MOJOK.CO – Sudahlah, akui saja kalau kita sebenarnya menikmati keributan yang terjadi gara-gara Pilpres 2019 kali ini. Nggak usah malu-malu gitu deh.
“Wah, mampus nih, kalau habis Pilpres 2019 selesai, bisa-bisa nggak ada isu politik yang ramai nih,” kata seorang kawan.
Mendengar ungkapan kawan lama ini sejujurnya saya heran setengah mampus. Ya iya dong, kawan saya ini sudah bekerja di media massa jauh sebelum Pilpres 2014, lima tahun silam, apa ia lupa justru situasi Indonesia itu jauh lebih hangat (kalau tak mau disebut panas) setelah kontestasi pemilihan politik usai?
Oke deh, saya bisa maklum. Beberapa bulan sebelum hari coblosan Pilpres 2019 harus diakui iklim yang dirasakan benar-benar membosankan. Masyarakat kayaknya betul-betul muak.
Hal yang wajar kalau kamu mendapati ada saja teman-teman di sekitarmu yang berkomentar di laman media sosialnya, “Semoga Pilpres 2019 segera usai,” atau “Udah muak dengan cebong-kampret,” atau, “Kayaknya ini deh alasan Belanda ogah menjajah Indonesia lagi.”
Turunnya minat masyarakat politik jelang hari coblosan juga ditandai dengan munculnya gerakan golput. Tentu bukan golput karena apatis, melainkan justru kelompok golput ideologis yang secara sadar benar meyakini bahwa polarisasi bangsa ini terjadi karena dua pilihan yang tersedia tidak lebih baik satu sama lain.
Kredo yang dikenal kemudian; yang lebih buruk sih banyak, tapi memangnya ada ya yang lebih baik?
Lalu muncul serangan-serangan kepada gerakan ini seolah mereka kelompok yang tidak bermoral, tidak peduli masa depan bangsa, dan sebagainya dan sebagainya.
Bahkan elite-elite partai ikut menyerang masyarakat yang golput secara ideologis (tetap berangkat ke TPS tapi coblos dua-duanya). Bukannya diajak untuk diyakinkan milih, malah makin dimusuhi, ya kabur lah mereka semakin ogah milih. Gimana sih?
Uniknya, turunnya minat masyarakat “membahas” politik jelang hari coblosan langsung dikeluarkan secara serentak usai coblosan. Seperti orang yang lagi berbuka puasa, semua isu Pilpres 2019 dilahap tanpa ampun. Ramai. Ribut lagi.
Damai beberapa bulan, langsung panas dalam hitungan jam. Seolah-olah pepatah panas-setahun-reda-karena-hujan-sehari malah terbalik kalau situasinya kayak Pilpres 2019 kali ini.
Pendukung Jokowi bersorak-sorai ketika melihat Prabowo melakukan sujud syukur kemenangan. Bahkan ada yang sampai mengeluarkan pernyataan di luar kendali, seperti istrinya Andre Taulany misalnya yang dipolisikan karena menghina Prabowo.
Pendukung Prabowo pun geram karena menemukan dugaan-dugaan kecurangan yang dianggap menguntungkan pasangan calon nomor urut 01. Berikut dengan foto dan video yang tersebar di media sosial.
Sedangkan mereka yang golput, sedang kipas-kipas santai di kursi duduknya sambil posting status senggol sana-sini karena merasa tidak punya beban kesalahan.
Dan semua ingar-bingar ini dimulai justru ketika Pilpres 2019 dianggap “sudah selesai” secara de jure, alias usai coblosan. Meski pada kenyataannya secara de facto “kehangatan” Pilpres 2019 tak pernah usai sampai Pilpres 2024 esok.
Begitu kertas suara udah dicoblos, ketika netizen mulai pamer posting jari kena tinta ungu, keributan yang sebenarnya justru baru dimulai. Karena apa? Ya karena landasan keributannya ada legitimasi dan baru aja terjadi. Masih anget-anget tai ayam.
Kecenderungan seperti ini sebenarnya memang udah jadi kebiasaan kita. Masyarakat Indonesia—harus diakui—memang membutuhkan arena pelampiasan di segala bidang.
