Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Santri Marah Dikira Bawa Bom lalu Berakhir Selfie sama Polisi itu Enggak Wajar

Ahmad Khadafi oleh Ahmad Khadafi
16 Mei 2018
A A
Peran Penting Kardus dalam Pendidikan Islam

Peran Penting Kardus dalam Pendidikan Islam

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK – Pakai sarung, peci beludru hitam, baju koko itu memang peka jaman, tapi semua berubah sejak bom Surabaya menyerang. Peka jaman masih, peka situasi sudah enggak.

Negeri ini memang ajaib, di saat masih berduka karena kasus bom Surabaya kita masih bisa melihat sebuah kisah jenaka dari seorang santri. Sebuah video yang viral di media sosial menggambarkan bagaimana seorang santri sempat mencak-mencak karena diminta banyak polisi bersenjata laras panjang untuk mengeluarkan isi kardus dan tas yang dibawa.

Saya paham bagaimana perasaan si santri. Ya jelas emosi, cuma mau ngaji malah dikira bawa bom. Sebab hal itu mengingatkan akan diri saya sendiri kalau lagi mau pulang dari pesantren ke rumah atau sebaliknya. Bawa tas ransel, bawa kardus, mengenakan sarung, pakai baju koko, dan peci beludru hitam. Itu adalah setelan lumrah seorang santri yang tak tergerus jaman. Bener-bener fesyen yang peka jaman tenan. Mau celana cutbray sampai potlot berganti-gantian jadi tren, sarungan tetep juara. In sarong we trust.

Betul memang setelan itu peka jaman, sayangnya jebul tidak peka situasi. Di saat polisi mulai paranoid karena kasus bom Surabaya, semua orang yang mengenakan baju “terlihat Islami” di tempat umum jelas akan dicurigai. Kalau mau melihatnya dari sisi polisi, sebagai seorang santri juga, saya jelas tidak bisa menyalahkan polisi begitu saja. Mereka tentu trauma mengetahui teman-temannya jadi korban kebiadaban pelaku bom Surabaya.

Jelas polisi juga tahu, bahwa mereka bisa saja memakai detektor logam untuk memeriksa isi kardus dan tas si santri, tapi tentu mereka takut, gimana kalau lagi dideketin ternyata malah meledak? Ketakutan-ketakutan semacam itu wajar saya kira. Yang saya pikir tidak wajar adalah beberapa hal yang tidak diketahui warganet sehingga seenak udel sendiri menyalahkan sikap pencegahan bapak-bapak polisi.

Perlu diketahui bersama, saudara-saudaraku yang budiman. Kami ini, kaum santri, memang kadang kurang apdet sama berita-berita terbaru. Ya, wajar—dalam lingkungan pesantren ada berbagai hal yang lumrah kamu akses tapi tidak bagi kami. Saya akan cerita saja soal pengalaman saya sendiri untuk memberi gambaran kenapa si santri sempat emosi ketika disuruh mengeluarkan isi tas dan isi kardusnya.

Begini. Di pesantren saya, televisi itu ada. Cuma satu. Satu untuk seribu lebih santri malah. Jangan kamu bayangkan televisi itu ukurannya sebesar layar bioskop karena untuk seribu santri. Televisi di pesantren saya hanyalah televisi tabung dengan ukuran 20 inchi. Bahkan dengan ukuran televisi di tempat kos kamu saja—yang kadang cuma dipakai buat suara kemresek pengantar tidur—enggak ada seupil-upilnya terwelu. Itu belum termasuk dengan gambar yang tiba-tiba bruwet, atau pengaturan warnanya eror, jadi bikin gambar ada garis-garis warna enggak jelas.

Satu televisi itu pun tidak bisa kami nyalakan seenak kami sendiri. Ada waktu-waktu khusus. Dan karena libur di pesantren saya jatuh pada hari Jumat, maka tontontan kami adalah program-program televisi horor pada malam Jumat (dulu “Dunia Lain” masih jadi acara yang kondang di tempat saya sih). Karena jatah nonton televisi cuma sekali dalam seminggu, jelas kami enggak sudi nonton berita. Lha piye? Selama sepekan kami digembleng hapalan kitab-kitab sampai surat-surat kitab suci, masak iya kami enggak boleh dapat hiburan? Mau nonton berita? Idih, ogaaaah.

