Aa Gym yang baik,
Nama saya Dhani, saya adalah anak bungsu dari ibu yang menggemari dan menggilai sosok Anda dengan sangat hebat. Hampir setiap pagi, dahulu, ibu saya memutar acara tausiah Aa dengan volume kencang. Alasannya sederhana, agar saya mau bangun pagi dan salat subuh.
Aa adalah jagat lain ibu saya selain cucu-cucunya. Bagi ibu saya, Aa Gym adalah sumber kebenaran. Aa memberikan dakwah yang teduh, ilmu agama yang mudah dipahami, dan lebih dari itu, bagi ibu saya, Aa adalah contoh lelaki sempurna. Setia pada satu istri.
Tapi itu dulu, dulu sekali, sebelum Aa poligami.
Tenang saja, A. Saya mah tidak akan abong letah teu tulangan. Selain karena ghibah itu dosa, kehidupan pribadi Aa mah hak Aa sendiri, saya tak punya hak menilai apalagi merasa sok suci.
Begini, A. Akhir-akhir ini, saya merasa kehilangan sikap ramah dan keteduhan yang menjadi ciri khas Aa. Anda tiba-tiba menjadi polisi moral yang perlu menilai orang lain, bahkan pada satu titik, Aa malah menjadi pakar politik yang menilai baik-buruknya pemimpin berdasarkan agamanya. Ada apa, A?
Perkara keilmuan agama, tentu Aa lebih lihai dan lebih tinggi daripada saya. Da aku mah apa atuh, A. Saya paham, barangkali Aa merasa perlu untuk jadi pengingat. Mungkin, bagi Aa, Ibu Susi Pudjiastuti yang merokok tampak seperti ancaman bagi umat. Sampai-sampai, kepada Republika AA berkata, “guru-guru akan susah. Nanti kalau guru nanya ke muridnya, ‘Kenapa kalian merokok?’ ‘Kan Bu Menteri Merokok, Bu.‘”.
Saya kira ada sesat pikir dalam perkataan AA tersebut, A.
Jika karena Ibu Susi merokok maka menjadi pembenaran bagi anak anak untuk merokok, maka, ada baiknya kita ajarkan anak-anak kita untuk tidak menepati janji. Mengapa tidak? Presiden SBY pernah berjanji untuk menyelesaikan kasus Munir, bahkan menyebutnya sebagai the test of our history. Ujian terhadap sejarah bernegara kita. Toh, sampai akhir masa jabatannya, ia tidak menepati janjinya.
Ada baiknya pula kita ajari anak-anak kita untuk korupsi sejak dini. Al Quran kitab suci kita yang mulia saja bisa dikorupsi Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama. Bayangkan, A, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama! Seorang pejabat Kementrian Agama, yang pasti beragama dan mengurus kitab suci saja bisa korup. Masa kita yang umat biasa tidak boleh korup?
Atau begini, A. Mantan Menteri Agama kita Suryadharma Ali saja bisa jadi tersangka kasus korupsi, masa kita tidak? Logika ini sejalan dengan logika pernyataan Aa tentang anak-anak yang akan meniru: Bu Menteri saja merokok, masa kita tidak.
Dibandingkan Bu Susi, jelas ada yang pendidikannya lebih tinggi, berjilbab, tidak kawin-cerai dan tidak bertato. Namanya Ratu Atut. Ada pula Chairunnisa, politisi Partai Golkar yang tertangkap tangan dalam proses penyuapan Akil Mochtar. Chairunnisa ini berkerudung, bahkan sarjananya di Fakultas Pendidikan Agama Islam di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan dilanjutkan program S2 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bayangkan A, berpendidikan tinggi agama Islam.
Apakah kita akan membenarkan pernyataan almarhum Abdul Qadir Audah tentang problem umat Islam, “Al-Islam baina Jahli Abnaihi wa ‘Ajzi Ulama’ihi”, bahwa Islam berada di antara kebodohan umatnya dan ketidakmampuan ulamanya? Padahal di sisi lain, Paus Franciskus telah menjebol perseteruan abadi antara kaum agamawan yang menolak teori ledakan besar dan evolusi dengan para ilmuwan pendukungnya.
Di hadapan para tamu di Pontifical Academy of Sciences, Paus Franciscus mengatakan bahwa Tuhan bukanlah pesulap, namun pencipta yang membawa kehidupan.
“Evolution in nature is not inconsistent with the notion of creation, because evolution requires the creation of beings that evolve.”
Ketika umat lain telah merangkul ilmuwan untuk kemudian mengembangkan keimanan yang lebih teduh dan lebih toleran, apakah kita, umat Islam, akan turun kategori hanya dengan mengurusi tampilan luar seseorang?
Tapi ya sudah ya, A. Liyeur mikirin orang lain. Lebih baik kita teh mikirin diri sendiri saja.
Alhamdulillah, berbeda dengan Ibu, saya tetap mengidolakan sosok Aa. Saya berharap bisa sukses seperti Aa. Semoga dalam waktu dekat saya bisa mengikuti jejak Aa sebagai pengusaha.
Selain itu, saya mau berdamai dengan Abah saya yang punya istri banyak. Selama ini saya bersitegang dengan beliau karena keputusannya menikah lagi. Tapi setelah saya berjumpa dengan Aa, saya mengerti alasannya meninggalkan kami sekeluarga. Poligami enak kan, A?