Dulu, sepak bola sempat jadi salah satu hal yang mampu dipakai untuk melampiaskan hal-hal yang tak ideal di kehidupan.
Orang-orang berbondong-bondong menyukai sebuah klub sepak bola, lalu ketika menonton pertandingan di televisi atau stadion, persoalan kehidupan seolah-olah lenyap. Tujuan kehidupan jadi lebih praktis. Asal klub idola saya menang, saya senang, meski perut ini nggak bisa kenyang.
Selain sepak bola, ada juga yang mengalihkan pelampiasan kehidupan ke dangdutan. Berjoget dengan ritme yang mengasyikkan bikin lupa sama persoalan hidup. Biaya sekolah anak hilang sekejap dalam alunan musik dan jogetan dangdut. Kehidupan ekonomi mencekik? Ya udah, dijogetin aja.
Lalu, ketika media sosial mulai sangat kencang, politik muncul menjadi arena pelampiasan baru. Masyarakat jadi punya akses langsung untuk melihat yang terjadi dan mengomentarinya dalam hitungan detik situasi di Istana atau di Gedung Parlemen.
Wilayah-wilayah yang tadinya tak bisa digapai itu, akhirnya tersentuh. Bisa ngomongin Presiden secara langsung, dapat tangapan ribuan orang di media sosial. Bisa kritik kebijakan ini-itu, akhirnya dikenal sebagai seleb-seleb di “dunia baru”. Seleb Facebook, seleb Twitter, sampai seleb Instagram.
Tiba-tiba “wakil-wakil rakyat” bermunculan di media sosial. Semua jadi bisa ngomongin negara, semua mendadak jadi paling jago ngomongin keadilan, bahkan semua jadi pandai di segala bidang keilmuan. Dan hal yang membuat hal itu bisa memungkinkan terjadi ya karena adanya akses, atau yang bisa kita sederhanakan dalam bentuk: media sosial.
Melalui media sosial (baca: akses) kita jadi bisa melihat diri sendiri ada pada sosok Jokowi atau Prabowo. Kita jadi sangat marah, ketika representasi kita ini dihina, dimaki, difitnah, atau—sekadar—dikritik. Atau kita jadi sangat bangga ketika representasi ini dipuji setinggi langit.
Karena di sana, ada keterwakilan diri kita yang ideal. Dan kita ogah kalau konsep ideal itu dirusak dan senang kalau konsep ideal itu dipuja.
Lalu dangdutan dan sepak bola tak lagi menarik lagi jadi pelampiasan. Keduanya akhirnya cuma jadi pengalihan sementara saja. Politik, pilpres, Jokowi, dan Prabowo menjadi jauh lebih seksi, dekat, gampang disentuh, dan mudah dipahami oleh kita semua yang awam.
Hal yang tadinya hanya bisa jadi santapan para elite, kini cuma jadi cemilan sehari-hari sambil garuk-garuk selangkangan.
Diomongin di media sosial, merembet ke warung kopi, lalu diupload kembali di Youtube, dibahas lagi, ditonton lagi, dibahas lagi, diupload lagi, begitu seterusnya. Menjadi lingkaran konsumsi-produksi-konsumsi-produksi tanpa henti.
Sampai akhirnya dunia politik beserta pilihan-pilihannya jadi wahana bermain yang menyenangkan.
Lalu tanpa sadar, hal-hal semacam ini jadi patokan dalam memilih pertemanan, menjadi landasan dalam memilih pasangan, bahkan dalam posisi tertentu jadi dalil sesama umat beragama saling bertentangan.
Di balik segala keriuhan dan mau sekotor apapun politik, sebenci apapun kita terhadap efek yang terjadi karena politik dengan drama Pilpres 2019-nya, akui sajalah, diam-diam kita mengharapkannya. Kita muak, tapi diam-diam menyukainya.
Tak usah soksokan menjadi kaum moralis lalu berupaya mendamaikan keributan ini. Lha wong dasarnya, rakyat emang suka banget ribut kok. Pilpres mah cuma alasan aja.
Selain itu, ada satu lagi bukti kenapa kamu doyan dengan keributan ini semua. Yakni, mata kamu yang betah baca tulisan ini sampai kalimat terakhirnya.