atau lingkaran kemakmuran).
17 nama usulan calon ibukota
Selain dua nama tadi, ada baiknya juga jika kita mempertimbangkan aneka opsi nama lain yang punya makna bagus. Terlebih jika dirasa mampu merepresentasikan warna lokal Kalimantan, termasuk daerah Penajam Paser Utara.
Saya coba membuat sedikit daftar ringkasnya. Sayangnya rasanya saya mesti menyisihkan nama Kutai yang notabene merupakan nama kerajaan kuno tertua yang pernah eksis di dalam apa yang sekarang menjadi Indonesia. Ini karena Kutai telanjur dipakai menjadi nama beberapa kabupaten di Kalimantan Timur.
(1) Yupa
Secara harafiah ini berarti tiang batu untuk mengikuti hewan kurban persembahan. Namun, dalam ilmu sejarah, ini juga dipahami sebagai penamaan untuk prasasti peninggalan kerajaan kuno Kutai yang eksis sekitar abad V Masehi.
Pilihan nama ini bisa dipandang mewakili “kehendak mencatatkan sejarah, khususnya perihal kemajuan”.
(2) Penajam Jaya
Ini memang meminjam nama lokal kabupaten calon ibukota baru Indonesia ini didirikan. Penambahan kata “Jaya” menjadikan nama ini bermakna “Penajam yang menjadi lokasi kejayaan”.
(3) Bukit Raya
Ini juga diilhami nama lokal dari satu desa di dalam area rencana pendirian ibukota baru Indonesia. Pasalnya makna dari nama lokal ini terbilang sudah cukup bagus yakni: “Bukit yang menjadi tempat kemegahan dan keagungan terwujud”.
(4) Rimba Raya
Usulan nama ini bermakna “hutan yang menjadi tempat kemegahan dan keagungan terwujud”. Kata “Rimba” dirasa dapat mewakili citra Kalimantan identik sebagai salah satu pulau pemilik luasan hutan terjembar di Indonesia.
Namun, nama ini mengandung ironi karena pembangunan ibukota tentu menegaskan terjadi proses peralihan satu demi satu petak lahan di Kalimantan, dari semula hutan menjadi peruntukan lainnya: perkebunan, pertambangan, permukiman, dan lain sebagainya.
(5) Mularaya atau (6) Mulajaya
Usulan nama ini berasal dari perpaduan antara “Mula” (Sanskerta, Jawa Kuna, Melayu, Indonesia: awal; akar; asal; atau pembukaan) dengan “Raya” (Melayu, Indonesia: besar; megah) atau “Jaya” (Sanskerta, Jawa Kuna, Melayu, Indonesia: kemenangan; keberhasilan). Dengan begitu nama ini akan bermakan “awal mencapai kemegahan” atau “awal bagai kejayaan”.
Selain itu, “Mula” diinspirasi pula oleh sosok Mulawarman, salah satu tokoh sejarah paling awal yang dicatat sumber tertulis Nusantara, yakni Raja Kerajaan Kutai yang mengeluarkan Prasasti Yupa pada 400-an Masehi.
(7) Tanjungpura atau (8) Tanjungnagari
Usulan nama dalam bahasa Jawa Kuna ini terilhami oleh nama kuno Kalimantan yang turut tercantum dalam kitab Desawarnana alias Nagarakertagama karya Mpu Prapanca dari 1365 M.
(9) Barunapura atau (10) Warunapura
Konon nama lain dari Kalimantan, yakni Borneo dalam bahasa Inggris, juga Barunai dan Brunei dalam bahasa Melayu. Berihwal dari “Baruna” alias “Waruna” dalam Jawa Kuna serta “Varuna” dalam Sanskerta.
Akan tetapi, usulan nama bermakna “kota atau negeri Dewa Laut” ini sangat kental dengan warna religi Hindu. Dalam konteks calon ibu kota baru Indonesia kini, pilihan nama ini bukan tidak mungkin bakal memicu kegaduhan baru.