Pada akhirnya, kami memang kurang apdet untuk situasi-situasi yang sedang terjadi. Ada memang koran yang nongol di halaman pesantren. Tapi karena kalau baca sulitnya minta ampun, soalnya bayangan tulisan di halaman belakang koran pasti mecungul karena pantulan sinar matahari. Hal ini jelas bikin mata jadi keriting. Oleh sebab itu, lebih banyak santri yang enggan untuk baca koran—kecuali satu: hasil pertandingan sepak bola.

Itu belum termasuk dengan penempelan koran yang tidak selalu sesuai jadwal. Koran edisi tanggal 1 Juni misalnya, bisa aja baru ditempel tanggal 3 Juni. Praktis, kami selalu ketinggalan berita. Dan bagi kami, ya itu enggak masalah sama sekali, karena persoalan terbesar kami saat itu cuma satu: besok setoran hapalannya gimana ya?

Itulah kemudian yang membuat saya patut untuk curiga bahwa Mas Santri yang mencak-mencak itu enggak tahu apa yang sedang terjadi. Enggak tahu kalau di Surabaya sedang ramai karena ada aksi terorisme yang mengatasnamakan agama si santri. Ya karena enggak tahu, terang saja si santri emosi. Namanya juga enggak tahu kan ya wajar. Nyatanya, setelah dijelaskan baik-baik oleh polisi, si santri malah ngajak foto selfie.

Nah di sinilah kemudian justru ketidakwajaran yang saya tunjukan di judul terjadi. Itu hape yang buat foto hapenya siapa, Mas? Kalau hapenya Pak Polisi sih enggak masalah, lha kalau itu ternyata hapenya santri? Dan postingan foto selfie itu sampai ke pengurus pondok sampeyan gimana? Soalnya, setahu saya, banyak pesantren yang melarang santrinya bawa hape.

Saya malah membayangkan ketika si santri sampai pondok dan niat hati mau kasih cerita menarik ke teman-temannya, yang bersangkutan malah dicegat sama pengurus pondok.

“Oalah, jebul selama ini kamu bawa hape tho? Sini aku sita! Besok lagi enggak usah bawa-bawa hape lagi.”

Iklan

Duh, Mas, nasib malang. Sudah dikira teroris, hape selundupan melayang.

Terakhir diperbarui pada 16 Mei 2018 oleh

Tags: bombom surabayakokokoranmedia sosialpeciPolisipondokPondok PesantrensantrisarongSarungterorisvideo
Ahmad Khadafi

Ahmad Khadafi

Redaktur Mojok. Santri. Penulis buku "Dari Bilik Pesantren" dan "Islam Kita Nggak ke Mana-mana kok Disuruh Kembali".

Artikel Terkait

Hal-hal di Luar Nalar yang Dilakukan Gus Yayan untuk LKSA Daarul Muthola'ah dan Keluarga MOJOK.CO
Ragam

Hal-hal di Luar Nalar yang Dilakukan Gus Yayan untuk LKSA Daarul Muthola’ah dan Keluarga

25 November 2025
lksa darussalamah.MOJOK.CO
Ragam

Asrama Kecil di Kudus yang Menumbuhkan Mimpi Besar Anak-Anak

24 November 2025
Al Akrom: pondok pesantren sekaligus LKSA di tengah pedesaan Pati yang menempa anak-anak tak bertuntung jadi tahfiz Al Qur'an melek zaman MOJOK.CO
Ragam

Sebuah Tempat di Tengah Pedesaan Pati yang Menempa Anak-anak Jadi Penghafal Al-Qur’an nan Melek Zaman

24 November 2025
rkuhap, kuhap, polisi.Mojok.co
Mendalam

Catatan Kritis KUHAP (Baru) yang Melahirkan Polisi Tanpa Rem Hukum, Mengapa Berbahaya bagi Sipil?

19 November 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.