[MOJOK.CO] “Setiap kampus punya mahasiswa legendarisnya sendiri. Untuk legenda UIN Jogja satu ini, ia melampaui kampus.”
Gnomes, salah satu makhluk mitologi Yunani yang saya tahu dari Jorge Luis Borges, digambarkan sebagai peri tanah dan bukit yang—ini intinya—“lebih tua daripada usianya”. Di lingkungan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Sekarang UIN Sunan Kalijaga), Sayuri setara dengan Gnomes dalam hal itu. Sudah lebih dari dua puluh tahun lalu ia kuliah di kampus Islam negeri tersebut, tetapi sampai sekarang namanya masih dituturkan banyak orang.
Sayuri berperawakan pendek, gempal, hitam, dengan kumis melintang khas orang Madura. Ia selalu ada di mana-mana: dari masjid, markas demonstran, hingga panggung dangdut Al-Jami’ah. Bila berkata, suaranya tebal dan tegas meski yang dibicarakannya hanya soal nasi angkringan. Cara jalannya tegap, cenderung membusung. Kerjaannya adalah marbot di masjid IAIN. Selain kuliah tentunya. Selain miara merpati pula.
Delapan dari sepuluh mahasiswa yang kuliah di Jogja pertengahan ’90-an pasti pernah mendengar namanya. Demikian juga tujuh dari sepuluh mahasiswa 2000-an. Hingga 2017, nama Sayuri masih tercetus dalam obrolan ngopi di sudut-sudut kota ini. Pasalnya dia menjadi legendaris ialah karena kisah-kisah semasa kuliahnya yang tidak biasa.
Ihwal masa kuliahnya yang legendaris itu tercermin dari obrolan begini.
“Kamu angkatan berapa?” tanya Faizi kepada saya. Kami memang sama-sama kuliah di IAIN Sunan Kalijaga.
“‘95. SPP-ku masih 180 ribu.”
“Aku di atasmu dua tahun, kalau Sayuri itu di atasku, sejak kampus ini pertama kali dibuka. Dan hingga sekian banyak angkatan di bawahmu, Sayuri masih berstatus mahasiswa. Bhaaa….”
Beberapa kisah legendaris Sayuri saya ringkas dalam berbagai hikayat yang tak lagi jelas kesahihannya berikut ini.
Azan Subuh
Sebagai marbot, jelas Sayuri tinggal di masjid, itu formalnya. Meski lebih sering ia tidak ada di sana karena kadang ada di asrama Madura, di asrama IAIN, dan entah di mana lagi.
Di masjid, salah satu tugas marbot adalah azan.
Pada suatu azan Subuh, begitu banyak orang yang tercekat oleh suara azannya yang khas mengumandang dari TOA masjid IAIN. Azan itu begitu singkat, padat, dan jelas, terdiri dari dua lantunan: Allahu Allahu akbar…. La ilaha illallaah….
Sudah, begitu saja.
Seorang dosen senior yang hendak salat di masjid itu mendatangi kamarnya. Dilihatnya Sayuri sedang lelap. Ia heran, lalu siapa yang azan barusan, yang jelas-jelas suara Sayuri?
Dibangunkannya Sayuri.
“Kamu yang azan barusan?”
“Iya, Pak,” sahutnya sambil ngucek-ngucek mata.
“Lha kok wes tidur, lagi pula azannya kok cuma dua baris gitu?”
Ia lalu menunjukkan kabel dan mikrofon yang ia desain menembus kamarnya. Dosen itu geleng-geleng kepala karena ternyata Sayuri azan sambil tiduran di kamarnya dan beneran tertidur lagi.
“Namanya juga ngantuk, Pak, jadi ketiduran habis azan. Saya juga lupa azannya gimana tadi. Kata Pak Malik, kalau lupa tidak ada hukumnya, Pak….”
Kursus Mengemudi
Saking lamanya Sayuri menghuni kampus dan selalu ada di mana-mana pertanda ia bisa diterima di mana-mana, dari PMII, Kemped, sampai Eska dan Al-Jami’ah, ia dekat dengan mayoritas dosen. Kepada salah satu dosen yang akrab, ia minta uang. Katanya untuk kursus nyetir mobil.
“Kalau saya sudah bisa nyetir, kan enak Bapak bisa mau nyuruh saya ke mana-mana….”
Sang dosen memberinya sejumlah uang. Sebulan kemudian Sayuri menghentikan langkah dosen itu di kampus.
“Gimana, Yur, sudah bisa nyetir?” tanya dosen itu teringat uang pemberiannya.
