Buat orang yang nggak bisa masak (Bisa sih, dikit, itu juga nggak jago-jago amat), kesukaan saya terhadap film-film bertema kuliner atau film-film yang menampilkan makanan cukup besar, sama besarnya dengan kesukaan saya terhadap film-film thriller berdarah.
Waktu dulu saya mendengar kabar bahwa akan ada film Indonesia yang mengangkat khasanah kuliner tradisional Indonesia yang berjudul Tabula Rasa (Adriyanto Dewo, 2014), saya sangat senang. Sayangnya, waktu itu saya masih menetap di kota kelahiran saya dan akses ke film tersebut belum tersedia (Di kota saya tidak ada bioskop sehinggaaaa~). Beruntung pada Mei 2017 saya hijrah ke Jogja yang mana membuka peluang lebih besar bagi saya untuk menikmati film di bioskop secara lebih leluasa.
Ketika pertama kali mengetahui bahwa akan ada film Indonesia lain yang bertema kuliner, sebetulnya saya merasa biasa saja. Waktu itu, poster Aruna dan Lidahnya lumayan sering seliweran di timeline Twitter saya. Posternya cukup menarik. Namun, waktu itu perhatian saya tersita pada film Indonesia lain berjudul Sebelum Iblis Menjemput (Timo Tjahjanto, 2018). Otomatis, Aruna dan Lidahnya kurang mendapat perhatian saya.
Setelah menonton Sebelum Iblis Menjemput (Bagus, sih. Cuma saya ngerasa agak sedikit kecewa, dikit aja, kok), saya baru ngeh kalau ternyata sutradara Aruna dan Lidahnya itu adalah Edwin, sutradara yang sama yang pernah menggarap Posesif (2017). Terbitlah rasa penasaran saya hingga saya akhirnya memutuskan untuk menonton film ini.
Sepulang dari kantor saya langsung memacu motor menuju bioskop untuk menemui Aruna dan Lidahnya. Ya. Jika kamu pikir informasi ini penting, saya nonton sendirian. Selesai menonton, saya memutuskan untuk menulis sedikit tentang film ini. Sebagai informasi, film ini diangkat dari novel karya Laksmi Pamuntjak. Saya sendiri belum membaca novelnya dan hanya akan membahas filmnya saja tanpa membandingkannya dengan novel.
Sepuluh menit pertama film ini langsung membuat saya menyukainya. Aruna dan Lidahnya bercerita tentang persahabatan tiga orang berusia 30-an. Aruna (diperankan oleh Dian Sastrowardoyo) adalah seorang ahli epidemiologi yang memiliki obsesi sangat besar terhadap makanan. Monolog Aruna di awal film ketika dia menjelaskan bagaimana rasa makanan sangat dipengaruhi oleh berbagai hal sudah cukup membuat saya jatuh cinta pada karakter ini. Sayangnya, belakangan kemampuan Aruna untuk menikmati makanan sedikit menurun karena ada yang “salah” dengan lidahnya.
Lalu ada Bono (diperankan oleh Nicholas Saputra), seorang chef dengan pembawaan sangat santai. Sama seperti Aruna, Bono juga memiliki kecintaan yang sangat besar pada makanan. Orang ketiga adalah Nad (diperankan oleh Hannah Al-Rasyid), seorang penulis dengan karakter yang jauh berbeda dengan karakter Aruna.
Ketiga orang ini bersahabat sangat dekat dan salah satu hal yang menyatukan mereka adalah makanan. Kemudian ada orang keempat, Farish (diperankan oleh Oka Antara). Dia adalah rekan kerja Aruna, seorang laki-laki dengan karakter yang agak kaku.
Pekerjaannya mengharuskan Aruna untuk melakukan investigasi mengenai flu burung di beberapa kota. Bono memutuskan untuk ikut dalam rangka wisata kuliner. Nad lalu menyusul keduanya dan ikut dalam rombongan. Tanpa diduga, Farish menyusul Aruna dengan alasan untuk memastikan Aruna menjalankan pekerjaannya dengan benar. Keempatnya lalu terlibat dalam perjalanan yang mengungkap banyak hal, tidak saja fakta-fakta mengenai investigasi yang sedang dijalankan oleh Aruna tapi juga tentang hubungan antara keempat orang tersebut.
