MOJOK – Pakai sarung, peci beludru hitam, baju koko itu memang peka jaman, tapi semua berubah sejak bom Surabaya menyerang. Peka jaman masih, peka situasi sudah enggak.
Negeri ini memang ajaib, di saat masih berduka karena kasus bom Surabaya kita masih bisa melihat sebuah kisah jenaka dari seorang santri. Sebuah video yang viral di media sosial menggambarkan bagaimana seorang santri sempat mencak-mencak karena diminta banyak polisi bersenjata laras panjang untuk mengeluarkan isi kardus dan tas yang dibawa.
Saya paham bagaimana perasaan si santri. Ya jelas emosi, cuma mau ngaji malah dikira bawa bom. Sebab hal itu mengingatkan akan diri saya sendiri kalau lagi mau pulang dari pesantren ke rumah atau sebaliknya. Bawa tas ransel, bawa kardus, mengenakan sarung, pakai baju koko, dan peci beludru hitam. Itu adalah setelan lumrah seorang santri yang tak tergerus jaman. Bener-bener fesyen yang peka jaman tenan. Mau celana cutbray sampai potlot berganti-gantian jadi tren, sarungan tetep juara. In sarong we trust.
Betul memang setelan itu peka jaman, sayangnya jebul tidak peka situasi. Di saat polisi mulai paranoid karena kasus bom Surabaya, semua orang yang mengenakan baju “terlihat Islami” di tempat umum jelas akan dicurigai. Kalau mau melihatnya dari sisi polisi, sebagai seorang santri juga, saya jelas tidak bisa menyalahkan polisi begitu saja. Mereka tentu trauma mengetahui teman-temannya jadi korban kebiadaban pelaku bom Surabaya.
Jelas polisi juga tahu, bahwa mereka bisa saja memakai detektor logam untuk memeriksa isi kardus dan tas si santri, tapi tentu mereka takut, gimana kalau lagi dideketin ternyata malah meledak? Ketakutan-ketakutan semacam itu wajar saya kira. Yang saya pikir tidak wajar adalah beberapa hal yang tidak diketahui warganet sehingga seenak udel sendiri menyalahkan sikap pencegahan bapak-bapak polisi.
Perlu diketahui bersama, saudara-saudaraku yang budiman. Kami ini, kaum santri, memang kadang kurang apdet sama berita-berita terbaru. Ya, wajar—dalam lingkungan pesantren ada berbagai hal yang lumrah kamu akses tapi tidak bagi kami. Saya akan cerita saja soal pengalaman saya sendiri untuk memberi gambaran kenapa si santri sempat emosi ketika disuruh mengeluarkan isi tas dan isi kardusnya.
Begini. Di pesantren saya, televisi itu ada. Cuma satu. Satu untuk seribu lebih santri malah. Jangan kamu bayangkan televisi itu ukurannya sebesar layar bioskop karena untuk seribu santri. Televisi di pesantren saya hanyalah televisi tabung dengan ukuran 20 inchi. Bahkan dengan ukuran televisi di tempat kos kamu saja—yang kadang cuma dipakai buat suara kemresek pengantar tidur—enggak ada seupil-upilnya terwelu. Itu belum termasuk dengan gambar yang tiba-tiba bruwet, atau pengaturan warnanya eror, jadi bikin gambar ada garis-garis warna enggak jelas.
Satu televisi itu pun tidak bisa kami nyalakan seenak kami sendiri. Ada waktu-waktu khusus. Dan karena libur di pesantren saya jatuh pada hari Jumat, maka tontontan kami adalah program-program televisi horor pada malam Jumat (dulu “Dunia Lain” masih jadi acara yang kondang di tempat saya sih). Karena jatah nonton televisi cuma sekali dalam seminggu, jelas kami enggak sudi nonton berita. Lha piye? Selama sepekan kami digembleng hapalan kitab-kitab sampai surat-surat kitab suci, masak iya kami enggak boleh dapat hiburan? Mau nonton berita? Idih, ogaaaah.
Pada akhirnya, kami memang kurang apdet untuk situasi-situasi yang sedang terjadi. Ada memang koran yang nongol di halaman pesantren. Tapi karena kalau baca sulitnya minta ampun, soalnya bayangan tulisan di halaman belakang koran pasti mecungul karena pantulan sinar matahari. Hal ini jelas bikin mata jadi keriting. Oleh sebab itu, lebih banyak santri yang enggan untuk baca koran—kecuali satu: hasil pertandingan sepak bola.
Itu belum termasuk dengan penempelan koran yang tidak selalu sesuai jadwal. Koran edisi tanggal 1 Juni misalnya, bisa aja baru ditempel tanggal 3 Juni. Praktis, kami selalu ketinggalan berita. Dan bagi kami, ya itu enggak masalah sama sekali, karena persoalan terbesar kami saat itu cuma satu: besok setoran hapalannya gimana ya?
Itulah kemudian yang membuat saya patut untuk curiga bahwa Mas Santri yang mencak-mencak itu enggak tahu apa yang sedang terjadi. Enggak tahu kalau di Surabaya sedang ramai karena ada aksi terorisme yang mengatasnamakan agama si santri. Ya karena enggak tahu, terang saja si santri emosi. Namanya juga enggak tahu kan ya wajar. Nyatanya, setelah dijelaskan baik-baik oleh polisi, si santri malah ngajak foto selfie.
Nah di sinilah kemudian justru ketidakwajaran yang saya tunjukan di judul terjadi. Itu hape yang buat foto hapenya siapa, Mas? Kalau hapenya Pak Polisi sih enggak masalah, lha kalau itu ternyata hapenya santri? Dan postingan foto selfie itu sampai ke pengurus pondok sampeyan gimana? Soalnya, setahu saya, banyak pesantren yang melarang santrinya bawa hape.
Saya malah membayangkan ketika si santri sampai pondok dan niat hati mau kasih cerita menarik ke teman-temannya, yang bersangkutan malah dicegat sama pengurus pondok.
“Oalah, jebul selama ini kamu bawa hape tho? Sini aku sita! Besok lagi enggak usah bawa-bawa hape lagi.”
Duh, Mas, nasib malang. Sudah dikira teroris, hape selundupan melayang.