“Nah, itu dia, Pak, keperluan saya. Uang pemberian Bapak itu sudah saya pakai kursus nyetir. Sekarang saya minta uang lagi sama Bapak.”
“Lha, untuk apa lagi?”
“Dulu kan buat kursus nyetir maju, Pak, yang sekarang ini buat bayar kursus nyetir mundurnya.”
Makan di Warung
Sayuri masuk warung makan Jawa di wilayah Sleman arah Jalan Magelang dan memesan makanan.
“Sayure nopo, Mas?” tanya ibu warung bertanya dia mau makan sayur apa.
Sontak dalam hati ia membatin: wah, terkenal sekali aku ini, sampai ibu ini tahu namaku padahal ini jauh dari kampus IAIN.
“Ada apa saja, Bu?
“Campur mi godog mau, Mas?” tanya ibu warung lagi.
“Tidak, Bu, mi rebus saja.”
“Lha ya itu sama saja, Mas….” Ibu warung tersenyum. “Pakai endog, Mas?”
“Tidak, Bu, pakai telor saja.”
“Lha, ya itu juga sama, Mas.” Ibu warung menggeleng kecil. “Sayure nopo, Mas?”
“Iya, Bu, nama saya memang Sayuri. Kok ibu bisa tahu ya nama saya padahal ini kan jauh dari kampus saya?”
Seusai Sayuri makan, ibu itu memutuskan berhenti jualan. Bhaaa….
Skripsi
Inilah bagian paling epik dari legenda Sayuri. Dari berbagai sanad yang tak bisa diverifikasi keabsahannya, dituturkan bahwa ia akhirnya lulus dengan pelbagai drama seputar skripsinya.
Salah satu dosen senior yang amat dekat dengannya adalah Pak Malik Madany. Kepada beliau, Sayuri kerap bertanya-tanya soal judul skripsinya. Suatu hari Sayuri mengajukan sebuah judul kepada Pak Malik.
“Peranan Pak Malik Madany dalam Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Itu judul skripsi saya, Pak, bagus nggak?”
Pak Malik jelas saja langsung ngakak nggak keruan. “Gantilah, Yur, siapa gitu, Hasbi Ash-Shiddiqy kek….”
“Lha, saya ndak kenal, saya kenalnya Pak Malik….”
“Lha ya tetap gantilah….”
Besoknya Sayuri menemui Pak Malik lagi.
“Saya sudah dapat judul penggantinya, Pak.”
“Wah, apa?” Pak Malik menyimak.
“Peranan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terhadap Pak Malik Madany. Bagus kan?”
Pak Malik mati gaya seketika.
Beberapa waktu kemudian Sayuri benar-benar mengajukan judul skripsi ke dosen prodinya di Fakultas Syari’ah. Judulnya: Peranan Unta dalam Pembentukan Hukum Islam.
Sang dosen terkekeh-kekeh. “Maksudmu apa to, Yur? Mendingan ganti jadi Peranan Merpati dalam Islam. Burung merpati kan kesenanganmu to….”
Sayuri menyimak dengan saksama lalu menyahut, “Tapi, kan Nabi tidak mainan merpati, Pak, kalau naik unta, iya.”
Finalnya, Sayuri pun ujian skripsi. Pengunjungnya membludak. Maklum, junjungan, legenda! Semua menyokong Sayuri untuk lulus ujian. Lalu wisuda.
“Yur, kamu kan menulis tentang penelitian cegatan amal untuk pembangunan masjid di Madura. Pertanyan saya begini: itu masjidnya jadi beneran tidak?”
Yang pernah ke Jawa Timur dan menemukan orang menadahkan wadah di jalan raya agar orang bisa menyumbang uang untuk pembangunan masjid, itulah cegatan amal.
Dengan penuh percaya diri, Sayuri menjawab lantang: “Itu bukan urusan saya, Pak, jadi tolong jangan tanya ke saya. Urusan saya adalah menyelesaikan skripsi ini….”
Semua orang terbahak, termasuk para dosen penguji.
Setelah suasana tenang, dosen itu bertanya lagi: “Setahumu saja, jadi tidak masjidnya?”
“Nanti ya, Pak, kalau saya pulang setelah lulus, setelah wisuda, saya akan tanya apa masjidnya sudah jadi belum.”
Silakan tambahkan lagi hikayat-hikayat Sayuri yang selalu mengguncang tawa. Kabar terakhir, ia ada di Jakarta, kerap muncul di kantor PBNU. Jika jumpa, silakan gali kisah-kisah epiknya langsung. Dijamin kejer!