Untuk film bertema kuliner, Aruna dan Lidahnya masih setia menggunakan formula klasik di mana makanan memiliki hubungan yang sangat erat dengan perasaan (dalam hal ini diwakilkan oleh cinta dan persahabatan). Edwin dengan piawai mengolah formula klasik ini menjadi suatu tontonan segar yang tidak membosankan.
Dialog-dialog antar karakter mengalir dengan sangat luwes, memunculkan kesan dekat dengan kehidupan nyata. Keluwesan ini juga didukung oleh akting keempat pemeran utama yang mampu menampilkan kisah cinta yang tidak terlihat berlebihan. Tambahan lagi, ilustrasi musik dan lagu latar yang digunakan dalam film ini mampu memberi nyawa pada keseluruhan plot sehingga cerita jadi lebih hidup dan emosional. Sekali lagi, tanpa terkesan berlebihan.
Secara umum, plot film cukup rapi. Edwin sepertinya tahu betul bagaimana sebaiknya menangani materi sumber (novelnya) hingga bisa menjadikannya suatu tontonan yang layak. Kejutan demi kejutan yang dihadirkan ke dalam plot bisa dipaparkan dengan baik tanpa terkesan dipaksakan. Sub plot mengenai investigasi yang dijalankan Aruna juga mendapatkan ruang dan penanganan yang sama baiknya dengan plot utama.
Salah satu hal menarik dari film ini adalah penggunaan teknik “breaking the fourth wall” yang dilakukan oleh karakter Aruna. Gampangnya, teknik ini adalah ketika karakter dalam film berbicara atau menunjukkan ekspresi pada penonton seakan-akan tidak ada pembatas antara karakter dan penonton. Buat yang udah pernah nonton Deadpool, tentu sudah tidak asing dengan teknik ini. Penggunaan teknik ini di Aruna dan Lidahnya saya nilai cukup tepat karena berhasil membangun hubungan yang lebih intim antara penonton dengan karakter Aruna. Beberapa kali seisi bioskop tertawa gemas saat Aruna menampilkan ekspresi tertentu dengan menggunakan teknik breaking the fourth wall.
Segi artistik juga ditampilkan dengan sangat baik dalam film ini. Sinematografi di film ini mampu menghadirkan gambar-gambar yang tidak hanya enak dilihat namun juga mampu membangun emosi penonton dengan efektif. Pemilihan pakaian untuk keempat karakter utama juga bisa menggambarkan sifat mereka dengan baik. Dan yang pasti sih, (((color gradingnya))) bagus hhe hhe.
Tentu saja film ini tidak lantas bebas cela. Ada beberapa bagian yang saya pikir sebaiknya dihilangkan saja karena kurang memiliki fungsi dalam keseluruhan plot. Ada juga bagian yang sepertinya kurang pas, seperti bagian yang menampilkan kamar kecil yang berada di antah berantah yang ternyata memiliki interior yang sangat bagus. Tapi semua itu hanya kesalahan-kesalahan minor dan masih bisa dimaafkan.
Aruna dan Lidahnya tidak hanya menampilkan close-up berbagai jenis makanan yang sudah pasti akan menerbitkan liur dalam rongga mulut penonton. Lebih dari itu, film ini berusaha untuk menyampaikan bahwa hubungan antar manusia pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan hubungan setiap bahan yang digunakan dalam suatu sajian makanan.
Kita boleh saja mempunyai sifat yang berbeda atau bertolak belakang. Kita boleh saja memiliki perbedaaan pendapat atau perbedaan sudut pandang saat melihat hal tertentu. Sama halnya dengan makanan yang tersusun dari berbagai bahan dengan rasa yang berbeda. Namun dengan takaran yang pas dan teknik mengolah yang tepat, bahan-bahan tersebut akan melebur dan menciptakan rasa baru yang pas di lidah.
Buat kamu yang sehabis menonton film ini masih bingung dan bertanya, “Emangnya lidah Aruna kenapa, sih?”, ingat kembali monolog Aruna di awal film ini. Jawabannya ada di sana. Yang “salah” pada Aruna bukanlah lidahnya melainkan hhe hhe~