Assalamua’alaikum, Pak Luhut. Sehat, Pak? Alhamdulillah yah. Saya ingin mengawali surat terbuka ini dengan sebuah doa semoga Pak Luhut sekeluarga masih diberi kesehatan dan dijauhi segala macam masalah, khususon macam kasus “Papa Minta Saham” kemarin ini. Amin.
Sebelumnya perkenalkan dulu, Pak, saya Ahmad Khadafi. Bukan siapa-siapa sih, Pak, cuma tukang edit di Islamic Book Corner—versi halalnya Indie Book Corner—yang kebetulan juga pernah agak lama nyantri di sebuah pesantren ndak terkenal di Solo.
Jadi begini lho, Pak Luhut. Maksud hati dari mana surat ini saya bikin adalah—nyuwun sewu sebelumnya—saya sedikit terganggu dengan keterangan Bapak yang dimuat tempo.co pada Kamis, 4 Februari 2016 kemarin. Halah, yang itu lho Pak, di Seminar Ekonomi CIMB Niaga tempo hari. Bapak bilang kalau saat ini banyak pesantren yang sudah terjangkit sama narkoba. Waktu baca itu batin saya langsung nyebut: Astagfirullah, Astagfirullah, Astagfirullah 1000000x. Yah, walaupun cangkem saya misuh-misuh sakjane, Pak. Sepurane.
Saya jelas kaget, soalnya Bapak bilang begini, “Banyak dari mereka (santri—red) yang tidak tahu bahwa yang mereka konsumsi itu adalah ekstasi.”
Saya makin nangis jejeritan waktu njenengan menjelaskan bahwa narkoba yang disebarkan di dalam pesantren itu merupakan iming-iming dari guru berupa vitamin agar para santri jadi kuat ibadah sepanjang malam. Lalu, kata Bapak yang juga ditulis Tempo, efek dari vitamin tersebut kemudian sengaja disebar di kalangan santri agar mereka kecanduan secara perlahan.
Saya sih bukannya gimana-gimana, Pak. Cuma karena saya pernah hidup di pesantren dan pernah main-main ke banyak pesantren, saya merasa mungkin info yang Bapak temukan itu perlu dispesifikasikan lagi. Itu pesantren di daerah mana, kyainya siapa, kyainya punya anak putri enggak, anaknya itu masih jomblo enggak, ada peluang jadi mantu enggak, dan sebagainya, dan sebagainya. Sebab, selain kesannya seolah-olah menuduh kami para santri adalah orang yang gampangan pakai narkoba, keterangan bapak juga terkesan menggenalisir.
Cukup, Pak. Selama ini sudah terlalu sering kami dianggap sebagai embrio kelahiran para teroris di negeri ini. Apalagi kalau ada di antara kami yang memakai celana cingkrang dengan janggut yang memanjang (kalau perlu dikelabang atau digimbal biar jadi tren). Belum pula stereotip di masyarakat yang membuat kami ditatap dengan penuh rasa curiga. Kalau kami bawa tas, dikira bawa bom, kalau kami bawa jaket, dikira pake rompi bom. Bahkan kalau kami enggak bawa apa-apa pun kami tetap dikira… Teroris juga? Bukan, tapi dikira miskin. Eh salah, maksudnya ludah kami yang disangka bisa jadi bom.
Padahal ada lebih banyak dari kami lho Pak, para santri, yang dalam sejarahnya ikut membangun negeri ini, ikut bersama-sama berjuang melawan penjajah, punya pekerjaan baik-baik sekalipun cuma marbut masjid.
Jadi, Pak, hambok dijelaskan lagi itu data dari mana. Saya cuma takut Bapak dapat info tersebut dari intelijen negeri ini. Wajar ‘kan kalau saya ragu, mengingat tempo hari ada anggota intelijen yang bangga setengah modiyar sampai kelepasan mengunggah foto SK pengangkatannya di media sosial. Soalnya, siapa tahu, ini siapa tahu lho, Pak, orang yang kasih info ke Bapak ini cuma lihat dari luarnya saja. Enggak dari dalam. Karena, jujur saja, memang ada beberapa kebiasaan di pesantren yang tampak sepintas seperti transaksi narkoba sih, Pak. Lho?
Baiklah, saya akan ceritakan sedikit soal “transaksi narkoba” tersebut yang saya kira jauh lebih canggih. Ini studi kasusnya di pesantren saya ya, Pak.
