MOJOK.CO – Beri Indonesia 10 Ivan Lanin, niscaya nilai bahasa Indonesia kita naik semua.
Tanpa perlu menjadi luwakwati lebih dulu, sungguh keterlaluan bila kamu tak tahu sosok satu ini. Cowok keturunan Minang, lahir di Jakarta, besar di Bandung, mengaku sangat cinta sama Jogja, dan kini tinggal di Jakarta. Tapi, itu fakta tak penting. Banyak orang yang sejenis itu kok.
Yang sangat penting adalah ia tamvan (duh, keseleo), putih bersih, rambutnya Mohawk (apa, sih, padanannya di KBBI?), selebtwit (bukan selebtweet, ya), kaya raya, serta superbaik dan rendah hati. Plus rasa-rada alay juga, lah. Dikit.
Eh, sedikit.
Dan, yang paling penting, dialah penjaga KBBI dan EBI yang paling paripurna hari ini.
Saya bilang sangat rendah hati karena banyak sekali twit yang menyebut (mention, maksudnya) dirinya ia balas. Bahkan, termasuk sebutan-sebutan dari para luwakwati yang caper, lebay, nggak ada hubungannya dengan twit utama Bang Ivan tentang kebahasaan, dan malah curcol. Sungguh sikap rendah hati selebtwit yang sulit diperagakan seleh-seleb Twitter lainnya. Termasuk yang baru agak seleb, nyaris seleb, atau menyelebkan diri gitu, deh.
Soal kerada-alayannya (alay sudah diakomodir di KBBI lho, ya), terlihat dalam begitu banyak candaannya yang sontak membuat mak tratap hati para luwakwati yang fakir belaian. Semisal ketika ada yang tanya begini….
Mas @ivanlanin mau tanya..
“CINTA DIAM-DIAM” & “DIAM-DIAM CINTA”
Itu memiliki makna yg sama atau beda, tolong pencerahan..trm ksh. 🙂
Dengan energi tamvan, Ivan Lanin menjawab:
Berbeda pemaknaan, tetapi segala sesuatu yang diam-diam itu biasanya menyesakkan. Lepaskanlah.
Alay, kan? Alay, lah….
Saya yang kebetulan lihat twit itu ngakak kafah. Setelah mampu mengendalikan perasaan yang terkoyak-koyak di atas piring geli, saya menyebut (mention) dia.
Bhaaaa….
(( YANG DIAM-DIAM ITU BISANYA MENYESAKKAN. LEPASKANLAH.))
*plus emot ngakak
Manakala Ivan Lanin jadi alay, begitulah yang menghibur. Sangat menghibur, bahkan. Mungkin ini tanda-tanda bahwa ia adalah orang baik. Kalau Anda mau tahu, saya rasa akan lebih kafah bila disimpulkan setelah jumpa langsung. Dirasakan sendiri aliran energi kerang ajaibnya secara off-air, langsung.
Atau saya tunjukkan, ya. Dia ini narator ulung. Sangat bagus sistematika berpikir dan artikulasinya, memperlihatkan kejunilan dalam bidang kebahasaan yang dia geluti secara otodidak bertahun-tahun plus kekukuhan mentalnya dalam menyampaikan pemikiran kepada semua jenis audiens.
Sempurna.
Dengan segambreng kelebihannya itu, wajar banget dia jadi idola.
Buat saya, setelah kenal dan mengalami berdekatan sama beliau secara langsung plus sesekali chat (iya, padanannya “mengobrol”, tapi maksudnya khusus obrolan online), saya harus mengakui bahwa Ivan Lanin bukan hanya pengajar kaidah berbahasa dan “KBBI berjalan” (tetap saya panggil demikian walau Bang Ivan tidak mau) yang menakjubkan, tetapi sekaligus pelaku yang taat pada semua aturan berbahasa yang dikuasai dan diajarkannya. Betul, selalu dipraktikkannya.
Dalam obrolan WhatsApp saja, ia istikamah menggunakan kaidah berbahasa yang baik, benar, alim, lurus, dan penuh kesetiaan. Boleh tambahkan syar’i. Pertanda beliau adalah suami yang sangat setia. Tidak kayak kamu. Bhaaa….
Misalnya pada obrolan WA kami suatu hari berikut.
Ivan Lanin (IL): Selamat pagi, Mas Edi.
Saya (S): Pagi, Bang Ivan. Apa kabarnya?
IL: Alhamdulillah, baik, Mas. Bagaimana kabar Mas Edi?
S: Sehat, Bang, alhamdulillah.
IL: Mas Edi, saya ada rencana Sabtu depan ke Yogyakarta.
S: Mampir, Bang.
IL: Iya, saya berencana mampir jika Mas Edi ada.
S: Iya, ada, Bang. Siap menyambut. Kabarkan saja jam mendaratnya.
IL: Iya, Mas, terima kasih. Saya akan mengabarkannya kepada Mas Edi. Terima kasih.
S: Sama-sama, Bang.
Pernahkah Anda WhatsApp-an begitu? Saya sendiri nggak pernah, kecuali sama Ivan Lanin. Jadi, sebelum dipencet send (duh, lupa, kirim), saya harus proofread (apa, ya, padanannya?) dulu pesan saya dengan teliti. Jangan sampai ada tanda baca yang tidak tepat, penulisan di diikuti kata kerja yang malah terpisah, dan penggunaan bahasa asing, semisal rencana saya tulis plan, mendarat saya tulis landing, dan sebagainya.
Hanya ada satu ekspresi berbahasa yang saya masih kebingungan untuk tulis dalam chat dengannya: tertawa itu bagaimana penulisan yang baku, ya, Bang? Apakah “Bhaaa…”? Atau “Haaa…”? Atau “Wkwkwk…”? Karena bingung, ya, sudah, saya main aman saja. Tidak pernah menggunakan ekspresi tawa di WhatsApp.
Demikian juga dalam obrolan langsung. Sungguh, beliau ini memang istikamah sekali.
Suatu sore, saya berbincang cukup lama dengan beliau sambil menikmati kopi hitam tanpa gula. Beliau bertanya banyak tentang perbukuan, di antaranya mengenai pemasaran.
Dengan percaya diri saya menjelaskan panjang lebar hingga pada satu kalimat, saya berkata,
“Di antara pemasaran saya ialah marketplace, Bang—”
Kalimat saya terpotong oleh tukasannya: “Lokapasar….”
Obrolan berlanjut dan kali ini saya menyebut kata outbound.
Beliau menyahut, “Mancakrida, Pak….”
Berlanjut lagi dan saya menyebut, “catcalling.” Dengan tatapan penuh belas kasih dan lemah lembut, Bang Ivan mengoreksi, “Melucah….”
Maaf, Bang Ivan Lanin, saya menuliskan ini gara-gara Cik Prima. Suer deh, eh, sumpah, Bang, saya kagum dan sayang sama Bang Ivan. Kendati Abang tak kunjung menjawab pertanyaan saya ini karena mungkin khawatir tersaingi, “Bagaimana kiat tamvan kafah yang mampu mencahayai seantero kafe tempat kita nongkrong itu, ya?”
Tampan, Bang, iya, tampan. Bhaaa….
Ngomong-ngomong (hampir saja ngetik “by the way”), ada berapa kata dan kalimat pada tulisan ini yang tak ada padanannya?
Jawab, Bang Ivan, jawab….