Mungkin banyak di antara Anda yang tidak tahu bahwa saya adalah salah seorang pembaca setia Mojok. Jelas saja tidak banyak yang tahu karena saya memang tidak pernah memberi tahu. Tapi meskipun saya pembaca setia artikel-artikel yang diterbitkan oleh situs ternama ini, toh saya nga setia-setia amat. Maka ketika saya ditawari menulis untuk situs kesayangan kita ini, saya mengalami semacam ketakutan bahwa tulisan yang saya buat tidak bisa memenuhi standar kualitas Mojok.
Namun saya lalu teringat petuah terkenal dari Gustav Suparjo, pelopor gerakan membuang sampah di dalam angkot nomor 5A jurusan Terminal-Pemali, yang berbunyi “Coba aja~”. Saya pun segera bergegas ke warung, membeli rokok, lalu duduk khusyuk di depan PC. Bersiap-siap untuk menonton film, tentu saja.
Semua bermula dari kicauan saya di akun Twitter pribadi tentang obrolan saya tiga bulan lalu bersama tiga orang teman lain. Ketika itu salah seorang teman berkata, “Saya pengen jadi debt collector, ah~”. Pernyataan ini segera ditanggapi oleh teman saya yang satu lagi, “Ah, mana bisa. Kau kan nga tegaan anaknya~”.
Dari obrolan tidak penting ini saya kemudian berpikir, sebenernya ada nga sih profesi yang cocok untuk pribadi nga tegaan atau nga enakan? Saya pun segera melakuan riset dengan cara menonton dua film, mendengarkan album Old Pride dari Pianos Become the Teeth, mengirimkan pesan singkat via Whatsapp, dan bermalas-malasan. Hasilnya seperti berikut ini: 4 jenis profesi yang sepertinya bisa jadi pilihan untuk orang-orang dengan kepribadian nga tegaan.
Dokter
Melihat seseorang yang sedang kesakitan atau terserang suatu penyakit tentu merupakan salah satu siksaan bagi pribadi nga tegaan. Siapa yang tidak merasa kasihan ketika melihat teman atau saudara anda meringis kesakitan lantaran kaki yang keseleo atau asam urat yang kumat. Hal ini menjadikan dokter sebagai salah satu pilihan profesi yang mungkin cocok bagi pribadi nga tegaan mengingat seorang dokter (idealnya) bisa meringankan penderitaan seseorang yang sedang terserang penyakit.
Kendati demikian, di lain pihak dokter juga terkadang harus menyampaikan kabar buruk pada pasien atau keluarga pasien yang mana hal ini bisa jadi dilema bagi pribadi nga tegaan. Belum lagi ketika seorang dokter harus menyampaikan harga obat yang demikian mahal kepada pasien dengan kondisi perekonomian yang memprihatinkan. Menjadi dokter mungkin bisa jadi pilihan profesi yang cocok untuk pribadi nga tegaan, dengan beberapa catatan tentunya.
Aktivis Save-Save-an
Beberapa tahun belakangan, semenjak saya (agak) aktif di Twitter, saya jadi semakin akrab dengan tagar yang mengandung unsur ‘save-save-an’. Awalnya saya tidak begitu peduli, karena saya memang aslinya tidak terlalu peduli dengan banyak hal, termasuk dengan apa yang sedang saya pikirkan. Namun lama kelamaan, fenomena ‘aktivis save-save-an’ ini ternyata cukup menarik untuk diikuti. Meskipun sebenarnya juga kurang yakin apakah aktivis semacam ini bisa disebut sebagai profesi.
