Seperti halnya “Genjer-Genjer”
Karena militer dan Orde Baru menganggap Lekra sama dengan PKI, Sudharnoto yang pernah bekerja di RRI Jakarta kemudian dikejar-kejar dan dibui. Setelah keluar penjara sekitar 1968—1969, ia bekerja sebagai penjual es dan sopir taksi. Nasibnya memang sedikit lebih beruntung daripada M. Arief yang hilang setelah peristiwa 30 September.
Di mata Orde Baru, kesalahan Arief sangat fatal: menciptakan “Genjer-Genjer”
LBH Jakarta dan YLBHI yang secara historis membela semua kelompok dan ideologi (termasuk kubu Islam garis keras) difitnah sebagai “sarang PKI” dan diserang. Patung Tani yang merupakan simbol mobilisasi umum untuk merebut Papua dari Belanda juga disebut simbol PKI.
Buku Das Kapital yang berisi dasar-dasar pemikiran Komunisme justru disebut “mengajari generasi muda menjadi kapitalis”.
Hanya karena sama-sama berjenggot, foto Mikhail Bakunin yang dicetak di kaos merah salah satu peserta yang datang ke LBH dikira foto Karl Marx dan dianggap sebagai bukti keberadaan komunis di acara itu. Padahal Bakunin penentang Komunisme (negara) seperti yang terjadi di Soviet yang dianggapnya sama menindasnya dengan Kapitalisme.
Kelompok fasis yang membalut identitasnya dengan agama bahkan ngotot menyebut Jokowi adalah komunis meski kebijakan dan proyek-proyek pembangunannya justru sangat kapitalistis dan menimbulkan konflik di mana-mana: reklamasi Teluk Jakarta, sawah sejuta hektare di Papua yang akan dikelola perusahaan (bukan rakyat), atau PLTU-PLTU dan bendungannya yang tidak mencerminkan keadilan ekologis.
Kelompok ini tidak mau tahu dan tidak peduli.
Jokowi dan Istana tetap disebut mendukung kebangkitan PKI. Padahal ia tidak merebut dan membagi-bagikan
Dengan sertifikasi, tanah yang milik pribadi lebih mudah dibeli dan dikuasai modal, seperti kasus komunitas Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat. Beda dengan tanah di Baduy Dalam atau Tenganan Pegringsingan di Karangasem yang tak dapat diperjualbelika
Jokowi harus disebut PKI. Begitu juga PDIP yang dalam sejarahnya merupakan fusi partai nasional seperti PNI dan agama (non-Islam). Meski dalam sejarahnya PNI dan PKI sengit berkonflik (sesengit saling serang antara koran Suluh Indonesia milik PNI dan Harian Rakyat milik PKI). Tapi, gerombolan ahistoris ini tentu tak peduli.
PDIP dianggap sama dengan komunis. Padahal menjadi Marhaenis saja partai ini gagapnya setengah mati. Kader-kadernya seperti Ganjar Pranowo di Jawa Tengah lebih sibuk membela pabrik semen daripada para petani seperti Pak Marhaen yang sedang mempertahankan sumber air untuk mengairi sawahnya sendiri yang sepetak dua petak.
Partai ini bahkan mendukung Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama yang kebijakan pembangunannya menggusur, bahkan dengan melibatkan tentara. Ahok sendiri adalah pejabat yang dengan enteng menyebut warga bantaran Waduk Pluit sebagai “komunis” karena dianggap menduduki “tanah negara”.
Bagi kelompok sejenis “massa 299”, semua itu tak penting dan tak relevan. Mereka kawin-mawin dengan para jenderal dan pensiunan yang rindu masa-masa kejayaan Dwifungsi ABRI Orde Baru. Yang bisa memegang tongkat komando, tapi juga bisa duduk di pemerintahan sebagai pejabat yang mengatur APBN atau APBD. Yang bisa mengerahkan pasukan, tapi juga bisa duduk di DPR ikut membuat undang-undang. Yang tetap mempertahankan baret dan seragamnya, tapi juga bisa duduk di komisaris perusahaan negara, daerah, dan swasta.
Siapa yang tak rindu masa-masa itu? Dan jalan paling murah untuk mewujudkannya adalah menggalang sentimen anti-Komunisme dibalut agama. Karena itu, semua harus di-PKI-kan. Semua adalah PKI.
Padahal merekalah yang PKI: Penduduk Kurang Informasi.