(11) Khatulistiwa
Usulan nama ini diilhami oleh lokasi calon ibukota baru Indonesia yang terhitung relatif di bagian tengah, terhitung dekat pula dengan lintasan garis Khatulistiwa alias Lintang Nol Derajat. Pun Indonesia sejak lama pula memiliki julukan ala Mooi Indie sebagai Negeri Zamrud Khatuliswa.
Namun, di sisi lain pilihan nama ini terasa kurang nyaman bagi Pontianak dan Kalimantan Barat yang selama ini kerap mengidentikkan diri sebagai Bumi Khatulistiwa karena tepat dilintasi si garis ekuator.
(12) Teroka
Usulan nama ini bersumber dari khazanah bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Maknanya adalah “lahan bukaan baru”. Karena itu pilihan kata terbilang cocok digunakan untuk menamai ibukota baru. Ini mencerminkan ikhtiar untuk berusaha serta pengharapan untuk mendapatkan hasil-hasil baik di hari depan.
(13) Nusantara
Usulan nama ini mencerminkan visi untuk menjadi kota penting di Kepulauan Asia Tenggara. Namun, pilihan terhadap nama ini apakah sungguh tepat digunakan sebagai nama calon ibukota negara patut sangat dipertimbangkan.
Siapa tahu nama ini lebih pas dipakai kelak sebagai pengganti nama negara Indonesia.
(14) Nusaraya, (15) Dwiparaya, atau (16) Mahadwipa
Tiga versi nama dalam bahasa Jawa Kuna dan Sanskerta ini kurang lebih bersinonim dan dapat ditafsir memiliki arti sebagai “kepulauan”. Sama halnya seperti usulan nama “Nusantara”, tiga versi nama ini mencerminkan visi menjadi kota penting di Kepulauan Nusantara.
(17) Nagarakertagama
Terus terang ini adalah usulan nama yang paling saya jagokan sebagai nama terbaik bagi calon ibukota baru Indonesia.
Mengapa saya sampai menyebutnya sebagai usulan terbaik? Itu tidak lepas dari kemampuan kata tersebut merangkum unsur historis, unsur representasi geografis Kepulauan Nusantara, dan unsur makna serta pengharapan baik.
Dari segi historis, Nagarakertagama adalah kitab kuno berjudul asli Desawarnana. Nagarakertagama terbilang suatu adikarya penulisan dari Nusantara abad XIV, warisan Kemaharajaan Majapahit. Mpu Prapanca sang pujangga mampu memadukan kronik dan travelog dengan tetap mengikuti kaidah syair-syair kakawin.
Bahkan, dari segi kemampuan merepresentasikan geografis Kepulauan Nusantara, Nagarakertagama pada 656 tahun silam telah dapat mencantumkan secara cukup terperinci setiap daerah dan pulau dari bagian barat kepulauan sampai ke sisi timur. Semua itu tercantum pada pupuh 13 dan 14 kitab tersebut.
Lalu, perlu diingat pula bahwa Nagarakertagama tak hanya mengingatkan kepada tingginya mutu penulisan sastra di Jawa Timur pada abad XIII dan XIV. Nagarakertagama menjadi pula bukti kesungguhan pelestarian lontar-lontar sastra di puri-puri di Bali pada abad XV hingga XIX. Tak boleh pula dilupakan juga bahwa Nagarakertagama memiliki keterkaitan terhadap perlawanan terhadap serbuan pihak Kolonial Belanda ke Pulau Lombok pada akhir abad XIX.
Terakhir, dari segi makna dan pengharapan baik, Nagarakertagama mengandung makna “kota atau negeri yang makmur karena kejelasan tertib peraturan”. Memang sungguh kata dengan makna dan harapan mendalam kan?
Perkara makna itu ketinggian untuk kondisi Indonesia yang sekarang, ya boleh lah kalau sementara ini tidak perlu disambung-sambungin ke arah sana dulu.
BACA JUGA Ibukota Pindah sih Boleh-boleh aja Pak Jokowi, Asal Jangan ke Flores Tapi… dan tulisan Yosef Kelik lainnya.