MOJOK.CO – Mahkamah Agung (MA) beberapa kali memberi keringanan hukuman bagi para pelaku korupsi. Wah, sunatan massal untuk para koruptor nih. Aseeek.
Usai revisi UU KPK yang berakhir dengan dahsyat, ditambah dengan Dewan Pengawas KPK yang belum juga dibentuk sampai sekarang, langkah-langkah pemangku kekuasaan yang begitu peduli dengan para koruptor patut diapresiasi.
Kejadian yang terbaru, Mahkamah Agung (MA) sukses menyunat hukuman pelaku korupsi Idrus Marham, mantan Menteri Sosial.
Nggak main-main, mantan politisi Partai Golkar itu tadinya kena vonis 5 tahun penjara karena secarah sah dan meyakinkan melakukan korupsi, tiba-tiba hukumannya dikorting MA jadi 2 tahun doang. Keputusan ini diambil MA setelah pihak Idrus Marham mengajukan kasasi.
“MA menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp50 juta subsider 3 bulan kurungan,” kata Samsan Nganro, Juru Bicara MA.
Secara otomatis putusan kasasi ini segera menganulir putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memberi vonis 5 tahun. Meski pun sebenarnya MA tetap masih menyatakan Idrus Mahram terbukti melakukan tindak pidana korupsi (tipikor). Menurut MA, ada beberapa pasal dari jaksa yang dihapus karena dianggap tidak tepat.
Lebih luar biasanya, MA bahkan tidak hanya melakukan sunatan hukuman untuk para koruptor secara kecil-kecilan, tapi sampai sunatan massal. Setidaknya, dalam tahun ini saja, sudah ada sampai 7 koruptor yang memanfaatkan gelar “sunatan massal” ala MA ini.
Sebelum Idrus Marham, ada mantan DPRD DKI Jakarta, M. Sanusi. Politisi yang dulu dikenal begitu keras dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Adik dari M. Taufik (anggota DPRD Jakarta) ini mengajukan kasasi dan dikabulkan oleh MA. Sanusi yang dijerat karena kasus suap perizinan Reklamasi Pantai Jakarta disunat hukumannya, dari 10 tahun jadi 7 tahun.
“Kami selaku tim kuasa hukum M. Sanusi sangat mengapresiasi putusan peninjauan kembali klien kami. Untuk kami, putusan tersebut kami rasa cukup memenuhi frasa keadilan,” kata Adhitya A. Nasution, kuasa hukum Sanusi, pada November 2019.
Padahal Sanusi secarah sah terbukti menerima suap sebesar Rp2 miliar dari bos Agung Podomoro Land. Tapi karena—mungkin—MA lagi mau menggelar sunatan massal bagi para koruptor, pengurangan hukuman itu pun diberikan secara ajaib.
Selain Sanusi, masih ada juga mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Patrialis Akbar. Hakim MA menyunat hukuman Patrialis dari 8 tahun menjadi 7 tahun. Yah, lumayan dapat kortingan 1 tahun ya kan?
Hal yang lebih keren lagi adalah ketika MA menyunat hukuman dari pengusaha Tamin Sukardi. Dari awalnya vonis 8 tahun penjara menjadi hanya 5 tahun penjara.
Puadahal, Tamin Sukardi tidak hanya terbukti sudah melakukan korupsi, melainkan juga pernah menyuap hakim hakim pada perkara yang sama di tingkat pertama. Upaya penyuapan ini bahkan ketahuan.
Ibarat udah tersangka korupsi, waktu kasusnya disidang malah bikin kejahatan lagi. Hebat bener ini nyalinya.
Uniknya, bukannya mendapat hukuman yang lebih berat karena sudah tersangka korupsi (sebanyak Rp132 miliar) plus pernah menyuap hakim, Tamin Sukardi malah dapat keringanan hukuman lagi di tingkat kasasi. Benar-benar penuh rasa keadilan bagi mereka, orang-orang kaya yang berpikir.
Yaah, mungkin saja hakim MA waktu itu merasa keringanan ini perlu karena memandang nyali si pelaku yang luar biasa. Udah disidang, ditetapkan tersangka, mau nyuap hakim di tingkat pertama lagi. Sebuah langkah yang barangkali bagi hakim MA patut untuk diapresasi. Makanya kasasinya dikabulkan.
Ini belum memasukkan nama OC Kaligis. Pengacara senior ini tertangkap basah karena terbukti menyuap hakim Panitera PTUN Medan sebesar 27 ribu dollar AS dan 5 ribu dollar Singapura. Kaligis mendapat keringanan dari MA, yang tadinya divonis 10 tahun penjara, sejak Maret 2019 lalu akhirnya dikurangi 7 tahun penjara.
Alasannya? Haayaaa tentu saja: kemanusiaan.
Dari beberapa terobosan hakim MA yang berbudi luhur dan mulia ini kita bisa belajar bagaimana menjadi hakim yang adil untuk Bangsa Indonesia. Bahwa orang-orang kayak mereka perlu untuk mendapatkan rasa keadilan sebesar-besarnya. Tentu saja rasa keadilan berdasar dari persepetif pelaku korupsi. Bukan dari masyarakat yang cuma bisa gigit jari.
Hujatan dari netizen soal keputusan ajaib dari MA selama satu tahun ini juga sebaiknya tak perlu didengarkan oleh para hakim MA. Mengingat secara konstitusi, para hakim MA memang tidak diharuskan untuk mendengar suara publik. Sebab kekuasaan mereka sangat mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.
KPK tentu saja jadi pihak yang paling menyesalkan keputusan hebat MA ini.
“Kalau seseorang pelaku korupsi sudah terbukti bersalah, tentu harapannya bisa dijatuhi hukuman semaksimal mungkin sesuai perbuatannya. Ini yang harapannya bisa menjadi kontemplasi ke depan agar kierja yang dilakukan penyidik, penuntut umum, hakim di tingkat pertama, di tingkat kedua, sampai tingkat kasasi itu berada dalam visi yang sama soal pemberantasan korupsi,” kata Febri Diansyah, Juru Bicara KPK.
Meski begitu, KPK mengaku tetap menghormati keputusan para hakim MA yang sudah berbaik hati bikin “sunatan massal” untuk para pelaku korupsi. Bahkan, tercatat sepanjang satu tahun ini MA sukses menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah.
Asas yang lebih berlaku lagi untuk para pejabat negara, pengusaha-pengusaha tajir, atau mereka yang punya kuasa. Bahwa selama ada uang dan kekuasaan, hukuman dari kejahatan korupsi bisa kok untuk dibicarakan dikasasi.
Terima kasih Mahkamah Agung. Maaf kalau jadi merepotkan begini. Lain kali, ditunggu lagi terobosannya. Mumpung ada UU KPK yang baru tuh. Eh.
BACA JUGA Surat Terima Kasih untuk DPR dan Jokowi atas Revisi UU KPK atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.