MOJOK – Apa iya sunah Rasul membuat kita jadi repot, pelik, dan jadi rumit hidupnya? Lantas apa guna kita dikasih akal sama Gusti Allah untuk mikir makna simbolik di balik bunyi teks yang jelas terbatas?
Di sebuah rumah kontrakan pasutri baru:
“Mah, buka apa kita hari ini?” tanya Agus pada istrinya, Kalis, yang lagi geal-geol sibuk di dapur.
“Spesial buka puasa hari ini, aku sudah siapkan sajian sesuai sunah Rasul.”
“Apa itu?”
“Kolak cuka….”
Agus ndomblong. Jinguk, batinnya, kolak cuka, jinguk, tapi ndak berani membantah di depan Kalis.
“Cuka ternyata menu kesukaan Rasul lho, Mas. Aku menemukannya di kitab Riyadhus Shalihin Bab 101 tentang Larangan Mencela Makanan dan Sunah Memujinya….”
Tanpa kuasa disahuti lagi, Kalis mengumandangkan hadis riwayat Muslim itu:
Dari Jabir Ra., Rasulullah Saw. menanyakan lauk pauk kepada keluarganya dan mereka menjawab: “Tak ada lauk pauk kecuali cuka.” Maka Nabi Saw meminta cuka itu untuk dimakan bersama roti yang disajikan sambil berkata: “Sebaik-baiknya lauk pauk adalah cuka, sebaik-baiknya lauk pauk adalah cuka.”
Di sebuah jamuan bukber yang dihadiri banyak pengusaha:
Gema azan memecah langit sore. Buka puasa pun berpilin. Sendok garpu beradu dengan piring di mana-mana. Di satu pojokan, dua orang pemuda tanggung yang dari jidatnya kelihatan baru tiga Jumat belajar agama Islam, menyantap sajian soto dengan wajah ngotot.
Apa pasal? Pakai tiga jari! Ogah make sendok, itu bid’ah, kata salah satunya kepada temannya sembari meliriki orang-orang yang menyantap soto pakai sendok dengan mata memancarkan jilatan api neraka.
Tiba-tiba mendoan yang dipegangnya tersaut orang. Jatuh ke lantai yang berdebu. Tanpa ragu, dipungutnya, dibersihkan bagian yang kelihatan kotor, sisanya ia makan. “Kita tak pernah tahu di bagian manakah berkah makanan itu adanya,” katanya pada temannya dengan menukil hadis riwayat Jabir Ra.
Tak lama berselang, keduanya pun tuntas makan soto dengan tiga jari. Sambil meletakkan mangkok-mangkok, mereka menjilati jari-jarinya. Di tengah keramaian mata yang seketika jadi bergidik idih-idih.
“Tenang saja, memang sudah diramalkan Nabi sendiri, suatu hari Islam akan terasing lagi, persis mereka yang memandang aneh kita hari ini gara-gara kita mengamalkan sunah Rasul dalam cara makan.”
“Iya, padahal sangat jelas di kitab Riyadhus Shalihin bab 109, ada 7 hadis sahih yang menjelaskan sunahnya makan pakai tiga jari dan menjilatinya, membersihkan tenpat makan, serta memunguti makanan yang jatuh demi mendapatkan berkah makanan. Astaghfirullah, dunia kita semakin kafir ya….”
Di sebuah obrolan sosmed:
“Gudeg tidak ada dalilnya dalam Al-Quran maupun hadis, Ustaz,” sahut Ustadz Hilmi yang tamvan.
“Ada,” sahut Ustaz Abu Faqih, “Kulu wasyrabu…”
“Bagaimana dengan hukum pecel Madiun?” timpal saya.
“Itu juga tak ada dalilnya, Ustaz,” sahut Ustadz Hilmi yang tamvan lagi.
“Ada,” sahut Ustadz Abu Faqih, “Kulu wasyrabu…”
“Alhamdulillah, karena fatwa kehalalan gudeg dan pecel Madiun sudah clear, mari kita makan dengan penuh syukur sekarang….”
“Mari. Alhamdulillah….”
“Mari.”
****
Tiga drama itu riil terjadi dalam pelbagai bentuknya di sekitar kita dan nun jauh di sana. Menghadirkan suatu kerumitan dan kepelikan teknis hidup atas nama gairah mengikuti sunah Rasulullah Saw.
Ya, catat tebal, teknis.
Hidup seorang muslim milenial yang keimpen-impen always-almost mengikuti lifestyle Nabi Muhammad Saw yang hidup 1600 tahun lalu—agar kemurnian Islamnya lebih murni dari murninya kelapa muda yang dijual Mbak Murni yang masih murni saja karena tak kunjung meniqa—nyatanya malah dibikin repot sekali.
Apa iya Rasulullah Saw menghendaki kita jadi repot, pelik, dan jadi rumit hidupnya ya?