Jadi, di pesantren saya itu, Pak, merokok merupakan sesuatu yang dilarang, padahal jumlah perokoknya begitu banyak. Tapi ya cuma dilarang, enggak dilabeli haram kayak yang dilakukan beberapa lembaga di negeri ini. Kenapa dilarang? Ya jangan tanya saya, mending tanya kyainya saja. Lha wong saya cuma santri di sana.
Masalahnya kemudian, para ustadz di pesantren saya ini punya kemampuan mengamati yang tak kalah hebatnya dari intelijen manapun. Maka dari itu, para santri kemudian menggunakan berbagai cara untuk menyelundupkan barang terlarang tersebut ke dalam pesantren. Ada yang disembunyikan di dalam sarung, di selempitan peci, sampai dengan dijepit di dalam kolor—kalau yang ini Insya Allah celana dalamnya halal, tapi enggak tau deh rokoknya jadi halal atau enggak. Seringnya sih malah dianggap mubah, Pak. Dihisap boleh, enggak dihisap ya tak mengapa. Bebas, Pak. Bisa dibuktikan.
Saya sebenarnya bisa saja kasih cerita yang banyak lagi, Pak. Cuma saya khawatir kalau kebetulan kyai saya baca tulisan ini, terus blio jadi memperketat aturan larangan merokok di pesantren. Kan kasihan adik-adik kelas saya di sana jadi enggak bisa merokok. Nanti saya yang disalahin. Terus saya bisa digebukin pas reunian. Bapak tega saya digebukin? Saya nangis lho, Pak. Nangis beneran. Saya aduin ke Bapak saya, lho.
Bapak juga menyebut bahwa motif persebaran narkoba di pesantren adalah agar para santri kuat beribadah semalam suntuk. Walah, itu sih jelas terlalu dibuat-buat Pak. Di beberapa pesantren, beribadah semalam suntuk itu adalah kewajiban. Jadi kalau enggak dilaksanakan, kami bisa dapat voucher barbershop dengan template potongan yang sudah baku: bokis, botak klimis. Dan karena kebanyakan dari kami ogah menjalaninya, lalu sok ikut-ikutan jadi alim hanya karena takut kena hukuman, akhirnya kami jadi menguasai ilmu tidur di manapun dan di situasi apapun.
Lha piye? Anggota DPR saja sering tidur kok di rapat-rapat penting soal rakyat, mosok santri enggak boleh tidur soal urusan kami sendiri sama Tuhan?
Kalau Bapak main ke pesantren-pesantren, pengaplikasian ilmu tidur itu jadi pemandangan lumrah lho, Pak. Bapak jangan kaget jika melihat, misalnya, ada bocah sholat malam yang enggak rukuk-rukuk. Sebab setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata si bocah lagi tidur dalam posisi berdiri. Atau ada santri yang baca doa-doa sampai mata terpejam, mulut komat-kamit, tapi kepalanya sedikit demi sedikit makin menempel ke lantai. Fyi aja sih, Pak, itu bukan ilmu yang sulit.
Pengalaman-pengalaman semacam itu sebenarnya membuktikan, bahwa sekalipun narkoba memang disebarkan diam-diam di pesantren agar kami kuat dalam ibadah malam, kami ya tetap bakalan tidur, Pak. Wong pada dasarnya kami emang males, kok. Emang Bapak pikir kami semua beneran alim gitu? Lagian ya, Pak, mau nenggak narkoba jenis paling kuat apapun, tetap enggak ada apa-apanya dibanding sabetan tongkat rotan ustadz pesantren kami. Narkoba ‘mah cuma sedotan aqua bagi kami, Pak. Enggak bakal terasa khasiatnya. Hambok yakin.
Demikianlah, Pak. Sebagaimana pengalaman Bapak dulu yang marah-marah tak terima karena pernah dicatut namanya dalam kasus “Papa Minta Saham”, kami para santri ini juga merasa gelisah dengan sikap overgeneralisir njenengan. Dan sebelum ini semua jadi bola salju yang bikin masalah baru, saran saya sih ada baiknya Pak Luhut segera mengklarifikasi pernyataan tersebut. Minimal melacak sendiri kebenaran isu tersebut dengan menyamar sebagai santri.
Jangan ragu, Pak. Mosok cuma Pak Wiranto saja yang boleh menyamar? Bapak apa enggak kepengen ikutan?