Namun seandainya dijadikan profesi, mungkin bidang yang satu ini cocok untuk digeluti oleh orang dengan pribadi yang nga tegaan. Apa lagi yang mendasari seseorang untuk membela dan menyelamatkan suatu golongan tertentu (baik hewan, manusia, maupun tumbuhan, atau bahkan benda tidak bernyawa) kalau bukan rasa kasihan, rasa nga tega melihat penderitaan yang dialami oleh golongan tersebut, ya ‘kan? Keuntungan finansial atau popularitas? Ah, saya rasa tidak. Pasti yang mendasari adalah rasa ng tega. Idealnya demikian. Tapi sekali lagi, biasanya, bila ada yang dibela, tentu harus ada yang ‘diserang’. Dan ini bisa jadi masalah untuk pribadi nga tegaan.
Ibu Rumah Tangga
Inilah saatnya bagi Anda untuk berujar, “Wah, penulisnya seksis, nih!”. Tapi mau tidak mau saya harus menyampaikan bahwa profesi yang satu ini merupakan profesi yang cocok bagi Anda yang berjiwa nga tegaan, terutama bila Anda adalah perempuan (tidak menutup kemungkinan bagi kaum laki-laki untuk menjadi ibu rumah tangga sebab membatasi potensi diri merupakan salah satu dosa agak ringan menurut Gustav Suparjo).
Mungkin sebagian dari Anda juga akan berujar, “Ibu rumah tangga kan bukan profesi!”. Saya sarankan untuk melihat KTP ibu atau tetangga Anda. Bila di sana tertulis ‘ibu rumah tangga’ pada kolom ‘pekerjaan’, saya rasa kurang ada manfaatnya memperdebatkan apakah ibu rumah tangga termasuk ke dalam kategori profesi atau bukan. Mengapa saya memasukkan ibu rumah tangga ke dalam daftar ini? Tak lain karena pengalaman pribadi saya. Ibu saya memiliki suatu kebiasaan, memanggil tukang jualan keliling dan membeli barang yang dijual oleh tukang jualan itu, apapun barangnya. Padahal, terkadang barang yang dibeli itu tidak terlalu dibutuhkan. Ketika saya bertanya, “Kenapa sih Bu kok beli ini padahal kan nga perlu?”, beliau biasanya akan menjawab, “Abisnya kasian sama yang jual.”. Demikianlah.
Buzzer
Salah satu profesi yang mungkin cukup populer di era digital seperti saat ini, terutama di kalangan pengguna media sosial, khususnya Twitter, adalah buzzer. Apa itu buzzer? Mudahnya, buzzer adalah istilah yang diberikan kepada pengguna Twitter yang menghasilkan kicauan dengan tujuan untuk mempromosikan sesuatu. Awalnya, buzzer identik dengan promosi produk atau barang dagangan. Makin ke sini, profesi buzzer semakin berkembang, tidak hanya mempromosikan produk namun juga bisa mempromosikan caleg atau bahkan capres. Dengar-dengar sih, bayaran untuk jadi seorang buzzer ini cukup menggiurkan. Lalu mengapa buzzer saya masukkan ke dalam daftar ini?
Berdasarkan pengamatan saya selama ini, profesi buzzer ini sepertinya sangat cocok untuk pribadi nga tegaan. Bagaimana tidak, kegiatan promosi yang dilakukan oleh para buzzer hampir selalu bernada positif, terlalu positif bahkan. Ini tentu saja merupakan peluang emas bagi pribadi yang nga tega membicarakan kekurangan suatu produk (atau caleg atau capres atau ca-ca-lainnya). Tinggal memuji-muji setinggi langit, dibayar ‘deh. Sangat menjanjikan bukan?
Demikianlah 4 profesi yang menurut saya cocok untuk dijadikan pilihan bagi pribadi nga tegaan. Saya sendiri termasuk pribadi nga tegaan sebenarnya. Terbukti dari ke-tidak-tegaan saya menolak tawaran untuk menulis naskah buat Mojok. Tapi toh kalo dipikir-pikir lagi, selama kita masih hidup, kadang kita memang perlu sesekali tega melakukan sesuatu. Mencintai seseorang, misalnya. Hahahaha apaan. Dah ah.