Apa iya mengikuti teladan hidup Rasulullah Saw di hari ini adalah technically merepotkan dikarenakan telah begitu jauh berbedanya faktor kondisi, lingkungan, kebiasaan, dan norma masyarakatnya?
Cuka, misal.
Di Bantul, mana ada orang yang menjadikan cuka sebagai campuran roti? Sejak zaman Mbah Pono mbaurekso Mbantul hingga kini saya jadi calon bupatinya, ndak ada ceritanya orang buka puasa pakai kolak cuka atau luluran cuka sebelum mandi junub atau ngolesi mata dengan cuka sebelum tidur.
Jika cuka lalu diklaim literal paten sebagai “sebaik-baiknya lauk” atas dasar hadis riwayat Imam Muslim itu, sehingga kolak, mendoan, sambel, apalagi Milo sontak tersingkirkan sebagai makanan-makanan bid’ah karena tidak pernah dikonsumsi Nabi, lalu apa guna ente dikasih akal sama Gusti Allah untuk mikir makna simbolik di balik bunyi teks yang jelas terbatas begitu?
Apa iya lalu wong Mbantul autokalah iman dan Islamnya dibanding akhi-akhi yang demen makan cuka dan minum kencing onta? Aih, keceplosan.
Makanya, kata teman saya, popok itu dipakainya di pantat, jangan di kepala.
Hadis pujian cuka itu asalinya tidak lebih sebagai teladan Nabi Saw kepada kita agar tidak mencela makanan apa pun yang ada. Istri punyanya cuka, dipujinyalah ia, disebutnya lauk-pauk terbaik. Lain hari disajikan kerupuk cumi dan sambel, tak ada air minum, ya pujilah itu. “Duhai kerupuk cumi yang utama, Alhamdulillah seret, seret, seret….”
Ini lho nilai pokoknya, maqashid syariatnya (tujuan syariatnya), moral-ethic hadis tersebut, dan mestinya nilai substansial inilah yang selalu kita rawat dalam ekspresi-ekspresi yang dinamis sampai akhir zaman. Ini baru cah muslim milenial yang cerdas nan cakep dalam memproduksi makna teks yang rahmatan lil ‘alamin.
Tentu saja, technically, Nabi Saw sukanya makan kurma, roti, dan juga daging kambing, khas orang-orang Arab sana. Kita di Bantul ya sukanya buka pakai kolak; inyonge Cilacap sukanya pakai mendoan mbok; Cah Tembalang sukanya ngemil janganan-properti; orang Cirebonan demennya pake jamblangan; orang Pati senenge luluran terasi sebelum bobok; orang Makassar sukanya pakai coto, dan sebagainya dan sebagainya. Itu semua jelas ndak pokok, naturally mustahil sama, serta bukan esensi moral etik dalilnya.
Moral etiknya tetap tak berubah sejak dulu kala sampai kelak Minke diperankan Iqbaal-ganteng—dan bukannya Iqbal “Mbantul” Daryono—yakni mengenai larangan mencela makanan.
Sistem operasi makna yang sama juga berlaku pada tamsil-tamsil hadis yang saya nukil di awal tulisan ini. Mestinya ya begitu metode produksi makna-maknanya pada konteks milenial kita kini dan di sini serta nanti, lho. Bukan lateral-kaku-saklek.
Udah tahu kesaklekan hanya akan membuat kita kesempitan sendiri, sehingga apa-apa jadi rumit, pelik, dan merepotkan. Kok ya masih ngotot saklek? Kok betah bener pakai popok di kepala sih? Padahal Islam itu jelas mudah dan memudahkan (yassir wala tu’ashshir) dan tidak memberikan beban di luar kemampuan kita (la yukallifullahu nafsan illa wus’aha).
Semoga setelah ini makin berkuranglah populasi muslim era milenial yang masih doyan pake popok di kepala sehingga pikirannya jadi ruwet, rumit, pelik, dan repot sendiri sama perkara-perkara technically keseharian ala Rasulullah Saw itu akibat ke-saklek-an dan kekakuan berpikirnya.
Entah ribet soal lebih sunah mana antara cuka atau gudeg, kurma atau pecel Madiun, sendok atau tiga jari, sate ayam atau sate kambing, makan sambil duduk bersandar atau ndodok nekuk lutut kanan, jenggotan atau plontosan, pakai sarung atau jubah, hingga menikah atau terus menyendiri saja.
Mbokya gini lho, Lur; gairah nirun Rasulullah Saw itu yang digenjot itu ya akhlak karimahnya itu. Seperti adab bicaranya yang santun, wataknya yang ngalahan, rendah hati, empatik, ramah, dan lain-lain. Jangan cuma yang teknis-teknis dinamis dan alamiah majemuk macam sendok, mendoan, cuka, korma, jenggot itu yang diriuhkan.
Ngaku die hard pengikut sunah Rasul, sibuk kampanye jenggot dan makan tiga jari, tapi tiap hari dunguin dan misuhin orang aja, pora kemlinthi kui… eh, maksudnya, apa tidak salah kaprah kui?