Saya sudah lama mencintai dunia tulis-menulis, tapi mengungkapkannya masih saja malu-malu. Pun ketika saya mengenal mojok.co beberapa tahun yang lalu, saya butuh waktu lama untuk mbribik dan memantaskan diri untuk menulis disini. Lha wong, saya merasa bukan termasuk orang yang sedikit nakal apalagi banyak akal. Tapi ya, semoga mojok.co mau menerima saya apa adanya.
Di tulisan pertama saya ini, saya ndak mau ngomongin isu-isu terkini. Saya ndak punya tipi. Mau buka website berita pun harus mengandallkan pasokan wifi. Jadi kayaknya saya merasa ndak punya banyak referensi. Mau menganalisis masalah negeri pun kok ya rasanya ilmu saya belum cukup mumpuni. Jadi yang bisa saya bagikan ya cuma sekelumit perenungan diri.
Saya suka ngobrol. Dengan siapapun. Dengan topik apapun. Mungkin itu juga awal mengapa saya juga suka menulis. Intinya, saya suka bertukar pikiran. Bersosialisasi serta memperluas jaringan dan pengalaman dengan saling berbagi cerita. Bercakap-cakap bagi saya adalah sebuah seni. Sama seperti membaca, pesan dari percakapan tidak hanya terlihat dari apa saja yang tersurat tapi juga setiap gerakan dan intonasi yang tersirat. In a conversation, the meaning is not the words but the tone. Karena itu percakapan sesederhana apapun itu buat saya akan selalu indah, berkesan, dan terkenang.
Lawan bicara saya tak terbatas oleh kriteria apapun. Mulai dari penumpang kereta yang duduk persis di sebelah saya, bapak penjual angkringan, mas penjual es krim Walls, mbak di tempat laundry, dan banyak lagi orang dari segala macam pekerjaan yang berbeda.
Kadang rasanya aneh jika harus terjebak situasi bersama seseorang lebih dari 10 menit tanpa berbicara apapun. Pasti ada beberapa kalimat tanya-jawab yang terlontar. Kadang saya coba untuk berdiam diri. Kadang berhasil, tapi kadang keinginan untuk mengobrol itu keluar begitu saja tak terkendali. Tujuannya memang kadang hanya untuk basa-basi pengusir keheningan. Tapi sampeyan mungkin tak akan pernah menduga pengalaman baru apa yang bisa didapatkan dengan basa-basi itu.
Beberapa teman saya pun sudah hafal. Hang out terbaik buat saya bukan pergi ke tempat yang sedang hits, instagramable, atau bisa dipamerkan. Buat saya, hang out terbaik bersama teman adalah pergi ke suatu tempat dimana saya bisa duduk bersama, berbagi cerita tentang kehidupan, cinta, pengalaman, atau kesedihan. Apapun. Ya, apapun. Tanpa rasa takut dan segan. Tapi mungkin itulah salah satu seni dari sebuah obrolan. Memainkan irama obrolan dan memilah apa yang patut dikonsumsi. Kapan harus bercerita dengan bebas, kapan harus menyimpan privasi untuk diri sendiri. Because some words are better left unspoken.
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah tentang percakapan mana yang paling saya sukai. Jawabannya adalah percakapan basa-basi. Mengapa? Mari tak jelaske. Di percakapan jenis ini, tidak ada tujuan yang ingin diraih oleh kedua pihak. Satu-satunya hal yang diinginkan oleh kedua pihak hanyalah berbicara satu sama lain. Tujuan tertinggi yang dicapai adalah pembicaraan itu sendiri. Tidak ada konflik kepentingan diri dalam percakapan basa-basi.
Mungkin sampeyan pun pernah mengalami kejadian dimana sampeyan sedang bercakap-cakap bersama seseorang yang dekat. Di tengah percakapan, sampeyan berdua akan diam dan saling membuang pandangan. Bukan karena salah satu pihak mulai merasa bosan, tapi justru terlalu banyak hal yang sudah sampeyan bagikan dengan orang tersebut hingga tidak ada satu pun hal lagi yang tidak dia ketahui dari sampeyan maupun sebaliknya. Topik sudah habis. Sampeyan sudah tidak tahu mau berkata apa lagi (mungkin dia juga). Namun, kalian berdua tidak ingin kebersamaan itu berakhir dengan cepat. Sampeyan ingin berbicara. Entah tentang apa saja. Yang penting sampeyan berbicara dengannya. Sampeyan mengedarkan pandangan ke sekeliling dan berbagai pertanyaan bodoh mulai sampeyan keluarkan
“Kamu suka makan bubur pake sumpit?”
“Tau gak kenapa gajah punya ingatan yang kuat?”
“Waktu kecil suka mainan keong?”
“Dulu pas sunat rasanya sakit nggak?”
Bodoh. Tidak penting. Namun itu adalah satu-satunya cara bagi sampeyan agar bisa berinteraksi.
Sampeyan juga mungkin pernah merasakan ketika dini hari sampeyan masih mengobrol dengan seseorang lewat layanan chat atau lewat telepon. Semakin berat kelopak mata sampeyan, namun percakapan yang terjadi justru semakin mengalir. Berbicara tentang kehidupan, masa lalu yang sudah terlewatkan, dan masa depan yang siap disambut dengan harapan. Mata sampeyan semakin tertutup, namun tidak ada keinginan untuk menyudahi obrolan sama sekali. Sampeyan mulai menghembuskan nafas berat, mungkin yang disana juga.
Sepi. Hening. Hanya ada hembusan nafas. The silence is not awkward anymore. It’s shared sincerely.
Piye? Indah tho? syahdu tho?…
Sayangnya, percakapan favorit saya ini, semakin sulit ditemui. Saya pernah disentak seorang teman: “Ndak usah ngajak ngobrol kalo cuma ngomongin hal yang gak penting!”
Kayaknya ucapan teman saya ini bisa saya ambil sebagai kecenderungan manusia modern masa kini. Manusia yang menganggap manusia lain berguna sejauh ia mampu memberikan kepentingan bagi orang lain. Manusia yang menganggap sebuah percakapan bukanlah sebagai kebutuhan, tetapi sarana untuk mencapai tujuan dan keinginan.
Rasa kemanusiaan saya rasanya ditampar. Bolak-balik. Beginikah cara manusia modern memanusiakan manusia? Manusia yang berorientasi pada keuntungan semata. Manusia yang bisa menyingkirkan sesamanya kapan saja sejauh sesamanya tidak bisa memberikan apa-apa. Plak! Saya tertampar lagi.
Kalau sudah begitu, lambat laun saya akan kehilangan partner untuk percakapan basa-basi. Semakin sedikit yang bisa diajak ngobrol hanya untuk ngobrol, bukan dalam rangka mencapai tujuan lainnya. Lalu, apakah saya akan berhenti? Tidak. Saya akan tetap bercakap-cakap tentang segala peristiwa yang terjadi. Namun kali ini, lebih sering kepada diri sendiri. Atau baiknya saya belajar untuk menulis di situs ini, karena saya tahu semua pembaca mojok.co baik hati.
Basa-basi memang percakapan yang tidak bermutu, namun, bukankah hidup tak selalu tentang sesuatu yang bermutu?